Sudah menjadi ketetapan alamiah bahwa jika ingin bertahan hidup maka semua mahluk hidup harus mampu menyesuaikan diri dengan alam. Jika tidak dia akan pelan-pelan menuju kepunahan (mati).
Soal bertahan hidup itu sendiri tidak harus menjadi pemuncak piramida dalam rantai makanan. Sebab tantangan di alam tidak melulu soal memangsa atau dimangsa. Lebih dari itu, ada bencana alam, wabah penyakit dan kecelakaan.
Manusia sendiri karena pengetahuannya berkembang menjadi pemuncak piramida kehidupan. Dia bisa "mengendalikan" dan "merekayasa" alam untuk kepentingannya.Â
Telah pula menciptakan beragam teknologi di semua aspek kehidupan manusia sebagai alat untuk membantu manusia "memenangkan" kehidupan.
Dalam berbagai hal manusia memang sukses menaklukkan alam. Bahkan mengeksploitasi untuk kepentingan dirinya. Tetapi, manusia lupa pelan-pelan dia didominasi alat bantu dan kemampuan mandiri manusia sebagai mahluk hidup karena tidak pernah digunakan pelan-pelan mengalami degradasi.
Soal melahirkan misalnya. Semua dokter kandungan pasti menyarankan ibu melahirkan secara normal, berjuang melawan rasa sakit untuk melahirkan bayi.Â
Namun, apakah ibu-ibu muda sekarang sepakat dengan itu? Untuk apa melawan rasa sakit kalau ada yang lebih praktis. Belum lagi adanya keinginan untuk melahirkan pada tanggal-tanggal cantik tertentu. Keinginan itu misalnya terakomodasi dalam tekonologi operasi cesar atau bayi tabung.
Menarik mengamati cara memetik kelapa atau menyadap nira. Manusia bisa melatih monyet untuk memetik kelapa atau menggunakan tangga untuk menyadap nira.Â
Pada satu sisi itu mempermudah manusia tapi pada sisi yang manusia pelan-pelan kehilangan kemampuannya memanjat karena tidak mempergunakan kemampuan itu, tidak dilatih dan tidak diwariskan lagi.
Ada banyak kemampuan manusia yang sudah hilang dan akan hilang digantikan alat bantu. Saya khawatir suatu saat manusia akan mengalami "degradasi" soal kemampuan berbicara langsung dengan orang lain digantikan oleh alat komunikasi pabrikan.
Lebih menarik lagi, penguasaan alat didominasi oleh pemilik modal. Artinya orang untuk menggunakannya harus mengeluarkan uang. Pada satu sisi ada degradasi kemampuan mandiri individu pada sisi yang lain untuk menggunakan alatnya harus mengeluarkan uang.
Berkaca pada kenyataan itu menarik untuk membahas perilaku manusia di masa pandemi Covid-19. Bagaimana manusia meresponnya secara individu? Bagaimana teknologi melindungi manusia?
Cara manusia merespon Gerakan 3M (Mencuci Tangan, Memakai Masker, Menjaga Jarak) secara tidak langsung membuktikan bahwa kemampuan mandiri manusia sudah tidak mampu melindungi dirinya sendiri.Â
Jika seekor anjing mencium bau anyir harimau dia akan segera menghindar dan menjauh menyelamatkan diri. Seekor kera yang menerima sinyal berupa teriakan akan segera mencari perlindungan untuk menghindari bahaya.
Manusia? Dia cuek tidak mencuci tangan, tidak memakai masker bahkan berkerumun di tempat-tempat publik padahal selain dikampanyekan Gerakan 3M, dia juga melihat kenyataan bahwa banyak manusia lain yang meninggal. Pemerintah bahkan ada yang sampai menerapkan "lockdown" dan di Indonesia menerapkan PSBB lalu PPKM untuk memaksa manusia melindungi dirinya dari pandemi yang mematikan.
Kenapa manusia lamban merespon bahaya? Hal ini mungkin karena sudah sejak lama manusia secara kolektif dilindungi oleh alat bantu (teknologi) yang mendorong manusia kokoh di puncak piramida kehidupan membuat manusia secara tidak sadar merasa dia aman dari pandemi.Â
Padahal teknologi untuk itu belum ada, kalau pun ada masih terbatas. Belum lagi diperparah oleh eksternalitas teknologi misalnya adanya hoax dan kebutuhan akan uang untuk membeli kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi secara mandiri.
Soal kata "kolektif" misalnya, harus tetap dipersoalkan karena di dalam ada dominasi dari minoritas manusia yang menguasainya yang lain justru tidak pada posisi aman. Faktanya, di beberapa belahan dunia yang lain ada saja kelaparan (ini masih hanya soal makan).
Lalu, apa solusinya? Manusia sebagai individu perlu untuk kembali melatih kemampuan mandiri pribadinya untuk merespon bahaya. Menetapkan keselamatan hidup menjadi prioritas utama. Olehkarena itu, manusia harus lebih sering simulasi menghadapi bencana baik alam dan non alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H