Mohon tunggu...
Eko N Thomas Marbun
Eko N Thomas Marbun Mohon Tunggu... Penulis - I Kerani di Medan Merdeka Utara I

Tertarik pada sepak bola, politik dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Melawan Gimmick Politik

31 Januari 2019   14:45 Diperbarui: 31 Januari 2019   15:05 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto koleksi pribadi penulis

Apa karunia terbesar Tuhan bagi manusia yang membedakannya dari mahluk lain? Berpikir kreatif. Itulah yang mendorong manusia mampu mencipta dan membangun peradaban. Jika tidak demikian maka manusia tidak lebih maju dari simpanse. Bahkan mungkin manusia sudah lama pula punah sebagai akibat dari kekalahan dari seleksi alam yang keras.

Kemampuan berpikir itu pula yang mengantar manusia pada satu gagasan besar tentang bagaimana mengatur suatu komunitas. Di sana ada kekuasaan, suatu 'kekuatan' untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam hidup berkomunitas. Mungkin di zaman purba, masih sangat sederhana dalam bentuk dominasi fisik atau kharisma pemimpin.

Zaman berkembang terus-menerus, dari zaman batu sampai zaman revolusi industri 4.0. Semua berubah, baik manusia secara fisik, pemikiran sampai teknologi. Tetapi warisan klasik tentang kekuasaan tetaplah hidup, dia hanya berubah 'style'nya saja. Esensinya tetap, soal dominasi. Jika dahulu hanya soal kekuatan fisik dan kharisma, sekarang jauh lebih rumit. Kekuasaan diperoleh lewat perselingkuhan 'aneka modal' yang penuh intrik. Bagaimana kita menjelaskannya dalam konteks Indonesia?

Tahun 2019 adalah tahun pengulangan seperti tahun-tahun Pemilu/Pilkada yang lalu. Tidak menarik sama sekali! Hanya sedikit modifikasi dengan embel-embel Pemilu serentak. Lantas, apa yang sebenarnya disajikan ke kita dari kontestasi politik Indonesia? Satu hal yang pasti, dia menjadi tabir yang menutupi hampir seluruh bidang-bidang kehidupan manusia Indonesia. Dalam praktiknya, apa yang sebenarnya kita inginkan seperti tersembunyi. Kalau pun ada yang ditawarkan sepertinya tidak benar-benar rasional untuk diwujudkan demi kesejahteraan masyarakat. Kita (rakyat) dininabobokan oleh keriuhan pesta demokrasi!

Pemilu (berebut kuasa) sesungguhnya tidak sebatas kandidat, panitia (KPU/Bawaslu) dan konstituen. Sesungguhnya interaksi di luar 3 unsur itu rawan perselingkuhan! Kandidat bisa saja membangun klik bersama dengan media, preman, pengusaha, dan aparat. Kontestasi politik ini disadari atau tidak sedang menggiring masyarakat menuju kerusakan.

Mari kita melihat bagaimana mindset kita menghadapi situasi sehingga mengalami dekadensi moral. Setiap hari kita dicekcoki oleh gimmick politik berupa gosip-gosip murahan para elit politik, pengusaha dan pemerintah. Sementara di akar rumput, kita terbiasa dengan para simpatisan radikal yang 'mengkultuskan' kandidat tertentu. Kenyataan itu terlihat dari maraknya hoax yang diproduksi untuk membuat segregasi antar agama, suku, ras, golongan dan daerah. Semua jerat primordial diproduksi secara massif untuk menjerat pemilih!

Maka tidak mengherankan yang disajikan kepada masyarakat hanya aksi-aksi kandidat saat kampanye di pasar, khusyuknya kandidat ketika menjalankan ibadah, riuhnya arak-arakan partai-partai pendukung, hasil survey dan anasir-anasir politik jitu para konsultan, gosip-gosip murahan kandidat tentang keluarganya yang harmonis atau berantakan, garis keturuan kandidat yang bangsawan atau jelata, bahkan sampai hal klenik soal kandidat yang merupakan satrio piningit. Parahnya, gimmick politik terdoktrin di otak masyarakat mematikan cara berpikir kreatif. Akibatnya sebagian dari kita menganggap wajar suatu kejahatan, dan tidak menganggap bahwa kejahatan itu sesuatu hal yang salah, atau lebih parahnya menganggap bahwa kejahatan itu tidak benar-benar terjadi atau tidak ada sama sekali. Banalis! Bayangkan saja ada yang menyuruh bongkar makam karena berbeda aspirasi politik.

Pada hakikatnya, para tim sukses dan penyokong sedang menukar keguyuban masyarakat dengan sebuah keretakan yang jelas berbahaya bagi persatuan dan kesatuan kita sebagai satu bangsa Indonesia. Hal-hal yang sebenarnya prinsip dalam menyatukan kita sebagai sesama anak bangsa menjadi terlupakan, kita sebagai sesama anak bangsa saling menyerang. Jika situasi ini dibiarkan, pada akhirnya elit-elit akan saling berjabat tangan berbagi kekuasaan. Pengusaha akan sama-sama enak berbagi proyek. Apa yang tersisa kelak bagi masyarakat kecil seperti kita? Silaturahmi yang retak, saling sakit hati dan saling benci.

Pilihan kita bukan apatis dengan keadaan atau menjadi 'golput'. Tugas kita pada dasarnya belum selesai setelah mencoblos di bilik suara tetapi baru saja dimulai untuk menuntut pilihan kita mewujudkan janji-janjinya. Tetapi jika dari awal saja kita sudah mewakafkan diri kita sebagai pendukung sampai mati tanpa batasan benar dan salah maka kita sama saja orang bodoh. Padahal kita seharus menjadi penyokong yang kritis yang harus siap mengkritisi di saat salah! Maka lupakan gimmick politik dari agenda utama kita sebagai pemilih. Jauh lebih penting bagi kita untuk menyoroti program rasional apa yang ditawarkan kandidat.  Jangan mau dibodohi pakai sejumlah gimmick-gimmick kampanye yang pada dasarnya hanya bunga-bunga Pemilu. Jadilah pemilih cerdas. Begitulah cara kita menghajar para oportunis yang sok jagoan memecah belah keindonesiaan kita.

Hari ini, zaman sudah berubah, tantangan sudah semakin berat. Kita tidak boleh menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak penting. Ingat pesan Sang Proklamator! "He! Kaum teknisi, sadarilah hal ini. Bahwa sekarang ini, saudara-saudara, kita berjuang menundukkan alam, menundukkan angin, menundukkan gempa, menundukkan laut, menundukkan udara...semuanya kita tundukkan, jadikan sahabat kita yang membantu kepada kita" (Ir. Soekarno, 30 September 1965, Munastek-Musyawarah Teknik Nasional, Istora Senayan)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun