Mohon tunggu...
Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bimaisme: Bagaimana Kritik di Era Digital Bekerja?

19 April 2023   15:59 Diperbarui: 19 April 2023   18:49 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bimaisme (dok. Pribadi)

Memang apabila teks itu dibaca sesuai bukti material saja, dibaca tanpa konteks situasi dan menyelami relevansi antara kritikan dengan pihak yang dikritik, mungkin si mahasiswa dapat dijerat pasal pencemaran nama baik dan penghinaan.

Namun, seandainya kritikan tersebut dikaitkan ulang dengan konteks dan situasi yang terjadi, seharusnya si mahasiswa tidak bisa dikenai pasal karet-multitafsir itu. Sebab boleh jadi, instansi yang tengah ia kritik benar-benar melakukan penyelewengan atau tebang pilih dalam penyaluran dana sembako. Lagi pula, di sana jelas-jelas ia mengkritik bukan pada individu, melainkan instansi yang di dalamnya terdapat banyak kepala. 

Jangan lupa lembaga bukanlah benda hidup melainkan 'identitas' yang mewakili sejumlah orang yang diberikan amanah dan fungsi yang harus dijalankan.

Seandainya ada fungsi yang bermasalah atau macet, memang sewajarnya tugas masyarakat mempertanyakan ulang dan mengkritisi agar lembaga itu bergerak sebagaimana fungsi yang diembannya. Itulah alasan mengapa dalam demokrasi rakyat diberikan kebebasan berpendapat dan dijamin hak-haknya dalam mengemukakan aspirasinya.

Sayangnya proses penegakkan hukum di tanah air terkadang sangat kaku. Dalam buku Matinya Kebebasan Berpendapat, Saiful Mahdi, salah seorang dosen korban jeratan UU ITE yang dilaporkan karena mengkritik fakultas tempat ia mengajar, mengeluhkan betapa kakunya proses peradilan yang pernah ia jalani. 

Menurutnya, pendekatan deterministik (dalam proses peradilan itu) serba linier dan melulu karena sebab-akibat yang kaku. Semua tergantung kepada saksi ahli menangkap bukti teks tersebut.

Maka tidak heran, dewasa ini, masyarakat kita takut-takut mengkritik dengan gamblang dan vulgar seperti yang Bima lakukan. Masyarakat kita berusaha mencari cara kreatif mengkritik kebijakan, tetapi tetap menjaga diri dan menghindari mereka dari jeratan pasal karet.

Kemunculan Bima dengan kritik tajam dan blakblakannya seakan memberi angin segar bagi masyarakat kiwari. Ia bicara seolah berangkat mewakili keresahan rakyat yang selama ini terpendam dan takut diutarakan kepada pemerintah daerah mereka. Oleh sebab itu, begitu Bima dan keluarganya mendapatkan intimidasi dan tindakan represif, warganet langsung kompak bersatu membela dan memberikan dukungan pada mereka.

Pengekangan pada Bima sesungguhnya membangkitkan kesadaran masyarakat kita yang selama ini merasa dibungkam paksa. Maka dengan mendukung Bima melawan pembungkaman itu seolah menjadi secuil harapan kecil bahwa kebebasan berpendapat di negeri kita belum betul-betul kiamat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun