Mohon tunggu...
Eko N Thomas Marbun
Eko N Thomas Marbun Mohon Tunggu... Penulis - I Kerani di Medan Merdeka Utara I

Tertarik pada sepak bola, politik dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kalah di Timur Tengah, Haruskah Kita Menerima di Indonesia?

6 Februari 2020   12:53 Diperbarui: 7 Februari 2020   07:10 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wacana pemulangan teroris lintas batas akhir-akhir ini ramai di masyarakat. Bahkan Presiden Joko Widodo, dalam pandangan pribadinya menolak eks WNI (sudah membakar paspornya) itu datang ke Indonesia. Namun, keputusan itu belum final karena harus dirataskan di tingkat Kementerian/Lembaga. Tentu masyarakat dalam kekhawatiran menanti-nanti keputusan apa yang akan diambil pemerintah.

Foreign Terorist Fighters (FTFs)

Teroris lintas batas atau Foreign Terorist Fighters (FTFs) telah menarik perhatian Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), pada 24 September 2014, dalam pertemuan tingkat kepala negara/pemerintahan, Dewan Keamanan PBB secara bulat mengadobsi Resolusi 2178 untuk mengatasi ancaman akut yang terus meningkat yang diakibatkan oleh para teroris lintas batas.

FTFs didefinisikan sebagai orang-orang yang melakukan perjalanan ke lintas batas negara dari negara asalnya untuk tujuan kejahatan terorisme, meliputi perencanaan atau persiapan, partisipasi dalam aksi teroris atau penyediaan atau penerimaan pelatihan teroris, termasuk dalam kaitannya dengan konflik bersenjata.

Dalam catatan PBB, fenomena FTFs telah meningkatkan intensitas, durasi dan kompleksitas konflik serta telah menjadi bahaya serius terhadap negara asal, negara transit, negara tujuan, zona-zona konflik bersenjata yang berdekatan di tempat mana mereka aktif. 

Ancaman FTFs terus berkembang dengan cepat dan tidak mungkin sepenuhnya hanya efek jangka pendek. Dalam jangka panjang ada ancaman signifikan yang ditimbulkan oleh FTFs yang kembali ke negara asal mereka atau di negara ketiga.

Ancaman dibalik Repatriasi FTFs asal Indonesia

Paska kekalahan ISIS di Timur Tengah, jumalah FTFs asal Indonesia, merujuk pemberitaan CNBC Indonesia diperkirakan sebanyak 660 WNI. Namun rasanya data itu tidak terlalu valid mengingat situasi perang di daerah timur tengah tempat para FTFs berada. Akses menuju camp-camp di Suriah dan Irak cukup berbahaya. Jadi, angka 660 masih perlu diverifikasi seandainya dilakukan repatriasi. 

Namun, perlu juga diperhatikan kapasitas Indonesia dalam melakukan repatriasi. Misalnya tindakan hukum apa yang akan dilakukan terhadap FTFs, kerangka kerja sama hukum timbal balik dengan negara lain dalam menangani FTFs, pembuktian hukum terhadap FTFs, posisi pengadilan dalam menilai perbuatan dan barang bukti dari luar negeri dan sampai program-program paska repatriasi.

Penyaringan terhadap FTFs penting mengingat posisi mereka tidak semuanya kombatan, sebab ada juga yang merupakan korban! Utamanya terdapat anak-anak yang dibawa orang tuanya ke wilayah konflik, anak yang dilahirkan perempuan dalam rangka mendukung perjuangan ISIS dan ada juga anak yang telah menjadi kombatan (pelaku)! 

Semua telah mengalami radikalisasi paling sedikit oleh lingkungan seandainya dia lolos dari doktrinasi. Mereka akan menjadi bibit yang subur untuk disemai dalam reproduksi teroris

Studi dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, yang dirilis tahun 2016. Studi ini menganalisis pemberitahuan kematian 89 remaja dan anak di bawah umur ketika menjalankan tugas dari ISIS. 39 persen tentara anak berusia di bawah 18 tahun dan tewas karena melakukan serangan bom mobil. Sebanyak 33 persen tentara anak lainnya tewas sebagai tentara jihad sementara 18 persen lainnya tewas dalam peperangan dengan meledakkan diri.

Selain anak-anak, di dalam "rombongan" itu seandainya direpatriasi terdapat perempuan dan para kombatan. Mereka adalah orang dewasa yang sadar atas kemauan sendiri berangkat dan berjuang atas tujuan yang diyakini di daerah konflik. Bahkan mereka meninggalkan dan tidak mengakui Indonesia sebagai negaranya. Sebenarnya mereka sudah stateless. Jelas pula bahwa mereka adalah pelaku sesuai peran mereka masing-masing yang kadar 'fighter'nya satu pun dari kita tidak ada yang tahu!

Ancaman yang dihadapi Indonesia di depan mata adalah ketika salah urus FTFs bisa menjadi negara gagal. Mereka bisa menjadi "virus" yang menjangkiti masyarakat kita yang rentan lalu bertransformasi menjadi kelompok teroris yang besar. Faktanya, ISIS telah berperan dalam memporakporandakan Irak, Surah dan Afghanistan. Boko Haram menyebar terror di Nigeria, Kamerun dan Niger.

Belajar dari Kasus Virus Corona!

Belajar dari sikap Indonesia terhadap antisipasi wabah virus Corona, dimana dalam statemennya Presiden Jokowi memilih keamanan nasional dibandingkan manfaat ekonomi dari lalu-lintas barang dan manusia dari dan ke Tiongkok. 

Maka hal yang sama pun bisa dilakukan dalam kasus FTFs! Pemerintah harus mencabut bebas visa tanpa prinsip resiprokal terutama dari negara-negara terindikasi jalur masuk FTFs ke Indonesia. Pertimbangan kemanusiaan seringkali harus mengalah pada pertimbangan kemanusiaan lain yang lebih banyak.

Seandainya harus menerima mereka kembali di Indonesia. Prinsipnya jelas, dia harus bisa membuktikan bahwa dia warga negara Indonesia atau ada pihak (keluarga dan pemerintah daerah) yang menerima, mengakui dan menjamin di Indonesia. Itu pun harus lewat assesment dan terbatas pada anak-anak dan perempuan sebagai kelompok rentan untuk menentukan kelayakannya kembali ke Indonesia dan level deradikalisasi yang harus dilakukan.

Karantina dan observasi tentu menjadi hal yang penting dilakukan sebelum program deradikalisasi yang ketat sampai dia bisa benar-benar bisa menerima dan diterima dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Harga yang mahal memang untuk keamanan negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun