Antara orang tua dan anak anakku. Terjepit antara kewajiban dan hakku. Menerima konsekwensi. Aku anak mereka. Dan aku, orang tua anak anakku. Aku hidup dalam lingkar keluargaku.
Tak kupungkiri, aku ada dalam dua generasi. Orang tuaku mengajarkan filosofi. Sementara anak anakku milenial masa kini. Kakek nenek kuno, demikian jawab anak anakku ini.Â
Dan aku harus bijak. Memberi pengertian. Memberi pemahaman. Memberi inspirasi tanpa menggurui.Â
Belajarlah pada semut. Meletakan ego pribadi. Melepas ambisi. Tetap bersama satu liang, walau jumlahnya tak berbilang. Mereka rukun. Kerjasama. Bersatu. Karena mereka, berbagi kasih. Itulah seni ant family sandwich.
Hidup terus melaju. Estafet. Berbagi peran. Yang tua, jangan mudah bilanga anak durhaka. Orang tuapun bisa durhaka. Saat menelantarkan anak anaknya. Hanya karena orang tua, kemudian menang sendiri, merasa benar sendiri. Tak peduli keluh kesah anak cucunya. Yang muda pun harus tahu diri. Jawabnya komunikasi.
Hak hidup itu sama. Diperlakukan sama. Adil dalam kewajaran. Sepertilah semut semut itu. Mereka selalu membangun komunikasi setiap bertemu. Mereka memikul bersama tujuan tujuan mereka. Kita pun wajib malu pada semut semut itu. Sekali waktu, lihatlah dunia mungil mereka. Lihat, jangan menggerutu saja.
Tak perlu memuja ambisi nan egois. Berbagi kasih romantis nan manis. Agar hidup tenang tanpa krisis. Berbagi kasih, dalam keluarga harmonis.
Malang, 6 Desember 2020 oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H