Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Menulis itu Hidup
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pantang mundur seperti Ikan

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Wisata Kuliner, Mengenal Sejarah dari Makanan

25 Februari 2019   12:30 Diperbarui: 25 Februari 2019   15:11 873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lenjongan adalah jajanan tradisional Solo yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Lenjongan terdiri dari beberapa macam makanan, misalnya tiwul, ketan hitam, ketan putih, gethuk, sawut, cenil, dan klepon.| Kompas.COM/Wahyu Adityo Prodjo

Jajanan pinggir jalan di beberapa kota di Indonesia dewasa ini tumbuh pesat seiring pertumbuhan UMKM bidang makanan dan meningkatnya konsumsi, gaya hidup, dan kebutuhan masyarakat akan kuliner. Munculnya spot jajanan pinggir jalan yang terintegrasi dan dibina instansi terkait akan memudahkan para pencinta kuliner untuk berburu makanan unik dari suatu daerah. 

Potensi ini mulai dibaca sebagai peluang wisata oleh beberapa pemerintah daerah. Potensi apakah yang bisa dikelola dan dikembangkan, karena ciri khas daerah bisa diangkat sesuai sejarah masing-masing daerah, misalnya wisatawan dari negeri Sakura datang ke Indonesia bukan mau mencari dorayaki, mie ramen atau takoyaki. 

Turis dari Turki juga tidak mencari kebab atau roti maryam. Turis Amerika datang juga tidak mencari ayam goreng Kentucky. Mereka datang ke Indonesia ingin merasakan kuliner khas Indonesia.

Pengembangan jajanan kita dewasa ini banyak menyajikan masakan khas dari luar negeri, seolah pingin menciptakan nuansa luar negeri ada di negeri kita sendiri. Mungkin dianggap tidak modern era kekinian jika tidak kebarat-baratan atau korea style. Cafe model mancanegara lebih disukai anak muda ketimbang cafe yang menyajikan masakan lokal. Hal ini merupakan keprihatinan tersendiri bagi kita. 

Artikel berikut mencoba menyampaikan ide bagaimana wisata kuliner bisa menjadi media pengenalan dan pembelajaran sejarah Indonesia. Bagaimana generasi muda bisa bangga pada kuliner milik Indonesia sendiri. Semoga artikel ini menginspirasi.

ilustrasi Makanan Pinggir Jalan (idntimes.com)
ilustrasi Makanan Pinggir Jalan (idntimes.com)
Sulitnya Mencari Kuliner Jadoel Indonesia

Di Malang, mencari kuliner jadoel sangat sulit. Jajanan seperti gatot dan tiwul merupakan menu makanan yang sulit dicari. Beberapa pedagang yang masih menjual makanan ini selalu berkeluh kesah soal pangsa pasar. Proses pembuatan, biaya yang dikeluarkan dan minat pembeli yang rendah merupakan tantangan tersendiri bagi produsen prodok olahan makanan jadoel.

Festival Malang Tempo Doeloe (malangnews.com)
Festival Malang Tempo Doeloe (malangnews.com)
Beberapa tahun Lalu, di Malang diadakan Festival Malang Tempo Doeloe, sebuah wadah kreatif menyajikan kuliner dan suasana Malang zaman dahulu. Pengunjung sangat berlimpah dan festival semacam ini sangat diminati pengunjung. 

Setelah tidak diselenggarakan, ide ini kembali digagas dalam format kampung tematik. Salah satunya diadakan di Kelurahan Sumbersari Kota Malang yang pada tahun 2018 kemarin adalah gelar ke IV Festival Tawangsari Kampoeng Sedjarah.

Festival Tawangsari Kampoeng Sedjarah (onokopo.com)
Festival Tawangsari Kampoeng Sedjarah (onokopo.com)
Dengan konsep festival seperti ini, kuliner jadoel bisa diperkenalkan kembali kepada generasi muda. Pada Agustus 2019 ini, festival ini kembali digelar di Kelurahan Sumbersari dengan konsep menghidupkan kembali suasana masa perjuangan di Kota Malang, lengkap dengan sajian kuliner jadoelnya.

Perlu Branding dan Promosi

Keluhan produsen makanan lokal adalah rendahnya minat dan daya beli. Jajanan jadol ini tidak dikenali generasi muda. Jika diadakan dalam wujud festival atau disuguhkan dalam event-event besar, kegiatan seperti itu sebenarnya sangat membantu pemasaran. Namun perlu disadari bahwa produsen membutuhkan penghasilan setiap hari untuk menopang hidup dan usaha UMKM mereka, sementara festival hanya bisa dilaksanakan setahun sekali.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah branding dan promosi oleh instansi terkait. Diperlukan juga pembinaan UMKM, yang tidak hanya sekedar sosialisasi, tapi juga perlu penempatan usaha. 

Para UMKM kuliner ini perlu ditempatkan dalam satu wadah, di mana mereka bisa menggelar lapak kulinernya dengan aman tanpa takut diangkut petugas Satpol PP dan dengan branding serta promosi, minat kunjungan menjadi wisata kuliner bisa terbentuk. Ide seperti ini memang mudah diucapkan, namun sulit diterapkan di lapangan. 

Membangun destinasi wisata dibutuhkan kerja sama antara masyarakat dan pemerintah daerah. Dibutuhkan juga peran agen travel perjalanan agar wisatawan bisa mengunjungi lokasi dimaksud. Kenyamanan angkutan dengan tarif pasti juga harus diperhatikan, termasuk kebersihan, kenyamanan, dan suguhan kuliner sehat juga halal.

Makanan dan Sejarah

Tiap daerah pasti punya makanan khas. Para artis Indonesia telah melihat peluang branding kuliner sebagai bidang usahanya dan sangat sukses menciptakan tren tersendiri. Belajar dari hal tersebut, pemerintah daerah harus bisa membaca peluang dan potensi daerah masing-masing. 

Jajanan pinggir jalan bisa dikemas sebaik mungkin untuk mengangkat ekonomi dan pemberdayaan masyarakat. Jogjakarta bisa menjadi contoh, dimana mal besar, jajanan kuliner pinggir jalan dan cafe modern bisa hidup berdampingan dan bersinergi.

Dengan makanan, terutama makanan legendaris dari suatu daerah seharusnya bisa menjadi branding suatu kota, misalnya gudeg. Maka asumsi kita akan selalu mengingat Jogja. Dengan menciptakan branding, maka makanan dengan sejarahnya akan selalu ingat. Melalui perkembangan teknologi terkini, pengolahan makanan jadoel bisa dioptimalkan sehingga kualitas bisa lebih ditingkatkan dan higienis dan menjadi daya tarik wisatawan.

Sejarah dari makanan dimaksud juga bisa dibranding, sehingga makanan tersebut punya kisah tersendiri di hati konsumen. Misalnya tentang kisah para tokoh sidang KNIP di Malang pernah makan dan berdiskusi di Toko Oen, sebuah warung legendaris di Kota Malang yang sudah ada sejak masa kolonial. 

Jika bukti sejarah bisa ditemukan, misal Bung Karno selalu membawa sambel pecel dari Malang setiap melakukan lawatan ke mancanegara, maka kisah ini bisa menjadi branding sambel pecel khas Malang untuk memiliki sejarahnya. Dengan penelusuran sejarah kuliner akan semakin banyak hal bisa diangkat untuk mengenalkan wisata kuliner yang asli dari suatu daerah

Demikian semoga artikel ini menginspirasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun