Persoalan memilih pemimpin selalu menjadi topik hangat untuk dibahas menjelang ajang lima tahunan. Bukan hanya itu, dalam pesta demokrasi ini para calon pemimpin dan wakil rakyat berlomba-lomba meraup simpati dari masyarakat.Â
Para simpatisan dan pendukung bagaikan angin menyebar ke setiap pelosok memancing suara. Dari kota ke kampung. Rumah ke rumah. Warung kopi hingga media sosial. Ramai dan bising dipenuhi dengan obrolan tentang kandidat pemilu.Â
Bila menengok ke kanan-kiri jalan, begitu mudah kita jumpai spanduk-spanduk berdiri dan tempelan poster di tiang-tiang listrik. Beberapa wajah-wajah tersenyum itu mungkin familiar, namun lebih banyak yang nampak asing bagi kita. Lalu dari manakah kita tahu kalau mereka sudah benar layak memimpin dan mewakili diri kita?
Film "Kejarlah Janji" mencoba menjawab kegelisahan itu. Karya besutan sutradara kondang "Daun di Atas Bantal", Garin Nugroho, ini berusaha mengangkat isu-isu dasar seputar pemilu di Indonesia dengan segala intriknya sekaligus media sosialisasi penyelenggaraan pemilu, sesuai dengan misi film ini.
Film ini berkisah tentang Pratiwi (Cut Mini), seorang ibu tunggal yang memiliki tiga anak: Adam (Bima Zeno), Sekar (Shenina Cinnamon), dan Isham (Thomas Rian). Ketiga anaknya tengah mencari jati diri mereka masing-masing. Sekar dilematis atas pekerjaannya yang kurang linear dengan studinya, Isham yang idealis dan progresif akan pandangannya soal pemimpin, dan Adam yang oportunis begitu ambisius membalaskan dendam kekalahan ayahnya dalam pilkades sebelumnya untuk melawan Janji Upaya (Ibnu Jamil), seorang kades teladan yang terpilih dua periode di desa mereka. Ia bahkan berkongsi dengan seorang caleg demi mencapai ambisinya itu. Masalah mereka bertambah runyam ketika nyekar, Pratiwi tiba-tiba mengumumkan akan menikah lagi.
Film bergenre drama-komedi ini walau sedari awal ditujukan sebagai civic education tetap layak untuk acungi jempol. Garin mampu mengedukasi penonton tanpa membuat mereka merasa digurui secara monoton. Beberapa selipan humor yang dihadirkan terasa pas dan mudah dipahami berbagai lapisan kelas sehingga dapat dengan cepat mencairkan suasana.
Namun di balik kelucuan karakter di dalamnya, pesan serius tetap berhasil tersampaikan. Isu politik uang, identitas, dan kampanye hitam melalui penyebaran berita hoaks dan ujaran kebencian serta pencitraan dunia maya beberapa kali digarisbawahi dalam film ini. Ada juga isu lingkungan dan keberpihakan pemimpin pada masyarakat disorot sedikit. Tak ketinggalan perihal "golput" pun ikut disinggung.
Karena sejak awal film ini diniatkan KPU untuk media sosialisasi pemilu, maka tidak heran banyak muatan pesan-pesan terkait proses pemilihan umum di dalamnya.
Pesan-pesan itu sebenarnya sudah tersampaikan dengan baik. Akan tetapi, karena terlalu banyak agenda dan isu yang mau diangkat, maka yang mampu dinikmati penonton hanya bagian-bagian kulit terluarnya saja. Penonton tidak benar-benar dibawa serius ke dalam satu substansi isu yang setidak-tidaknya dapat menggoda mereka untuk berpikir ulang, mempertanyakan kembali, dan mengkritisi yang terjadi di sekeliling mereka.
Semua diperlihatkan sekilas dan selintas. Maka jadinya terasa seperti series panjang yang dipotong-potong dan dijadikan film utuh. Banyak scene dan identitas terasa tiba-tiba dimunculkan dan dipaksa menjadi menempel dengan plotnya. Hal ini sejujurnya membuat penonton jadi kehilangan fokus pada cerita karena alurnya terasa bergerak cepat, meloncat-loncat, dan seolah tidak punya 'klimaks'.
Begitu sampai di klimaks, agak mengecewakan juga karena tidak membuat penonton merasakan adanya ketegangan. Tidak ada perasaan kaget atau mendebarkan sebab semuanya terlalu klise dan mudah ditebak. Skema penjebakan yang dipakai terlalu murahan dan tak mengagetkan ala ftv. Di samping itu, ekspresi Janji Upaya kelewat datar saat mendapati tuduhan serius.
Satu hal yang sangat disayangkan dari film ini, yaitu bermain setengah-setengah. Tidak sepenuhnya merekam realitas dan tidak pula menggunakan imajinasi dengan sempurna.Â
Seandainya penulis naskah rajin meriset, isu relevan yang pantas digunakan untuk bangsa kita hari ini bukanlah duel antara pemimpin dua periode yang baik melawan anak muda yang jahat, sebaliknya yang terjadi malah anak muda yang progresif harus bersusah-payah menumbangkan nafsu serakah dan rakus para pejabat yang hendak membangun dinasti.
Anak muda diwakili Adam digambarkan terlalu polos, haus, bernafsu, dan kurang berprinsip dalam film ini, padahal di kehidupan nyata, orang seperti Adam sebenarnya visioner dan mampu menangkap kegelisahan-kegelisahaan masyarakat sekitarnya.Â
Sosok Janji Upaya dalam film ini dibuat seidealis mungkin dan merakyat, tetapi di dunia nyata, orang-orang seperti Janji ini kerap kali lihai bermain panggung dan merupakan perpanjangan tangan dari para pengusaha-pengusaha perusak lingkungan.
Ada satu kesalahan yang paling mengganggu sepanjang saya menyaksikan film ini: penulis naskah kurang tahu membedakan antara kades (kepala desa) dan lurah (kepala kelurahan).Â
Beberapa adegan menyebut kata kades, kemudian di adegan lain disebut lurah. Ketidakkonsistenan ini menyebalkan. Karena meski sekilas nyaris sama. Tetapi sebenarnya kades dan lurah benar-benar berbeda. Kades adalah masyarakat non-ASN yang dipilih secara langsung oleh rakyat, sementara lurah adalah ASN yang ditunjuk oleh bupati/walikota untuk memimpin suatu kelurahan.
Kejarlah Janji sesungguhnya berutang budi pada Cut Mini dan Shenina. Tanpa karakter mereka berdua, film ini akan hambar dan tidak berkesan di hati. Merekalah yang berhasil menyisakan kesan haru-tangis dan hangat sepanjang menyaksikan film ini. Lagi pula, Kejarlah Janji mungkin terasa lebih teatris ketimbang filmis kalau-kalau mereka berdua tidak mendapat scene paling banyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H