Sebab tidak tahan, Petruk akhirnya memilih untuk membuat ontran-ontran. Tidak ada raja di marcapada yang bisa menandingi kesaktian raja jin tersebut. Akhirnya, Ki Semarlah yang turun tangan. Beliau menasehati Petruk.
“Thole Petruk, anakku. Berhentilah, Cah Bagus!” Semar membentak dengan suara keras penuh kewibawaan di depan Petruk yang sedang kalap.
“Jangan kau kira aku tidak mengenali sifatmu, Ngger!” Tangan Semar mengacung-acun membuat Petruk segan sehingga tidak mau menatap mata sipitnya.
“Apa yang sudah kau lakukan ini, Thole? Apa yang kau inginkan? Apakah kamu merasa hina menjadi kawula alit? Apakah kamu ingin menjadi raja dan merasa lebih mulia bila menjadi seorang raja, heh? Sadarlah, Ngger, jadilah dirimu sendiri.” (p. 24)
Setelah mendapatkan nasihat tersebut, Petruk akhirnya luruh. Dia diam dan kembali pulang dengan Ki Semar ke Desa Karang Kabolotan.
Dari peristiwa tersebut, kita bisa melihat bahwa Ki Semar merupakan seorang yang sangat sakti. Karena kesaktian beliau, beliau bahkan mampu mengingatkan Petruk dengan ajian yang juga sakti untuk luruh dan bahkan mampu meredam amarah yang sedang bergejolak di dalam hati Petruk.
Tidak banyak kita temui seseorang seperti Ki Semar, yang berwibawa, tenang ketika mendapati masalah, dan berusaha mencari akar permasalahan untuk kemudian menyelesaikannya. Selain itu, ajaran kebijaksanaan Ki Semar juga patut untuk diingat. Bahwa menjadi Kawula Alit bukanlah hal yang hina.
Dalam ajaran Islam juga disampaikan bahwa Allah akan menilai kita berdasarkan kadar ketakwaan kita, berdasarkan iman kita kepada-Nya, bukan berdasarkan status sosial. Jika kita mengamalkan ajaran tersebut dengan baik, rasa bahagia tentu tidak akan pergi dari hati melainkan senantiasa nangkring di sana.
Justru yang pergi adalah rasa was-was, sedih, dan khawatir. Sebab hati senantiasa mengimani, bahwa yang mencukupi hidup kita ya Allah. Asalkan tidak berhenti bekerja yang diniatkan untuk beribadah.
Selain itu, Gus Baha menyampaikan untuk tidak membuat apa yang dikatakan manusia kepada kita ini penting. Jika kita menganggap perkataan manusia penting dan menggantungkan kebahagiaan kita kepadanya, maka bersiaplah untuk kecewa dan hidup dalam kegundahan.
Selain hikmah yang bisa dipetik dari Ki Semar, kita juga bisa belajar dari kehidupan Petruk. Beliau dulunya good looking. Kemudian tiba-tiba berwujud cacat. Adakah beliau mengeluh? Beliau, ex-Prabu Mercukilan yang ganteng maksimal lebih memilih untuk menerima keadaannya, tanpa pamrih.