Mohon tunggu...
Eko N Thomas Marbun
Eko N Thomas Marbun Mohon Tunggu... Penulis - I Kerani di Medan Merdeka Utara I

Tertarik pada sepak bola, politik dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menjadi Mantan

20 Februari 2017   22:46 Diperbarui: 21 Februari 2017   12:37 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Embun pagi masih menempel di dedaunan. Gerimis-gerimis tipis pun masih berjatuhan di tanah. Udara dingin tak tertolak menusuk-nusuk sampai ke sumsum. Jika ada yang membuatku harus beranjak  pagi ini adalah aku harus beradu dengan waktu mencari rejeki. Tidak berhenti disitu, aku harus beradu dengan waktu mengejar commuterline tujuan Stasiun Tanah Abang.

Setiap kali menunggu di sini, di Stasiun Manggarai. Aku selalu teringat masa itu, selalu berharap pagi ini tidak pernah datang. Maka, aku tidak akan pernah menunggu. Entah sudah berapa juta kali perjalanan KRL Jakarta-Bogor, datang lalu pergi. Entah sudah berapa kali pula KRL Jakarta-Bekasi, berlalu lalang. Aku hanya bisa terduduk menunggumu berharap kamu turun dari salah satu kereta yang kebetulan singgah di Stasiun Manggarai. Satu pun tidak ada yang membawamu. Lalu, aku sadar semuanya sia-sia. Sepuluh tahun yang sia-sia.

Tuuuuuttt. Kereta tiba, aku segera naik, berdempet-dempetan dengan pekerja kantoran yang mungkin akan turun di Stasiun Sudirman. Sepagi ini kereta sudah begitu padat. Ah, buat bergerak pun begitu susah. Seketika kereta bergerak meninggalkan Stasiun Manggarai. Aku menghela nafas panjang. Pikiranku terbang melampaui kecepatan kereta, bayanganmu kembali muncul Tiur.

Aku tahu melupakanmu bukan perkara mudah Tiur. Kita sudah melewati hari-hari bersama. Sebelum aku memilih merantau ke Jakarta. Rasanya baru kemarin pagi kita bersama-sama ke Gereja Santa Maria di Lembah Silindung. Siangnya, bersama-sama kita menghabiskan waktu duduk di pasir putih di Lumban Silintong. Sesekali kau iseng memercikkan air Danau Toba ke mukaku. Ketika matahari ditelan luasnya permukaan danau indah itu, saat itu barulah kita beranjak pulang.

“Piring boleh melayang. Gelas silakan abang lempar. Semua bisa abang pecahkan berkeping-keping. Boleh, boleh saja abang marah. Satu yang harus abang ingat, jangan sekali-kali ada niat di pikiran abang untuk pergi bersama orang lain meninggalkan aku. Bukankah begitu yang saling mencintai, bang?” katamu waktu itu ketika aku marah melihatmu jalan dengan paribanmu. Lalu, sejurus aku banting-banting semua benda di dekatku dan aku minta kita putus. Tapi kata-katamu memadamkan amarah itu.

Itulah yang selalu terngiang-ngiang di telingaku. Kau adalah wanita yang begitu bijak. Banyak hal yang aku pelajari darimu. Tentang bagaimana menjadi marah tanpa harus merusak. Kalau pun sudah terlanjur merusak tetapi tidak sampai menghancurkan. Sampai saat itu, saat dimana aku harus menyampaikan niatku untuk merantau ke Jakarta.

“Dek, abang mau merantau ke Jakarta. Kalau abang lihat-lihat, tidak ada lagi yang bisa penghidupan di kampung kita. Kalau abang mau maju, abang harus merantau. Itu juga semua abang lakukan untuk kita kelak, dek”

Lalu, kau terdiam.

Aku sadar kau menolak apa yang aku lakukan. Hidup ini memang ibarat melempar bola ke tembok. Apa yang kita lakukan akan berbalik ke kita. Jika kita melakukan yang baik, yang baik pula yang akan dilakukan orang lain kepada kita. Ketika aku memilih meninggalkanmu waktu itu, maka aku pun sebenarnya harus siapa kau akan meninggalkanku kelak. Itulah yang aku pikirkan waktu itu.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, sampai tahun telah berganti tahun. Jakarta pun sudah bersahabat denganku. Setiap hari, aku harus naik kereta dari Bekasi ke Manggarai lalu berganti kereta Tanah Abang. Seperti pagi ini, aku bergegas turun dari kereta, berdesak-desakan dengan penumpang yang lain keluar stasiun. Aku harus buru-buru membuka kios kecilku. Jangan sampai aku mengecewakan pelanggan yang datang pagi-pagi. Jakarta itu hanya baik buat orang yang melakukan lebih dari yang orang lain lakukan. Persis mencintai, cinta itu hanya akan langgeng jika kita berbuat lebih. Lebih sabar, lebih berkorban dan lebih pengertian.

“Bang, aku dengar si Tiur sudah dijodohkan dengan paribannya. Anaknya namboru Tiar”,kata Jonathan membuyarkan lamunanku.

“Bagaimana kelanjutan hubungan kalian”,lanjutnya

“Ah, sudah gak ada lagi hubungan kami, Jo. Sudah bertahun-tahun selesai”,jawabku pada pemuda sekampungku itu.

Kata selesai memang mudah keluar dari mulutku. Tapi apakah aku bisa melupakan apa yang sudah aku lewati bersama Tiur. Ah, kenangan indah di Pilar Panatapan serasa baru kemarin kami lalui. Sambil memandang indahnya panorama Danau Toba, aku pegang tanganmu. Aku bisikkan kalau keindahan Danau Toba semakin sempurna dengan adanya kau di sampingku. Belum lagi ketika kami sama-sama berdoa di bawah Salib Kasih di Bukit Siatas Barita memohon keberkahan Tuhan untuk hidup ini. Apakah hal-hal baik itu bisa dilupakan segampang menghela nafas? Tidak. Bahkan tidak sedikit pun niatku akan melupakannya.

Ah, tidak terasa telah bertahun-tahun aku berusaha mempertahankan cinta ini. Sampai kita berdua berubah menjadi mantan. Mantan yang sebenarnya layak untuk dikenang tapi kita berusaha untuk saling melupakan. Ah, apakah kenangan harus dilupakan? Atau sebenarnya cinta untuk memiliki tidak selamanya harus dipertahankan. Ada saatnya untuk melepas apa yang tidak bisa kita pertahankan.

“Bang, adek tidak kuat lagi jauh-jauhan sama abang. Kita sampai di sini aja ya, bang. Saling mendoakan aja kita, ya, bang. Semoga kelak ada waktu kita bertemu lagi. Adek kapan-kapan mau ke Jakarta mau lihat Stasiun Manggarai yang ada di foto yang abang kirim itu”,Itulah kata-kata terakhir yang dikirim Tiur lewat SMSnya. Pesan yang mengakhiri perjalanan kami. Sekaligus membangun harapan jika kelak aku bertemu denganya di Stasiun Manggarai.

Aku tidak membalas pesan Tiur. Aku hancur membaca itu. Sekali itu kami sudah selesai.

“Bang, berapa harga gaun ini”,kata wanita berjas putih membuyarkan lamunanku, wajahnya tidak asing bagiku.

“250 ribu, mbak”,jawabku.

“Kurangilah, bang”,sahut laki-laki di sebelahnya.

“240 ribu pasnya, bang”,jawabku

“Ambil aja, yang. Gaunnya bagus, kok”. Kata laki-laki ke wanita berjas putih itu.

“Ya, sudah. Bungkus, bang”. Kata wanita itu.

Aku segera membungkus gaun itu memberikannya pada wanita berjas putih yang wajahnya tidak asing bagiku. Sambil menyerahkan bungkusan baju, aku lirik nametag yang menempel di dadanya, dr. Tiur S. Mereka bergegas meninggalkan kios kecilku sementara mataku menatap punggungnya yang perlahan lenyap ditelan ramainya pengunjung Pasar Tanah Abang. Sebegitu mudahnya dia melupakanku setelah semua yang telah kami lewati di kampung dulu. Dia begitu hebat. Sementara bagiku dia masih tetap terkenang. Seperti tertancap di lubuk hati.

 Jonathan tampak melongo. Kehilangan kata-kata. Entah setan apa yang merasuki tubuh anak Samosir ini. Tiba-tiba dia seperti tersadar.

“Bang, itu kan Tiur sama anaknya namboru Tiar”,tegasnya.

“Kalau iya, terus kenapa?”,jawabku.

“Begitu aja, bang?”,tanyanya.

“Jo, apa lagi yang harus aku lakukan?, setiap hari aku menunggu 15 menit di Stasiun Manggarai berharap dia turun dan kami bertemu mengembalikan semuanya seperti semula. Tapi, tidak bisa seperti itu. Dia bahkan tidak pernah turun di Stasiun Manggarai. Apakah aku harus melupakan semua yang sudah kami lewati? Tidak bisa juga seperti itu, apa yang sudah kami lalui adalah perjalanan yang banyak pelajarannya. Dia sudah memberikan warna yang indah dalam hidupku dulu. Itu sangat-sangat tidak pantas untuk dilupakan. Meskipun jika terkenang tidak lagi sebagai sesuatu yang indah. Tetapi menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Hidup harus kembali menjadi normal ketika yang kita harapkan ternyata memilih bersama orang lain. Lalu kalau dia datang, aku bersua dengan mantan seperti tadi, ya, aku harus seperti dia berjalan dengan percaya diri ke depan”,kali ini aku bijak menjelaskan panjang lebar. Jonathan tampak mengangkuk tanda sepaham denganku.

Ah, nanti aku tidak akan menunggu lagi di Stasiun Manggarai. Lebih baik ak memilih jalan memutar lalu turun di Stasiun Jatinegara. Jauh, memang perjalanannya. Tetapi terkadang begitulah hidup. Ada yang berjalan begitu jauh mencari cinta ke ujung bumi tetapi ternyata cinta itu adalah tetangganya sendiri. Ada yang tidak mau kemana-mana tetapi sekali waktu cinta yang datang dari ujung dunia mengunjunginya. Lalu, cinta pun membawanya berkelana ke ujung-ujung dunia. Ada yang menunggu lama tapi yang ditunggu tidak pernah datang. Ada yang tidak menunggu siapa pun tapi didatangi seseorang. Begitulah hidup.

Tuuuuuttt. Kereta berhenti di Jatinegara. Aku berhenti sejenak, menghirup udara bebas. Lalu aku berjalan buru-buru karena kereta Bekasi telah menunggu di Jalur II. Segera aku masuk ke dalam gerbong kereta. Tempat duduk masih kosong. Aku duduk di sebelah wanita berparas Jawa. Aku julurkan tanganku mengajak berkenalan.

“Marbun”

“Martha”

“Masih kosong”

“Iya, masih kosong”.

Hidup baru pun dimulai. Wanita ini pun pada ujungnya menjadi mantan. Mantan pacar karena telah menjadi istri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun