Dalam sepekan terakhir masyarakat Indonesia dikejutkan oleh penyakit misterius. Secara spesifik menyerang anak-anak. Media-media menyebut penyakit itu Gagal Ginjal Akut. Pada saat yang bersamaan Covid-19 belum selesai. Tentu selain meresahkan juga ancaman baru bagi masyarakat.
Awalnya penyakit misterius ini tidak diketahui sebabnya. Sampai kemudian Badan Kesehatan PBB (WHO) mengeluarkan rilis terkait pula dengan meninggalnya anak di Gambia karena sirup parasetamol.
Parasetamol sendiri tidak berbahaya karena merupakan komponen dalam banyak obat yang berguna untuk mengatasi rasa nyeri, demam, gejala flu dan batuk, dan obat untuk tidur. Dalam kasus Gambia ditemukan dietilen glikol (DEG) dan etilen glikol (EG) yang memicu terjadinya gagal ginjal yang mengarah pada meninggalnya puluhan anak.
Di Indonesia sendiri, kasus gagal ginjal akut dilaporkan di 26 provinsi terdapat 245 kasus, kasus kematian 141 dan fatalitas rate 58 persen (rilis kompas.tv)
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin seperti dimuat dalam kompas online telah merilis hasil penyelidikan zat berbahaya pada obat sirup kemungkinan penyebab gagal ginjal akut pada anak yang merebak. Ketiga zat berbahaya itu antara lain etilen glikol atau ethylene glycol (EG), dietilen glikol atau diethylene glycol (DEG), dan etilen glikol butil eter atau ethylene glycol butyl ether (EGBE).
Meski istilah-istilah itu asing tentu sekarang masyarakat tercerahkan. Setidaknya dalam masyarakat tahu bahwa 141 kematian anak kemungkinan karena terpapar zat berbahaya dari obat-obatan. Masyarakat akan menjadi akan lebih waspada meski masih menyisakan pertanyaan, bagaimana zat itu bisa ada dalam obat-obatan?
Ketika masih kuliah di Bulaksumur, saya terkesan dengan Prof. Agus Dwiyanto. Dia dalah guru besar yang nyentrik. Banyak bicara hal-hal praktis sehingga ilmu itu tidak terlalu jauh di menara gading. Beliau memang sudah wafat, namun ilmunya tentu masih tetap hidup.
Satu hari dalam perkuliahan dia pernah bicara tentang "bounded rationality". Sederhananya adalah rasionalitas manusia yang terbatas karena terbatasnya informasi yang diketahui. Akibatnya manusia (para pengambil kebijakan) sering mengambil keputusan yang tidak tepat.
Rasanya atas pertimbangan itu pula semakin banyak para pemangku kepentingan yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Pun semakin banyak informasi (evidence) yang dipertimbangkan sebelum melaksanakan satu kebijakan.
Kembali ke Prof. Agus Dwiyanto, dia pernah menganalogikan harga obat. Masyarakat awam terbatas pengatahuannya tentang kandungan obat, harga bahan bakunya sampai kenapa dokter meresepkan obat A ke pasien B.