Ingat! Menulis adalah seni menuangkan ide menjadi gagasan dalam bentuk tulisan. Perihal bagus tidaknya dapat kita lanjutkan dalam proses lain bernama 'penyuntingan'.
"Bagaimana kalau saya kehilangan mood melanjutkan tulisan saya?"
Itu biasa. Setiap penulis pasti pernah merasakan kehilangan minat dengan proyek yang sedang ia kerjakan. Bagaimana tidak, bayangkan setiap hari menghabiskan waktu di depan monitor, mengetik kata demi kata, menyusun kalimat yang enak dibaca, membangun karakter, mengatur jalannya cerita. Singkatnya, membangun dunia dengan segala rinciannya rumit dan akan membosankan.
Memang pada awalnya sungguh terasa menyenangkan, apalagi jika ide yang hendak dituangkan sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Atau letupan ide itu muncul dalam semalam sehingga jemari begitu bertenaga menekan tuts keyboard sampai lupa waktu. Tapi layaknya minum air putih demi melenyapkan dahaga, di awal-awal mungkin benar terasa segar, tapi jika diminum berkali-kali, berkali-kali, lama-kelamaan bukanlah lagi perasaan segar yang didapatkan, melainkan hambar dan mual.
Demikianlah dalam hal menulis novel, semangat kita dapat pudar seiring berjalannya waktu. Apalagi jika kita tidak lihai memanajemen waktu kita dengan baik. Misalnya, ketika ide proyek itu direncanakan, alih-alih membagi waktu dalam beberapa hari atau bulan, kita justru mematok tenggat yang tidak masuk akal sehingga memaksakan diri harus menyelesaikannya selekas-lekasnya.
Jadi sama halnya dengan minum terlalu banyak. Menulis terlalu banyak pun dapat menimbulkan kejenuhan. Kalau sudah begitu, maka kita perlu mencari akal agar mood kita segera membaik kembali. Mungkin bisa dimulai dengan mengurangi tegukan-tegukan air dalam sekali jalan.Â
Sederhananya, membagi waktu menulis dalam beberapa periode sehingga 'keinginan' meneruskan cerita masih tersisa untuk keesokan harinya.
Saya teringat nasihat yang sering diulang-ulang mentor saya dua tahun silam. Beliau berkata pada kami, murid bimbingannya, "Hentikan menulis meskipun kamu sedang memiliki banyak ide. Cukup catat ide-ide itu untuk keesokan harinya."
Pertama kali mendengar nasihat itu saya kurang senang. Mengapa saya perlu berhenti menulis, padahal ide sedang menggelembung di kepala? Bukankah itu waktu-waktu berharga buat kita mewujudkannya? Bukankah nasihat konyol itu justru menutup keran ide?
Maka saya memilih melawan arus. Menentang nasihat itu dan berkutat dengan proyek sampai saya benar-benar merasa bosan. Tak perlu ditebak, sejak kebosanan menjangkiti saya, maka proyek novel saya resmi terbengkalai. Saya bermalas-malasan. Berlindung di balik mood dari hari ke hari. Menolak menjelaskan kendala saya secara jujur pada mentor menulis saya, kecuali berjanji pada mereka bahwa besok lusa saya akan segera menuntaskan tulisan saya.
Tapi hari esok tetap seperti hari yang lalu. Mood adalah perangkap yang diciptakan oleh saya sendiri.