Embun pagi masih menempel di dedaunan. Gerimis-gerimis tipis pun masih berjatuhan di tanah. Udara dingin tak tertolak menusuk-nusuk sampai ke sumsum. Jika ada yang membuatku harus beranjak pagi ini adalah aku harus beradu dengan waktu mencari rejeki. Tidak berhenti disitu, aku harus beradu dengan waktu mengejar commuterline tujuan Stasiun Tanah Abang.
Setiap kali menunggu di sini, di Stasiun Manggarai. Aku selalu teringat masa itu, selalu berharap pagi ini tidak pernah datang. Maka, aku tidak akan pernah menunggu. Entah sudah berapa juta kali perjalanan KRL Jakarta-Bogor, datang lalu pergi. Entah sudah berapa kali pula KRL Jakarta-Bekasi, berlalu lalang. Aku hanya bisa terduduk menunggumu berharap kamu turun dari salah satu kereta yang kebetulan singgah di Stasiun Manggarai. Satu pun tidak ada yang membawamu. Lalu, aku sadar semuanya sia-sia. Sepuluh tahun yang sia-sia.
Tuuuuuttt. Kereta tiba, aku segera naik, berdempet-dempetan dengan pekerja kantoran yang mungkin akan turun di Stasiun Sudirman. Sepagi ini kereta sudah begitu padat. Ah, buat bergerak pun begitu susah. Seketika kereta bergerak meninggalkan Stasiun Manggarai. Aku menghela nafas panjang. Pikiranku terbang melampaui kecepatan kereta, bayanganmu kembali muncul Tiur.
Aku tahu melupakanmu bukan perkara mudah Tiur. Kita sudah melewati hari-hari bersama. Sebelum aku memilih merantau ke Jakarta. Rasanya baru kemarin pagi kita bersama-sama ke Gereja Santa Maria di Lembah Silindung. Siangnya, bersama-sama kita menghabiskan waktu duduk di pasir putih di Lumban Silintong. Sesekali kau iseng memercikkan air Danau Toba ke mukaku. Ketika matahari ditelan luasnya permukaan danau indah itu, saat itu barulah kita beranjak pulang.
“Piring boleh melayang. Gelas silakan abang lempar. Semua bisa abang pecahkan berkeping-keping. Boleh, boleh saja abang marah. Satu yang harus abang ingat, jangan sekali-kali ada niat di pikiran abang untuk pergi bersama orang lain meninggalkan aku. Bukankah begitu yang saling mencintai, bang?” katamu waktu itu ketika aku marah melihatmu jalan dengan paribanmu. Lalu, sejurus aku banting-banting semua benda di dekatku dan aku minta kita putus. Tapi kata-katamu memadamkan amarah itu.
Itulah yang selalu terngiang-ngiang di telingaku. Kau adalah wanita yang begitu bijak. Banyak hal yang aku pelajari darimu. Tentang bagaimana menjadi marah tanpa harus merusak. Kalau pun sudah terlanjur merusak tetapi tidak sampai menghancurkan. Sampai saat itu, saat dimana aku harus menyampaikan niatku untuk merantau ke Jakarta.
“Dek, abang mau merantau ke Jakarta. Kalau abang lihat-lihat, tidak ada lagi yang bisa penghidupan di kampung kita. Kalau abang mau maju, abang harus merantau. Itu juga semua abang lakukan untuk kita kelak, dek”
Lalu, kau terdiam.
Aku sadar kau menolak apa yang aku lakukan. Hidup ini memang ibarat melempar bola ke tembok. Apa yang kita lakukan akan berbalik ke kita. Jika kita melakukan yang baik, yang baik pula yang akan dilakukan orang lain kepada kita. Ketika aku memilih meninggalkanmu waktu itu, maka aku pun sebenarnya harus siapa kau akan meninggalkanku kelak. Itulah yang aku pikirkan waktu itu.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, sampai tahun telah berganti tahun. Jakarta pun sudah bersahabat denganku. Setiap hari, aku harus naik kereta dari Bekasi ke Manggarai lalu berganti kereta Tanah Abang. Seperti pagi ini, aku bergegas turun dari kereta, berdesak-desakan dengan penumpang yang lain keluar stasiun. Aku harus buru-buru membuka kios kecilku. Jangan sampai aku mengecewakan pelanggan yang datang pagi-pagi. Jakarta itu hanya baik buat orang yang melakukan lebih dari yang orang lain lakukan. Persis mencintai, cinta itu hanya akan langgeng jika kita berbuat lebih. Lebih sabar, lebih berkorban dan lebih pengertian.
“Bang, aku dengar si Tiur sudah dijodohkan dengan paribannya. Anaknya namboru Tiar”,kata Jonathan membuyarkan lamunanku.