Konsumsi daging adalah bagian penting dari diet manusia. Daging untuk konsumsi secara tradisional diperoleh dari hewan yang dipelihara di peternakan dan disembelih di rumah potong hewan.
Namun, keterbatasan sumber daya lahan dan persepsi negatif terhadap penyembelihan hewan mendorong para ilmuwan untuk mengembangkan teknik inovasi untuk menghasilkan daging tanpa memelihara hewan ternak di farm.
Produksi daging secara in vitro adalah proses di mana jaringan otot dari hewan ditanam di laboratorium, menggunakan teknik rekayasa jaringan, untuk memproduksi daging dan produk daging.
Penggunaan jaringan otot hewan yang ditumbuhkan di laboratorium untuk menghasilkan daging menghilangkan kebutuhan untuk mengorbankan atau menyembelih hewan.
Daging hasil kultur jaringan dapat menawarkan beberapa keuntungan, terutama keuntungan kesehatan dan lingkungan dibandingkan produksi daging secara tradisional, dan keuntungan kesejahteraan hewan dan sektor peternakan, yang penting bagi ekonomi agraris (Haagsman et al., 2009).
Daging Sintetis: Daging Alami Hasil Kultur Jaringan Otot Ternak
Bagi khalayak umum, daging in vitro adalah ide baru, tetapi bagi The National Aeronautics and Space Administration (NASA), daging sintetik hasil kultur jaringan otot hewan ternak ini sudah sejak tahun 2001 telah digunakan untuk konsumsi para astronot yang hidup dan bekerja di luar angkasa dalam waktu lama.
Selain itu, kosmonot Rusia yang sedang menyelesaikan eksperimen di stasiun luar angkasa internasional sejak tahun 2018 telah mulai mengkonsumsi steak tipis yang dicetak 3D (tiga dimensi) dari daging hasil kultur jaringan yang sel induknya diambil dari sel sapi hidup.
Steak 3D tersebut berasal dari sel-sel yang tumbuh di laboratorium yang dimasukkan ke dalam printer 3D magnetik dan direplikasi untuk menghasilkan jaringan otot (daging) dalam berbagai bentuk.
Sebetulnya ide daging in vitro telah dipatenkan sejak tahun 1940-an oleh Willem van Eelen, peneliti Belanda.
Daging in vitro adalah daging sintetik hasil kultur jaringan yang dibuat dengan cara mengekstrak sel induk otot atau myosatellite hewan hidup, menumbuhkannya di laboratorium untuk menghasilkan jaringan otot.
Setelah terbentuk, jaringan diberikan makan, digandakan, lalu disusun menggunakan bioreaktor sehingga menjadi daging sintetis.
Selain daging sintetis, susu sintetis juga bisa dihasilkan tanpa budidaya ternak perah di peternakan. Mikroflora seperti ragi yang direkayasa secara biologis digunakan untuk memfermentasi gula tanaman untuk menghasilkan protein susu sebagai bahan untuk membuat susu sintesis. Daging dan susu sintetis atau in vitro ini belum tersedia secara luas untuk konsumen dan jika telah diproduksi secara komersial, pasti dapat mengurangi ekspansi lahan, pemakaian air dan ketergantungan bahan kimia.
Selain itu, juga dapat meminimalkan emisi gas rumah kaca dan memutus ketergantungan pada budidaya hewan ternak dan menyembelihnya dalam skala besar. Produksi daging dan susu sintetis menggunakan teknologi kultur jaringan diprediksi dapat menjadi ranah monopoli kepemilikan dan kekuasaan dalam sistem pangan global dan bisa mematikan usaha peternakan.
Bahan sumber untuk produksi daging hasil kultur jaringan dapat diambil dari biopsi hewan hidup atau embrio hewan, yang dapat diinokulasi dalam media yang sesuai untuk perkembangbiakan (proliferasi), dan ditumbuhkan secara terpisah dari hewan.
Untuk daging hasil kultur jaringan berkualitas tinggi, komposisi dan sumber bahan yang digunakan untuk memproduksi daging ini dianggap penting. Sintesis protein dalam sel otot hasil kultur jaringan dapat ditingkatkan dengan kombinasi bahan yang berbeda dalam berbagai kondisi untuk meningkatkan kualitas nutrisi daging hasil kultur jaringan.
Produksi daging hasil kultur jaringan dapat menjadi metode yang nyaman untuk mengembangkan produk olahan daging giling atau produk restrukturusasi seperti bakso, sosis, burger, nugget, dll.
Namun, produksi daging secara in vitro pada tingkat komersial masih membutuhkan penelitian yang mendalam yang signifikan. Dalam waktu dekat, daging hasil kultur jaringan akan menjadi bagian penting dari makanan manusia; meskipun demikian, dalam jangka pendek, biaya yang sangat tinggi untuk produksi daging yang dibiosintesis adalah sebuah rintangan utama untuk komersialisasi yang layak.
Daging hasil kultur jaringan di laboratorium harus memiliki karakteristik fisik (seperti penampilan, tekstur, dan cita rasa) yang mirip dengan daging hasil dari berternak, dan harus terjangkau oleh konsumen.
Untuk mengatasi tantangan ini, berbagai teknik produksi daging hasil kultur jaringan yang berbeda sedang dikembangkan dan diuji untuk produksi secara in vitro otot rangka, lemak, jaringan fibrosa, tulang, dan tulang rawan, di laboratorium. Teknologi untuk memproduksi daging kultur dari sel induk telah dieksplorasi bertahun-tahun yang lalu; namun, belum dikembangkan secara komersial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H