Menikah itu komitmen. Kesepakatan. Bukan motor racer. Yang menang menghina yang lain, keok. Menjatuhkan mentalnya.
Menikah itu berbagi. Saling menyadari, tanpa tersinggung. Sepakat jalan bareng. Bukan itungan debitor dan kreditor. Pakai bunga. Pakai denda.
Menikah itu pakai cinta. Saling isi dan menguatkan. Saling menopang dan menanggung. Saling menghargai, tanpa bersaing. Ada tugas dan kewajiban. Yang berlebih, mencukupi yang lain. Ada tuntunan agama, bukan tontonan saling hina.
Tak masalah jika jika istri lebih besar penghasilannya. Kalau cinta terawat, seperti pengantin baru. Semua indah dikursi pelaminan. Tak mikir duwit. Semua bisa saling menerima, saling menghargai.
Namun apa harus bersaing? Tanda cinta mulai luntur. Cinta hanya diukur dengan uang. Tanda retak, karena sama egois. Merasa super. Merasa hebat.
Kebutuhan, apapun itu bisa selesai dalam bahasa cinta. Yang terawat, bisa usai dikursi pengantin. Yang menang menangan, cintanya sudah ditempat sampah, usai dikursi pengadilan.
Saat cinta tak ada, penghasilan adalah masalah. Sarapan hinaan. Ghibah jadi sarapan. Selingkuh jadi hiburan. Sandiwara jadi pilihan. Orang lain lebih mulia dan jadi pujaan. Karena cinta diukur dengan penghasilan.
Jika cinta, pertahankan. Agama mengajarkan. Tak ada masalah, semua bisa diselesaikan. Menghidupkan kembali kursi pelaminan. Susah dibikin indah, sedih dibikin syahdu. Tak ada selisih, karena jadi raja dan ratu.Â
Bermasalah dengan penghasilan istri? Itu tanda tak harmonis lagi. Berlomba dan bersaing, tak pakai hati. Tak ada lagi cinta, saling memiliki.
Malang, 12 Desember 2020 oleh Eko Irawan