“Bagaimana kelanjutan hubungan kalian”,lanjutnya
“Ah, sudah gak ada lagi hubungan kami, Jo. Sudah bertahun-tahun selesai”,jawabku pada pemuda sekampungku itu.
Kata selesai memang mudah keluar dari mulutku. Tapi apakah aku bisa melupakan apa yang sudah aku lewati bersama Tiur. Ah, kenangan indah di Pilar Panatapan serasa baru kemarin kami lalui. Sambil memandang indahnya panorama Danau Toba, aku pegang tanganmu. Aku bisikkan kalau keindahan Danau Toba semakin sempurna dengan adanya kau di sampingku. Belum lagi ketika kami sama-sama berdoa di bawah Salib Kasih di Bukit Siatas Barita memohon keberkahan Tuhan untuk hidup ini. Apakah hal-hal baik itu bisa dilupakan segampang menghela nafas? Tidak. Bahkan tidak sedikit pun niatku akan melupakannya.
Ah, tidak terasa telah bertahun-tahun aku berusaha mempertahankan cinta ini. Sampai kita berdua berubah menjadi mantan. Mantan yang sebenarnya layak untuk dikenang tapi kita berusaha untuk saling melupakan. Ah, apakah kenangan harus dilupakan? Atau sebenarnya cinta untuk memiliki tidak selamanya harus dipertahankan. Ada saatnya untuk melepas apa yang tidak bisa kita pertahankan.
“Bang, adek tidak kuat lagi jauh-jauhan sama abang. Kita sampai di sini aja ya, bang. Saling mendoakan aja kita, ya, bang. Semoga kelak ada waktu kita bertemu lagi. Adek kapan-kapan mau ke Jakarta mau lihat Stasiun Manggarai yang ada di foto yang abang kirim itu”,Itulah kata-kata terakhir yang dikirim Tiur lewat SMSnya. Pesan yang mengakhiri perjalanan kami. Sekaligus membangun harapan jika kelak aku bertemu denganya di Stasiun Manggarai.
Aku tidak membalas pesan Tiur. Aku hancur membaca itu. Sekali itu kami sudah selesai.
“Bang, berapa harga gaun ini”,kata wanita berjas putih membuyarkan lamunanku, wajahnya tidak asing bagiku.
“250 ribu, mbak”,jawabku.
“Kurangilah, bang”,sahut laki-laki di sebelahnya.
“240 ribu pasnya, bang”,jawabku
“Ambil aja, yang. Gaunnya bagus, kok”. Kata laki-laki ke wanita berjas putih itu.