Studi dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, yang dirilis tahun 2016. Studi ini menganalisis pemberitahuan kematian 89 remaja dan anak di bawah umur ketika menjalankan tugas dari ISIS. 39 persen tentara anak berusia di bawah 18 tahun dan tewas karena melakukan serangan bom mobil. Sebanyak 33 persen tentara anak lainnya tewas sebagai tentara jihad sementara 18 persen lainnya tewas dalam peperangan dengan meledakkan diri.
Selain anak-anak, di dalam "rombongan" itu seandainya direpatriasi terdapat perempuan dan para kombatan. Mereka adalah orang dewasa yang sadar atas kemauan sendiri berangkat dan berjuang atas tujuan yang diyakini di daerah konflik. Bahkan mereka meninggalkan dan tidak mengakui Indonesia sebagai negaranya. Sebenarnya mereka sudah stateless. Jelas pula bahwa mereka adalah pelaku sesuai peran mereka masing-masing yang kadar 'fighter'nya satu pun dari kita tidak ada yang tahu!
Ancaman yang dihadapi Indonesia di depan mata adalah ketika salah urus FTFs bisa menjadi negara gagal. Mereka bisa menjadi "virus" yang menjangkiti masyarakat kita yang rentan lalu bertransformasi menjadi kelompok teroris yang besar. Faktanya, ISIS telah berperan dalam memporakporandakan Irak, Surah dan Afghanistan. Boko Haram menyebar terror di Nigeria, Kamerun dan Niger.
Belajar dari Kasus Virus Corona!
Belajar dari sikap Indonesia terhadap antisipasi wabah virus Corona, dimana dalam statemennya Presiden Jokowi memilih keamanan nasional dibandingkan manfaat ekonomi dari lalu-lintas barang dan manusia dari dan ke Tiongkok.Â
Maka hal yang sama pun bisa dilakukan dalam kasus FTFs! Pemerintah harus mencabut bebas visa tanpa prinsip resiprokal terutama dari negara-negara terindikasi jalur masuk FTFs ke Indonesia. Pertimbangan kemanusiaan seringkali harus mengalah pada pertimbangan kemanusiaan lain yang lebih banyak.
Seandainya harus menerima mereka kembali di Indonesia. Prinsipnya jelas, dia harus bisa membuktikan bahwa dia warga negara Indonesia atau ada pihak (keluarga dan pemerintah daerah) yang menerima, mengakui dan menjamin di Indonesia. Itu pun harus lewat assesment dan terbatas pada anak-anak dan perempuan sebagai kelompok rentan untuk menentukan kelayakannya kembali ke Indonesia dan level deradikalisasi yang harus dilakukan.
Karantina dan observasi tentu menjadi hal yang penting dilakukan sebelum program deradikalisasi yang ketat sampai dia bisa benar-benar bisa menerima dan diterima dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Harga yang mahal memang untuk keamanan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H