Mohon tunggu...
Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bimaisme: Bagaimana Kritik di Era Digital Bekerja?

19 April 2023   15:59 Diperbarui: 19 April 2023   18:49 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bima Yudho Saputra, konten kreator asal Lampung Timur, yang dilaporkan ke polisi atas dugaan pelanggaran UU ITE karena membuat unggahan video berisi kritikan terhadap Pemerintah Lampung, patutnya kini dapat bernapas lega sesudah Polda Lampung resmi mengumumkan bahwa penyelidikan kasusnya dihentikan lantaran tidak menemukan unsur pidana dalam laporan tersebut (18/04/23).

Sebelumnya, Bima sempat dilaporkan oleh Gindha Anshori Wayka, pengacara asal Lampung, atas dugaan ujaran kebencian yang mengandung SARA gara-gara dalam kontennya Bima menyebut kata "Dajjal". Padahal, video berkonsep presentasi yang disampaikan Bima melalui akun Tiktoknya @Awbimaxreborn itu, sebenarnya berisi unek-unek dan kritik yang ia utarakan sebagai warga Lampung.

Dalam videonya berdurasi 3 menit 28 detik itu, Bima mengeluhkan mengenai kondisi wilayah Lampung yang menurutnya tidak mengalami kemajuan pesat. 

Pemuda yang tengah berkuliah di Australia itu juga mengkritik kondisi jalan di Lampung yang sangat memprihatinkan. Tak disangka video singkat Bima tiba-tiba berhasil mengundang perhatian ribuan pengguna TikTok. Membuat Bima dan kritikannya menjadi viral dengan cepat.

Efek Domino Kritik Bima

Viralnya kritikan Bima rupanya telah menimbulkan efek domino di media sosial TikTok. Dalam sekejap beranda Tiktok Indonesia diwarnai video jalan rusak di daerah Lampung. 

Para pengguna beramai-ramai mengunggah video seolah ikut memprotes kinerja Pemerintah Provinsi Lampung. Mereka seakan turut mengamini kritikan yang disampaikan oleh Bima.

Namun, bukannya kritik itu disambut baik dan dijawab dengan evaluasi dan perbaikan kinerja oleh pemda setempat, malahan dibalas dengan intimidasi dan berujung laporan pada polisi oleh pihak-pihak tak berkepentingan. 

Bimaisme (dok. Pribadi)
Bimaisme (dok. Pribadi)

Dalam videonya yang lain, yang ia unggah pasca viralnya kritikan itu, Bima menuturkan kepada pengikutnya mengenai ikhwal kekhawatirannya akan nasib kedua orang tuanya di Lampung. 

Bima sembari mata berkaca-kaca menceritakan keadaan orang tuanya yang kabarnya mengalami intimidasi. Ia juga menambahkan bahwa polisi datang ke rumah, memeriksa sejumlah dokumen-dokumen pribadinya miliknya.

Mendengar pengakuan Bima, sontak saja netizen berang dan ramai-ramai mendukung usaha Bima. 

Semula viralnya Bima hanya di TikTok, tetapi dengan cepat merambah ke media sosial lain, seperti trending di platform Facebook dan Twitter. Dukungan kepada Bima tidak hanya berasal dari warga Lampung, tetapi datang dari pelbagai penjuru negeri. 

Para aktivis, pemengaruh, dan tokoh publik tak ketinggalan ikut-ikutan berkomentar membela Bima. Media pun turut meliput kasus Bima. Semua mata kini mengarah pada kasus tersebut. Rasanya sudah pantas fenomena ini kita kenang dengan istilah baru. Saya menyebutnya Bimaisme.

Bimaisme: Mengapa Bima Viral?

Bimaisme adalah gerakan mengkritik yang dilakukan anak muda secara mandiri dan terbuka lewat bantuan media sosial dan mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat. 

Bimaisme bukan fenomena baru dan pertama kali terjadi. Sebelum Bima, tentu sudah ada influencer dan warganet pendahulu yang pernah melakukan gerakan serupa, tapi dilakukan lewat platform yang berbeda. 

Namun, sayangnya kebanyakan mereka tidak seberuntung nasib Bima. Beberapa di antara mereka berakhir menjadi tahanan, kehilangan pekerjaan, atau kritiknya justru tenggelam oleh isu lain.

Sebelum viralnya Bima, sejumlah BEM kampus di Indonesia misalnya, pernah melakukan protes kepada DPR RI dan pemerintah soal pengesahan UU Cipta Kerja dengan meme video "tikus, Puan, dan senayan " yang diunggah lewat platform asal China itu. 

Pertanyaannya mengapa kritik Bima gaungnya lebih cepat menyebar dan menyentuh banyak pihak?

Penjabaran yang Berani, Frontal, dan Mudah Diterima Publik

Jika pola-pola pengkritik masih didominasi teks, komik, dan meme satire, Bima justru hadir dengan format berbeda. Ia seolah-olah sedang melakukan presentasi di hadapan teman-teman sekelasnya dan menjabarkan poin demi poin dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami audiens dari kalangan usia mana pun. Ditambah lagi, cara ia memaparkan materi dengan gaya bicara blak-blakan dan cenderung frontal.

Saat pertama kali saya menyaksikan konten Bima di TikTok, saya langsung berpikir, "Wow! anak muda ini sangat berani". Bima bicara jujur seolah tidak merasa takut dengan ancaman dan risiko yang sewaktu-waktu bisa diterimanya. 

Seperti yang kita sama-sama ketahui, laporan pelanggaran terkait UU ITE sering dilayangkan pada pengkritik dan aktivis dewasa ini. Ibarat pisau bermata ganda, UU ITE bisa dijadikan senjata untuk membungkam kritik oleh pihak-pihak yang merasa tidak aman mendapat kritikan.

Medium yang Tepat

TikTok adalah media sosial yang cukup sentral pengaruhnya dan sangat populer terutama di kalangan generasi milenial, Z, dan alpha. Aplikasi ini mempopulerkan konsep video singkat dan menggunakan algoritma rekomendasi kepada pengguna sesuai minat dan kesukaan pengguna itu. Lantaran durasi video rata-rata pendek, pengguna tanpa sadar menggulir layar berkali-kali hingga puluhan video telah mereka tonton kurang dari satu jam.

Soal kemampuan memengaruhi persepsi publik dan politik, TikTok tak perlu diragukan lagi. Bila mundur dua tahun ke belakang, kita akan menemukan berita bagaimana anak muda Amerika Serikat dan penggemar K-Pop berhasil memanipulasi kampanye Trump sehingga kampanye di Tulsa, Oklahoma itu sepi pengunjung.

Bima adalah generasi Z. Maka TikTok menjadi media andalannya untuk menyalurkan kegelisahannya. Algoritma yang canggih dari TikTok juga mampu merekomendasikan topik berdasarkan minat dan isu yang disukai pengguna.

Artinya sekali saja orang-orang menyaksikan dan menyukai video kritikan Bima, maka video-video serupa dengan isu yang dibahas Bima akan langsung otomatis bermunculan di beranda mereka. Inilah alasan kenapa konten jalan rusak ikut viral bersamaan dengan konten kritikan Bima.  

Sikap Reaktif dan Tindakan Represif Pihak yang Dikritik

Seandainya aspirasi Bima kemarin ditanggapi dengan baik dan tidak dibalas dengan cara-cara tidak etis, barangkali ramainya "Bima dan jalan rusak" hanya sebatas viral dan tidak melebar ke mana-mana. Tapi sudah ciri khas beberapa pejabat tanah air kalau mendapat kritikan langsung ditanggapi dengan sikap reaktif. 

UU ITE selalu jadi jalan keluar untuk membungkam para pengkritik. Batas antara kritik dan penghinaan seolah-olah kabur dan sulit dibedakan. 

Padahal orang awam pun tahu, apa yang disampaikan oleh Bima kemarin tidak lebih daripada kritik warga biasa. Adapun kata-kata kasar yang tercetus olehnya hanya bentuk luapan ekspresi kekesalannya saja. Lagi pula, anak muda kalangan Gen Z memang dikenal gemar menggunakan slang dan umpatan ketika mengekspresikan diri mereka.

Kesantunan Menutupi Substansi Kritik dan Kegeraman Masyarakat yang Meledak

Kita semua tahu pada masa orde baru menulis kritik untuk rezim tidak dapat dilakukan secara terang-terangan dan terbuka seperti hari ini. Penulis dituntut agar kreatif jika ingin menyindir pemerintah. Tanpa membuat yang dikritik merasa tersindir.

Mungkin demikian alasan ketidakterusterangan sudah lama melekat menjadi kebiasaan dalam pola kritik di negara kita yang seharusnya menjamin kebebasan berpendapat. 

Orang-orang yang memegang kekuasaan kerap mendogma rakyat bahwa kritik terhadap kebijakan dan instansi mesti disampaikan dengan sangat santun. Padahal, kritik terhadap lembaga dan instansi merupakan keniscayaan dan normal di negara demokrasi. 

Suara rakyat tidak semata dibutuhkan untuk urusan coblos-mencoblos saja, dalam mengambil kebijakan publik pun, aspirasi rakyat selayaknya tetap menjadi prioritas utama oleh pengambil keputusan.

Kritik dengan bahasa yang santun dan tidak lugas kadang mengaburkan substansi isu yang mau dibahas. Kritik semacam ini dapat bermakna ambigu dan muatannya tetap saja belum tentu dapat diterima dengan baik oleh pihak-pihak yang dikritik. Sementara itu, masyarakat non terdidik jadi terhambat pula menyampaikan aspirasinya lantaran kesulitan menulis kritik yang 'tidak menyakiti' pihak-pihak dikritik.

Tuntutan 'mengkritik dengan santun' adalah upaya penyensoran dan pembatasan gerak masyarakat dalam menyalurkan pendapat mereka. 

Mestinya selagi yang dikritik sebatas kinerja posisi tertentu, kebijakan, lembaga, dan bukan kritik terhadap kehidupan personal/individu, bukan menyangkut identitas individu, maka tidak perlu pembatasan ketat semacam itu.

Misalnya seorang mahasiswa yang tinggal di kampung kecewa karena dana bansos tidak tepat sasaran. Ia lalu menulis kritikan pedas di medsos dengan kalimat: "Dasar pemerintah desa suka tebang pilih. Tidak becus menjalankan amanah rakyat. Bedebah!"

Bila kita baca sekilas, ada kata "tidak becus" di sana dan makian "bedebah". Seseorang bisa saja melaporkan si mahasiswa menggunakan delik aduan, bahwa si mahasiswa tengah menghina dirinya dan merusak citra baiknya di hadapan publik. 

Memang apabila teks itu dibaca sesuai bukti material saja, dibaca tanpa konteks situasi dan menyelami relevansi antara kritikan dengan pihak yang dikritik, mungkin si mahasiswa dapat dijerat pasal pencemaran nama baik dan penghinaan.

Namun, seandainya kritikan tersebut dikaitkan ulang dengan konteks dan situasi yang terjadi, seharusnya si mahasiswa tidak bisa dikenai pasal karet-multitafsir itu. Sebab boleh jadi, instansi yang tengah ia kritik benar-benar melakukan penyelewengan atau tebang pilih dalam penyaluran dana sembako. Lagi pula, di sana jelas-jelas ia mengkritik bukan pada individu, melainkan instansi yang di dalamnya terdapat banyak kepala. 

Jangan lupa lembaga bukanlah benda hidup melainkan 'identitas' yang mewakili sejumlah orang yang diberikan amanah dan fungsi yang harus dijalankan.

Seandainya ada fungsi yang bermasalah atau macet, memang sewajarnya tugas masyarakat mempertanyakan ulang dan mengkritisi agar lembaga itu bergerak sebagaimana fungsi yang diembannya. Itulah alasan mengapa dalam demokrasi rakyat diberikan kebebasan berpendapat dan dijamin hak-haknya dalam mengemukakan aspirasinya.

Sayangnya proses penegakkan hukum di tanah air terkadang sangat kaku. Dalam buku Matinya Kebebasan Berpendapat, Saiful Mahdi, salah seorang dosen korban jeratan UU ITE yang dilaporkan karena mengkritik fakultas tempat ia mengajar, mengeluhkan betapa kakunya proses peradilan yang pernah ia jalani. 

Menurutnya, pendekatan deterministik (dalam proses peradilan itu) serba linier dan melulu karena sebab-akibat yang kaku. Semua tergantung kepada saksi ahli menangkap bukti teks tersebut.

Maka tidak heran, dewasa ini, masyarakat kita takut-takut mengkritik dengan gamblang dan vulgar seperti yang Bima lakukan. Masyarakat kita berusaha mencari cara kreatif mengkritik kebijakan, tetapi tetap menjaga diri dan menghindari mereka dari jeratan pasal karet.

Kemunculan Bima dengan kritik tajam dan blakblakannya seakan memberi angin segar bagi masyarakat kiwari. Ia bicara seolah berangkat mewakili keresahan rakyat yang selama ini terpendam dan takut diutarakan kepada pemerintah daerah mereka. Oleh sebab itu, begitu Bima dan keluarganya mendapatkan intimidasi dan tindakan represif, warganet langsung kompak bersatu membela dan memberikan dukungan pada mereka.

Pengekangan pada Bima sesungguhnya membangkitkan kesadaran masyarakat kita yang selama ini merasa dibungkam paksa. Maka dengan mendukung Bima melawan pembungkaman itu seolah menjadi secuil harapan kecil bahwa kebebasan berpendapat di negeri kita belum betul-betul kiamat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun