Puisi puisi ini bagai debu. Mengganggu. Menutup pandanganmu. Mengotori jalanmu. Tak berarti. Tak bermakna. Karena aku tak kau kenal. Karena aku bukan orang penting.
Puisi puisi ini bagai sampah. Bau. Tapi ini bagai Maggot. Bagai lalat pengurai sampah. Hina tapi berharga.
Bijaklah. Jangan mudah menilai. Benar, itu hakmu. Itu keputusanmu. Ini timbal balik. Kamu ingin dihargai, maka hargailah lainnya. Jangan gampang memutuskan. Apalagi kamu tak tahu. Dan mengadili berdasar fitnah. Prasangka buta. Tak pakai hati.
Bacalah, bait bait puisi ku. Seperti pengurai sampah sampah. Terimalah hadirnya. Mungkin kau anggap ini lalat lalat busuk. Tapi masih mulia lalat, daripada ulat yang suka korupsi. Berpura manis, merampok daun daun yang kelaparan.
Lalat lalat ini bukan serigala berbulu domba. Lalat lalat ini tulus mengabdi. Pada alam. Agar seimbang. Agar lestari. Berguna daur ulang. Agar hidup bisa menghidupi.
Black Soldier Fly. Hanya bangsa lalat. Pengurai sampah. Yang hina Dina ditumpukan tak berguna. Tapi dia tetap berjasa. Dia makan sampah, tapi menghasilkan permata.
Seperti itulah puisi puisi ku ini. Bacalah tanpa pretensi. Berkaryalah walau tak dihargai. Terus melaju, menunjukan diri. Berkarya tanpa henti. Untuk kemajuan negeriÂ
Malang, 11 Desember 2020 oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H