Jalan darat mulus antara Jakarta dan Semarang menjadi kesenangan mudik yang unik tahun ini. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, ketika tol Trans Jawa terbangun tetapi belum fungsional tersambung, jarak yang sama mesti ditempuh pemudik dalam waktu 15 jam. Nah, tahun ini para pengendara dimanjakan oleh waktu tempuh yang semakin pendek yaitu dengan 5 jam saja, hampir sepertiga kali lebih singkat. Bayangkan betapa banyaknya penderitaan pemudik yang hilang: cerita drama wanita dan anak-anak, masalah kesehatan dan kelelahan, tingginya ongkos perjalanan, belum lagi perasaan stress. Kesemuanya menjadi cerita masa lalu berkat pembangunan Proyek Tol Trans Jawa.
Terlepas dari manfaatnya yang luar biasa seperti cerita di atas, tidakkah para pemudik tersebut menyadari bahwa percepatan pembangunan infrastruktur yang digagas Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) adalah proyek yang berisiko dan, menurut penjelasan Bank Indonesia melalui Kajian Stabiltas Keuangan edisi Maret 2019, dapat berdampak sistemik terhadap keuangan Indonesia.
Jalan Panjang Proyek Tol Trans Jawa
Tidak banyak publik yang tahu bahwa Tol Trans Jawa adalah bagian dari rute Asian Highway 2 yang terbentang dari Denpasar, Indonesia ke Khosravi, Iran. Secara proporsional, tol Trans Jawa sendiri menghubungkan pelabuhan Merak di ujung barat dengan Banyuwangi di timur dengan total bentangan 760 Km. Tol ini dikerjakan bergotong royong oleh BUMN seperti Waskita Karya dan Jasa Marga sebagai ujung tombak dan beberapa Bank BUMN plus swasta nasional yang siap menyuplai kredit sindikasi untuk pembiayaan pembangunan. Karena sifatnya investasi, pembiayaan proyek Tol Trans Jawa sejak semula bertujuan komersial, bukan jenis sekali lunas yang dibayar oleh dana APBN.
Berbicara tentang sumber pembiayaan, pembangunan infrastruktur strategis seperti tol Trans Jawa pastilah memerlukan dana yang sangat besar. Sumber dana tersebut ternyata bukan dari hutang luar negeri seperti yang dipersepsikan oleh sebagian masyarakat, melainkan berasal dari kredit sindikasi bank-bank BUMN yang tergabung dalam HIMBARA (Himpunan Bank Negara) dan beberapa bank swasta nasional. Sebagai contoh BNI yang mempunyai portfolio kredit sindikasi sebesar 14% dan Bank Mandiri yang mencapai 36%. Sekali pukul, biasanya dana yang dapat ditarik oleh badan usaha penyedia infrastruktur seperta Wijaya Karya dapat mencapai Rp 3 -- 5 Triliun. Dana kredit ini secara umum digunakan untuk 2 hal yaitu dana talangan dan dana investasi.
Jika sifatnya dana talangan, maka uang biasanya akan dikucurkan untuk pembebasan lahan dan peran pemerintah dominan dalam hal ini karena begitu aksi pembebasan selesai maka kredit pun tidak lama dilunasi oleh pemerintah. Untuk kemungkinan kedua yaitu investasi, maka sumber pelunasan kredit adalah pemasukan dari jalan tol sendiri yang sifatnya jangka panjang. Nah, untuk tipe kedua maka terdapat risiko kredit yang lebih besar dari sekedar dana talangan karena jangka waktu pengembalian dana yang lebih panjang. Urgensinya pun bergeser menjadi komersialisasi barang dan jasa dengan profit yang meningkat bertahap di masa depan.
Di sinilah terletak peluang dampak sistemik keuangan yang justru bukan disebabkan oleh lembaga keuangan melainkan tergantung kapabilitas dari badan usaha BUMN penyediaan infrastruktur (KPBU) itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri bahwa memang terdapat peluang wanprestasi, walaupun kecil, yang terwariskan secara alami dari aksi korporasi seperti yang dilakukan BUMN dalam proyek infrastruktur Tol Trans Jawa.
Risiko Sistemik Keuangan oleh Lembaga Non Keuangan
Jika memang ada risiko sistemik keuangan secara nasional, lalu mengapa bank-bank justru berlomba-lomba untuk tetap percaya pada keberlangsungan proyek dan menjadikannya sebagai ujung tombak pengembangan bisnis selama kurun waktu 2015-2018? Ada banyak pemanis yang kita bisa temui dari kebijakan strategis Presiden Joko Widodo ini.
Alasan pertama adalah bahwa setiap proyek infrastruktur dari Kementerian PUPR diasuransikan pada PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII), sebuah BUMN asuransi keuangan yang menggaransi proyek pemerintah baik pusat ataupun daerah dari risiko politik atau perubahan penguasa politik yang diakibatkan pemilihan umum. Dengan adanya penjaminan ini, maka investor mendapatkan kelegaan dalam berusaha sekaligus kepastian bahwa proyek infrastruktur yang dikerjakannya tidak akan berubah karena ketidakstabilan politik.