Memang awalnya, saya merasa baik-baik saja memilih jalan hidup layaknya orang-orang normal. Bekerja di pabrik demi menghasilkan uang, berharap karier awal sebagai laboran berjalan mulus, dan bermimpi segera membangun rumah tangga dan memomong dua balita yang gemuk. Namun, hari-hari berubah kian suram dan menyedihkan. Momen krisis itu tiba di waktu yang tidak disangka-sangka.Â
Suatu malam yang hening, setelah kaki pegal karena mondar-mandir di plant, saya menyaksikan wajah-wajah buruh kasar, mereka kebanyakan seusia atau lebih muda daripada saya, namun dengan sedikit keberuntungan, memandangi dinding dengan tatapan dingin, murung, dan kosong. Wajah-wajah itu membuat saya seketika takut. Â Saya seakan baru saja melihat diri saya di antara mereka. Saya pikir, kepindahan saya ke tempat baru akan menjauhkan saya dari gangguan ketidaknyamanan, tetapi di tempat baru ketidaknyamanan makin menjadi-jadi. Wajah-wajah itu seolah-olah mimpi buruk. Mereka adalah saya. Mereka adalah saya yang diam saat mimpi-mimpi dibunuh dengan kejam oleh realitas.
Ketidaknyamanan itu menyiksa saya kembali. Sudah lama saya resah dan terganggu dengan pengalaman-pengalaman jomplang yang saya sadari selepas lulus sarjana. Betapa ketimpangan-ketimpangan sosial terlihat nyata sekali, ketidakadilan begitu akrab, kemanusiaan diabaikan, hak-hak saya dan orang-orang kecil direnggut paksa, lingkungan saya terus dirusak, mimpi yang runtuh, ditambah lagi kenangan-kenangan buruk saya datang menghantui. Singkatnya, saya mulai merasa tidak hidup selayaknya orang hidup. Saya bagaikan zombi yang berkeliaran di tengah kerumunan; tidak mengerti mengapa saya mesti melangkah seperti orang-orang di sekitar saya. Sebagaimana kata Kahlil Gibran dalam bukunya Sayap-Sayap Patah, "ketidakmengertian membuat orang hampa".
Dan saya sejak hari itu merasa hampa. Saya merasa hidup cuma untuk mengulang siklus yang tidak saya sukai. Pekerjaan yang saya lakukan memang menjamin kebutuhan hidup, tetapi separuh dari diri saya mulai koyak karena menipu isi hati saya sendiri. Setiap akan berangkat bekerja, saya dihantui pertanyaan, sampai kapan saya harus begini? Untuk apa hidup saya ini? Apa yang sesungguhnya saya kejar?
Mau sebesar apa pun usaha penolakan saya, tetapi takdirlah yang kemudian menggiring saya sendiri kembali ke impian lama saya itu. Layaknya Pinokio, saya akhirnya memutuskan membangkang pada petuah hidup yang dianut orang-orang dewasa. Maka melanjutkan bermimpi menjadi penulis sejati---yang menulis karena panggilan jiwa---merupakan keputusan paling berat dan berisiko yang telah saya ambil.Â
Jadi, saya dengan sadar berkomitmen akan membunuh angka-angka yang merantai segala gerak-gerik saya selama bertahun-tahun terakhir. Saya menempatkan profesi penulis tidak lagi sebagai hobi sampingan, melainkan kerja-kerja yang serius. Ini merupakan keputusan konyol yang sangat haram dilakukan oleh orang-orang waras. Dan, saya, meyakini bahwa saya sudah tidak waras sejak mengukuhkan keinginan mengejar kembali impian masa kecil itu.
Setelah berpikir berkali-kali, saya akhirnya mengiyakan tawaran dari perwakilan agen naskah. Seperti balita yang baru belajar berjalan, saya dibimbing oleh beberapa penulis dan editor senior selama proses penggarapan naskah fiksi. Maka, di umur saya yang baru menginjak dua puluh dua tahun, saya berhasil menyelesaikan draft prosa panjang pertama saya berjudul Kepada Siapa Ilalang Bercerita. Novel ini mengisahkan gejolak orang-orang desa di pedalaman Sumatra dalam menghadapi perusahaan perkebunan sawit yang tamak. Novel inilah kemudian menggiring saya kepada penemuan besar dalam diri saya. Melalui novel itu, saya juga mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penting yang selama ini mengganggu: Mengapa saya menulis? Kepada siapa saya menulis?
Petualangan saya dalam mengejar mimpi menjadi penulis sejati belumlah selesai. Sesungguhnya ini barulah permulaan. Hari ini saya masih terseok-seok melangkah sendirian di jalan sunyi senyap yang saya pilih. Apakah esok hari saya akan tetap menjadi penulis atau justru menyerah dan berhenti selamanya? Apakah saya bakal jadi Santiago dalam Sang Alkemis-nya Paulo Coelho yang konsisten mengejar cita-cita atau hanya seperti pemilik toko kristal yang bermimpi tapi tak ingin mewujudkannya? Jelas saya tidak tahu. Biarkan waktu kelak menjawabnya nanti.
"Tulisan ini pertama kali dimuat di Majalah Elora edisi pertama (2022)."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H