Mohon tunggu...
Eko N Thomas Marbun
Eko N Thomas Marbun Mohon Tunggu... Penulis - I Kerani di Medan Merdeka Utara I

Tertarik pada sepak bola, politik dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Anak Muda, Mau Jadi Apa Kamu Esok?

20 September 2016   22:40 Diperbarui: 20 September 2016   23:06 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Istilah bonus demografi, angka ketergantungan, pengangguran terbuka, pencari kerja, enterpreneur, dan human developmet indeks (HDI) adalah istilah-istilah dalam kependudukan yang sedikit asing bagi orang awam. Sehingga, sedikit menyebalkan pula kalau memakai istilah-istilah asing tersebut dalam pergaulan anak zaman (anak muda). Isu bonus demografi yang sebenarnya krusial dan berdampak langsung bagi anak muda pun tetap asing. Bahkan, seolah-olah kedepan tidak akan terjadi apa-apa. Padahal, tantangan besar ada di hadapan generasi 90’an sampai 2000’an.

Bonus demografi menggambarkan kondisi penurunan ratio beban ketergantungan penduduk (dependency ratio) dimana jumlah penduduk produktif (15-64 Tahun) lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pada usia yang tidak produktif (dibawah 15 Tahun) dan penduduk usia lanjut (diatas 64 Tahun). Perubahan struktur penduduk tersebut adalah keberhasilan Program Keluarga Berencana (KB) di masa lalu. Program KB berhasil menekan jumlah kelahiran yang berakibat pada menurunnya proporsi usia muda (anak). 

Di samping itu, peningkatan derajat kesehatan menekan jumlah kematian yang berakibat pada meningkatnya angka harapan hidup, proporsi penduduk usia kerja dan lanjut usia. Dampak perubahan struktur tersebut adalah meningkatnya supply tenaga kerja yang apabila dimanfaatkan di dalam lapangan kerja akan meningkatkan pendapatan perkapita dan penggunaan tabungan masyarakat yang sebelumnya untuk kegiatan konsumtif akan bergeser pada investasi produktif.

Pada tahun 2020-2035 diperkirakan dari setiap 100 jiwa penduduk Indonesia usia produktif hanya terdapat 46 anak dan lanjut usia. Secara teoritis, proporsi penduduk yang demikian akan mengurangi biaya investasi untuk pemenuhan kebutuhan tanpa imbal balik. Oleh karena itu, sumber daya yang ada bisa dimanfaatkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan memacu kesehjateraan. Tetapi, bonus demografi pada dasarnya hanyalah peluang. Setiap peluang jika tidak dimanfaatkan maka akan berlalu begitu saja. Dalam kasus bonus demografi, peluang untuk maju bisa sekaligus menjadi perangkap yang akan menenggelamkan Indonesia dalam kemiskinan.

Sekitar tahun 2020, berapakah usia anda? Lalu, 10-15 tahun kemudian? Dalam rentang waktu tersebut setidaknya di antara 100 orang penduduk Indonesia ada sekitar 54 orang usia produktif. Sisanya 46 orang adalah anak-anak dan orang tua. Seandainya terbuka lapangan kerja yang luas maka besar kemungkinan 54 orang terserap dalam lapangan kerja. Boom! Kita sejahtera. Lalu, kita kembali berandai-andai jika lapangan kerja yang terbuka sedikit maka jika anda sedang mencari pekerjaan maka anda akan bersaing dengan 53 orang penduduk Indonesia. Lantas, kalau tidak ada lapangan pekerjaan? Kemiskinan, kriminalitas dan krisis telah menghadang. Persoalannya mampukah pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan untuk hampir tiga perempat penduduknya!

Integral dari bonus demografi sebenarnya kompetisi diantara penduduk usia produktif. Oleh karena itu, dunia usaha harus hidup. Tentu saja dunia usaha juga harus di support lembaga yang menyiapkan tenaga kerja dan juga oleh tenaga kerja itu sendiri. Sinergitas menjadi kunci dalam memenuhi supply dan demand dunia kerja.

Jika hitung-hitungannya adalah antara tahun 2020-2035, maka siswa/i yang duduk di bangku SMP dan SMA berada dalam kondisi kritis dan harus siap untuk terjun ke dunia kompetisi. Maka anak muda harus mempersiapkan diri baik skill kerja dan mental. Membuat kualitas diri setinggi-tingginya untuk menciptakan lapangan pekerjaan atau bersaing dalam pasar kerja. Pilihannya sebenarnya hanya 2 (dua) yaitu menjadi karyawan atau bos.

Bekerja untuk orang lain (perusahaan) intinya anda harus produktif alias menghasilkan bagi bos yang memberikan pekerjaan bagi anda. Karyawan yang baik itu juga harus mampu menjawab kebutuhan perusahaan. Pada era globalisasi saat ini tuntutan kepada karwayan semakin tinggi terutama dalam penguasaan soft skill. Utamanya penguasaan bahasa, informasi dan teknologi di luar skill utama yang dibutuhkan oleh perusahaan. Jadi, anak muda harus mengisi diri sendiri dengan soft skill. Itulah yang akan menjadi nilai lebih dalam persaingan di pasar tenaga kerja yang sudah melampaui batas-batas negara.

Rasio wirausaha di Indonesia per Agustus 2016 sekitar 1,67%. Angka ini masih tertinggal dengan Singapura yang telah lebih dari 7%, Malaysia lebih dari 5% dan Thailand sekitar 4%. Artinya, dari total penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa, hanya 1,67% saja yang berwirausaha. Rasio tersebut menunjukkan Indonesia masing sangat rendah pertumbuhan wirausahawannya. Oleh karena itu, kesempatan menjadi entrepreneur muda masih terbuka lebar. Tentu saja menjadi entrepeneurbukan hal gampang. Mengutip pakar kewirausahaan Thomas W Zimmerer, kaum muda harus memenuhi kualitas-kualitas berikut untuk menjadi entrepeneur;

1. Tangung jawab

Paraentrepreneur punya tanggung jawab terhadap hasil, kemampuan mengendalikan sumber daya sendiri dan memanfaatkan dalam pencapaian yang ditetapkan. Artinya, anak muda harus berlatih bertanggung jawab. Setiap pekerjaan yang diberikan di rumah, sekolah dan kampus adalah titik awal membentuk karakter untuk bertanggung jawab, melatih diri dan mencapai sesuatu. Jadi, mencoba melakukan pekerjaan sampai tuntas adalah jalan menjadi seorang entrepeneur sukses.

2. Keyakinan akan kemampuan sendiri dalam meraih keberhasilan

Salah satu penyakit orang muda adalah minderan atau tidak percaya diri. Akibatnya, sering kali sudah menyerah sebelum melakukan sesuatu. Untuk menjadi entrepeneur,  anak muda harus memiliki keyakinan besar terhadap kemampuan sendiri untuk mencapai keberhasilan, cenderung bersikap optimis dan realistis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun