Mohon tunggu...
Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Pengobatan Alternatif Bukan Pilihan, Melainkan Keputusasaan

8 April 2023   17:11 Diperbarui: 8 April 2023   19:31 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Ida Dayak yang viral karena pengobatan alternatif (Sumber: facebook/Ida Andriyani)

Populernya Ida Dayak di pelbagai medsos telah memicu sejumlah reaksi di kalangan masyarakat. Timbul pro-kontra di tengah masyarakat terhadap metode pengobatan tradisional yang dilakukan dukun asal Kalimantan itu. 

Tak ketinggalan, para nakes pun ikut-ikutan mengomentari dukun sakti yang konon sudah banyak menyembuhkan pasien patah tulang sampai penderita lumpuh.

Sosok Ida Dayak yang viral karena pengobatan alternatif (Sumber: facebook/Ida Andriyani)
Sosok Ida Dayak yang viral karena pengobatan alternatif (Sumber: facebook/Ida Andriyani)

Meskipun terbilang baru, kesohoran Ida Dayak dengan cepat menjalar ke berbagai pelosok negeri. Orang-orang sukarela menyebarluaskan video pengobatannya, mengomentari videonya secara positif di media sosial. 

Dari hari ke hari animo masyarakat kian meningkat padanya. Kerumunan manusia nyaris tak pernah sepi di tiap-tiap videonya. Ini menandakan bahwa cukup banyak peminat pengobatan tradisional Ida Dayak meskipun kesahihannya masih belum dapat dipastikan, kecuali dari bukti rekaman yang disebarluaskan.

Melambungnya nama Ida Dayak tidak patut dipersalahkan, apalagi dianggap wujud kemerosotan masyarakat kita akan edukasi kesehatan kiwari. 

Pengobatan alternatif, seperti namanya, sudah menjadi opsional bagi masyarakat kita sejak lama, bahkan mendahului pengobatan modern.Walaupun, tetap saja terdengar agak ironis. 

Memasuki abad ke-21 yang katanya teknologi kian canggih dan mumpuni, AI digadang-gadangkan segera menggantikan peran-peran krusial, masyarakat kita justru masih antre berkeringat dingin, berduyun-duyun mengharap kesembuhan dari 'keajaiban' tangan seorang dukun.

Sebelum Ida Dayak, jangan lupa kita pernah kenal dengan Ningsih Tinampi penyembuh segala penyakit, Ponari dengan 'batu ajaibnya', dan ribuan dukun pijat yang berjibun seandainya saya tulis satu per satu di sini. 

Kehadiran sosok balian yang dikultuskan dan dipercaya sakti mandraguna memang tidak terlepas dari kultur masyarakat kita yang berakar dari kepercayaan animisme-dinamisme. 

Adanya orang-orang yang yakin pada dunia klenik dan mistik merupakan kelaziman di komunal kita sekarang. Barangkali profesi 'dukun' setali tiga uang dengan dokter di mata mereka.

Biarpun demikian, tak serta-merta kita mengira asal-usulnya berangkat dari hal itu saja. Mengidap penyakit berbahaya dan mematikan, atau cedera parah seperti patah tulang, sesungguhnya dekat dengan 'biaya' pengobatan dan perawatan yang mahal. 

Sementara itu, dari tahun ke tahun biaya berobat di negara kita kian sulit dijangkau oleh rakyat kelas menengah ke bawah dan miskin, kecuali dengan jalan asuransi atau sokongan pelbagai pihak. 

Terkadang asuransi kesehatan yang dibayarkan melalui BPJS atau disubsidi pemerintah lewat JKN-KIS pun masih sering ditemukan hambatan di lapangan. Bahkan pasien kerap mengadu karena mengalami 'diskriminasi' di rumah sakit pemerintah atau puskesmas daerah. Baru-baru ini malahan muncul konten viral yang menyinggung situasi tersebut sehingga dikecam berbagai pihak.

Di samping itu, umumnya prosedur administrasi untuk mengakses layanan kesehatan baik di rumah sakit pemerintah maupun puskesmas acap kali berbelit-belit. 

Ketika pasien hendak berobat dalam kondisi darurat, mereka mesti dihadang dahulu oleh isian dokumen-dokumen dan persyaratan yang menyusahkan. Belum lagi oknum nakes malas di beberapa tempat dengan sengaja menutup puskesmas lebih awal. Makanya tak jarang ada kasus-kasus pasien meninggal sebelum sempat ditangani oleh nakes.

Bukti paling nyata betapa masih jauhnya akses layanan kesehatan memadai dengan masyarakat miskin, yakni beberapa pasien penyakit kronis harus membuka donasi di media sosial. 

Salah seorang yang saya kenal terpaksa membuka donasi untuk pengobatan ayahnya. Sedihnya, sebelum dana sempat terkumpul, sang ayah sudah tak tertolong dan gagal dioperasi.

Sebaliknya, teman sekolah saya bernasib lebih beruntung. Setelah hampir setahun tidak dapat bangkit dari kasurnya, ia akhirnya berhasil dioperasi berkat sokongan dana dari banyak orang di medsos dan platform fundraising.

Sesungguhnya ini semua sudah menunjukkan masih banyak pe-er yang harus dibenahi pemerintah kita dan dijadikan bahan evaluasi untuk kebijakan di masa mendatang. 

Dan bagi para nakes, ketimbang meledek rakyat yang belum teredukasi dan masih percaya perklenikan di medsos, mungkin ada baiknya kalian ikut berbenah dan fokus menyebarluaskan informasi-informasi yang dapat membuka wawasan masyarakat secara luas, tidak hanya di kalangan terdidik, melainkan para marjinal dan kelompok nonterdidik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun