Seni jaranan, siapakah yang tidak tahu saat ini. Tidak hanya kalangan dewasa, kalangan anak-anak pun menggandrunginya. Suka karena musik nya, suka karena atrkasinya, suka karena ada hiburan dari biduannya, suka karena seni tariannya, suka karena kejadian menegangkan manakalan pemainnya kesurupan dan masih banyak lagi alasan yang mendasari seseorang dalam menyukai seni jaranan.
Jaranan sendiri memili banyak jenis, sebut saja jaranan buto, jaran kepang, jaranan jur, jaranan dor, jaranan pegon, jaranan campur sari dan masih banyak lagi. Masing-masing memiliki karakteristik, ciri dan gaya sendiri-sendiri dalam mempertunjukkannya.
Itu baru dari jenis berdasarkan karakteristik, ciri dan gaya, jaranan juga dapat dibedakan lagi berdasarkan kategori usia yang memainkannya dan dapat juga berdasarkan gender. Banyak yang menganggap ketika anak-anak memainkan pertunjukkan jaranan, itu dianggap tidak mendidik. Namun, hal tersebut hanyalah sebuah perspektif belaka.
Penentuan dan pemilihan seorang anak dalam memainkan seni jaranan tentunya sudah didasarkan atas berbagai pertimbangan diantaranya adalah aspek keselamatan, aspek kemudahan dibawakan dan lain-lain, yang tentunya sudah dipastikan aman bagi anak-anak dan memberikan value added bagi mereka.
Bahkan, pada tahun 2022 lalu, dalam perayaan HUT RI yang ke-77 anak-anak putra dan putri terbaik di Kecamatan Batu Retno, Wonogiri dibawah naungan K3S Korwil Cambadik Baturetno menggelar Aksi pentas secara kolosal Tari Kridaning Jaran Bocah.
Hasilnya sungguhlah diluar dugaan, penambilan anak-anak tersebut sangat memukau penonton dan bahkan membuat Camat Baturetno bangga karena dapat mewadahi bakat anak-anak terutama di seni tari.
Pementasan tari Kridaning Jaran Bocah merupakan wujud komitmen pemerintah daerah terhadap pelestarian seni budaya. Kohesi gerakan menunjukkan rasa persatuan dan kesatuan. Lincah dan gesit khas seorang bocah, seolah mencoba menggambarkan generasi muda penerus bangsa yang siap bergegas memperbaiki diri dan berkontribusi untuk Tanah Air.
Sedangkan, untuk yang gender perempuan yang memainkan jaranan, pada dasarnya memang secara umum dianggap tidak lazim. Hal tersebut didasari alasan karena menari mengandung resiko yang besar dan berbahaya. Risiko-risiko tersebut dapat mengekspos tubuh dan diri penari, bahkan dapat disalahgunakan. Beberapa orang menganggap keikutsertaan penari dalam pertunjukan Jaranan sebagai wanita yang tidak baik, tidak bermoral, atau “murahan”.
Namun, di Banyuwangi, anda akan banyak menemui perempuan yang ikut berpartisipasi pada pertunjukan tari jaranan, khususnya ketika membawakan jaranan Buto. Melihat pementasan Jaranan Buto yang dibawakan oleh Paguyuban Sekar Dhiyu, banyak penonton yang terpana dalam membedakan aksi penari antara penari wanita dan penari pria, khususnya dalam peran tari Jaranan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dita Ari Sandi dan Eko Wahyuni Rahayu Mahasiswi UNESA pada tahun 2021, dengan judul penelitiannya yakni "Peranan Penari Perempuan dalam Pertunjukan Jaranan Buto Paguyuban Sekar Dhiyu di Kabupaten Banyuwangi" menemukan hasil bahwa masuknya penari wanita ke dalam Paguyuban Sekar Dhiyu terhitung sejak abad ke-21. Saat itu, cukup banyak penari yang mau bergabung dengan paguyuban ini.
Pada awalnya jumlah penari di Paguyuban Sekar Dhiyu berjumlah 10 orang, seiring dengan berjalannya waktu peminat para penari tersebut semakin meningkat, sehingga saat ini berjumlah 20 orang penari.Bertambahnya jumlah penari tersebut merupakan sebuah keberuntungan, karena perubahan tersebut membuat komunitas ini dikenal luas.
Selanjutnya, yakni seni jaranan yang secara umum diperankan oleh laki-laki remaja ataupun pria dewasa. Berdasarkan legenda yang disampaikan nenek moyang, kesenian Jaranan merupakan sebuah kesenian yang berasal dari Kediri yang diciptakan oleh Sunan Wudung. Awalnya kesenian ini diciptakan dengan maksud sebagai alat dakwah dalam Islam.
Oleh karena itu, seni tari Jaranan sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai religi. Kemudian kesenian Jaranan diadaptasi oleh Setro Asnawi, seorang seniman yang menjadi Jaranan Buto dari Trenggalek. Namun, Jaranan Buto terinspirasi dari sosok raksasa Minak Jinggo. Jadi jika kita memperhatikan kostum para pemainnya, apakah ada tokoh raksasa atau "Buto" dalam bahasa Jawa.
Drama tari buto jarana biasanya menggambarkan atau menceritakan perjalanan hidup seseorang dari lahir sampai meninggal. Menariknya, pelajaran tersebut ditekankan: “Orang yang lahir ke dunia memiliki status yang sama, mereka tidak membawa apa-apa. Namun, saat hidup penuh dengan tugas, sebagian dari mereka lupa diri atau istilah jawanya ndadi.
Pertunjukan "Jaranan Buto" Banyuwangi terdiri dari tiga bagian waktu, yaitu pagi, siang, dan malam. Di pagi hari anak-anak mengadakan pertunjukan. Ini bertujuan untuk menggambarkan kehidupan manusia dimulai dari anak-anak. Pada siang hari, para aktor kemudian digantikan oleh anak muda atau remaja. Kami biasanya melihat adegan kerasukan hantu/setan di sore hari.
Adegan kesurupan memperjelas bahwa setiap orang memiliki nafsu. Ketika Anda tidak dapat mengendalikan keinginan Anda, Anda akan menjadi terobsesi dan terlibat dalam perilaku yang tidak biasa seperti makan "gelas" atau pecahan kaca pada ayam mentah. Sementara itu, mereka yang bisa mengendalikan nafsu menari dengan normal mengikuti irama.
Mengapa adegan "kesurupan" ini ditampilkan pada siang hari? Ini karena matahari adalah simbol tepat di atas mereka, ketika orang sudah memiliki kekayaan, singgasana dan wanita, mereka menyingkap sisi lain mereka, yaitu kesombongan dan kesombongan. Sore harinya, bisa dikatakan puncak pementasan Jaranan Buto adalah pementasan adegan "perampokan".
Ada seorang penari yang memakai kulit babi hutan. Dengan babi hutan tersebut, penari dikejar oleh penari lain yang membawa cambuk, cambuk atau cambuk, simbol orang yang menghadapi kematian atau sekarat.
Siap lari ke mana pun mati bersembunyi, di mana pun mereka berada. Lagipula, "celengan" yang dilambangkan dengan "babi hutan" adalah penyelamat di kehidupan selanjutnya. "Bank tabungan" yang disebutkan di sini bersifat amal (referensi cerita ini beberapa disadur dari tulisan Julita Hasanah dalam Blogspotnya (2022).
Muatan dari tulisan ini dapat kita cerna dan diambil benang merahnya, bahwa paham yang sesat, hanya melihat kesurupan, ritual pembakaran kemenyan dll adalah sebuah perbuatan musyrik dan bersekutu dengan setan. Namun, masih sangat perlu dipahami lebih jauh dan di telaah tafsir maknanya lebih mendalam.
Sebab, bahkan di zaman ini banyak orang-orang yang secara sadar berbuat lebih dari seorang yang kesurupan, atau dapat dikatakan, secara fisik sadar, namun secara perilaku lebih dari seseorang yang kesurupan. Beruntunglah bagi yang masih bau berfikir lebih mendalam, dengan berbagai pertimbangan baik secara spiritual maupun universal. Sehingga tidak mudah membuat disclaimer yang sepihak tanpa adanya data dan referensi yang otentik.
Semoga tulisan ini dapat memberikan tambahan informasi dan wawasan bagi kita semua, semua hal yang benar dalam tulisan ini datangnya dari tuhan, sedangkan segala khilaf bersumber dari penulis sendiri. Mohon maaf dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H