Mohon tunggu...
Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kejarlah Janji: Film Edukasi yang Masih Tanggung

15 Desember 2023   01:53 Diperbarui: 15 Desember 2023   01:53 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Persoalan memilih pemimpin selalu menjadi topik hangat untuk dibahas menjelang ajang lima tahunan. Bukan hanya itu, dalam pesta demokrasi ini para calon pemimpin dan wakil rakyat berlomba-lomba meraup simpati dari masyarakat. 

Para simpatisan dan pendukung bagaikan angin menyebar ke setiap pelosok memancing suara. Dari kota ke kampung. Rumah ke rumah. Warung kopi hingga media sosial. Ramai dan bising dipenuhi dengan obrolan tentang kandidat pemilu. 

Bila menengok ke kanan-kiri jalan, begitu mudah kita jumpai spanduk-spanduk berdiri dan tempelan poster di tiang-tiang listrik. Beberapa wajah-wajah tersenyum itu mungkin familiar, namun lebih banyak yang nampak asing bagi kita. Lalu dari manakah kita tahu kalau mereka sudah benar layak memimpin dan mewakili diri kita?

Film "Kejarlah Janji" mencoba menjawab kegelisahan itu. Karya besutan sutradara kondang "Daun di Atas Bantal", Garin Nugroho, ini berusaha mengangkat isu-isu dasar seputar pemilu di Indonesia dengan segala intriknya sekaligus media sosialisasi penyelenggaraan pemilu, sesuai dengan misi film ini.

Film ini berkisah tentang Pratiwi (Cut Mini), seorang ibu tunggal yang memiliki tiga anak: Adam (Bima Zeno), Sekar (Shenina Cinnamon), dan Isham (Thomas Rian). Ketiga anaknya tengah mencari jati diri mereka masing-masing. Sekar dilematis atas pekerjaannya yang kurang linear dengan studinya, Isham yang idealis dan progresif akan pandangannya soal pemimpin, dan Adam yang oportunis begitu ambisius membalaskan dendam kekalahan ayahnya dalam pilkades sebelumnya untuk melawan Janji Upaya (Ibnu Jamil), seorang kades teladan yang terpilih dua periode di desa mereka. Ia bahkan berkongsi dengan seorang caleg demi mencapai ambisinya itu. Masalah mereka bertambah runyam ketika nyekar, Pratiwi tiba-tiba mengumumkan akan menikah lagi.

Film bergenre drama-komedi ini walau sedari awal ditujukan sebagai civic education tetap layak untuk acungi jempol. Garin mampu mengedukasi penonton tanpa membuat mereka merasa digurui secara monoton. Beberapa selipan humor yang dihadirkan terasa pas dan mudah dipahami berbagai lapisan kelas sehingga dapat dengan cepat mencairkan suasana.

Namun di balik kelucuan karakter di dalamnya, pesan serius tetap berhasil tersampaikan. Isu politik uang, identitas, dan kampanye hitam melalui penyebaran berita hoaks dan ujaran kebencian serta pencitraan dunia maya beberapa kali digarisbawahi dalam film ini. Ada juga isu lingkungan dan keberpihakan pemimpin pada masyarakat disorot sedikit. Tak ketinggalan perihal "golput" pun ikut disinggung.

Karena sejak awal film ini diniatkan KPU untuk media sosialisasi pemilu, maka tidak heran banyak muatan pesan-pesan terkait proses pemilihan umum di dalamnya.

Pesan-pesan itu sebenarnya sudah tersampaikan dengan baik. Akan tetapi, karena terlalu banyak agenda dan isu yang mau diangkat, maka yang mampu dinikmati penonton hanya bagian-bagian kulit terluarnya saja. Penonton tidak benar-benar dibawa serius ke dalam satu substansi isu yang setidak-tidaknya dapat menggoda mereka untuk berpikir ulang, mempertanyakan kembali, dan mengkritisi yang terjadi di sekeliling mereka.

Semua diperlihatkan sekilas dan selintas. Maka jadinya terasa seperti series panjang yang dipotong-potong dan dijadikan film utuh. Banyak scene dan identitas terasa tiba-tiba dimunculkan dan dipaksa menjadi menempel dengan plotnya. Hal ini sejujurnya membuat penonton jadi kehilangan fokus pada cerita karena alurnya terasa bergerak cepat, meloncat-loncat, dan seolah tidak punya 'klimaks'.

Begitu sampai di klimaks, agak mengecewakan juga karena tidak membuat penonton merasakan adanya ketegangan. Tidak ada perasaan kaget atau mendebarkan sebab semuanya terlalu klise dan mudah ditebak. Skema penjebakan yang dipakai terlalu murahan dan tak mengagetkan ala ftv. Di samping itu, ekspresi Janji Upaya kelewat datar saat mendapati tuduhan serius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun