Mohon tunggu...
Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Cara Menghadapi Keraguan dalam Mengambil Keputusan

5 Juni 2020   13:27 Diperbarui: 13 April 2022   09:42 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Ragu menjalani pilihan via pixabay.com (PIXABAY/JESSHOOT-COM)

Kita sering merasa ragu setiap baru akan memulai sesuatu. Entah tindakan yang baru, hobi yang baru, profesi baru, ataupun hal-hal baru di luar zona nyaman kita sekarang.

Keraguan membuat diri kita selalu khawatir, bahkan terhadap apa-apa tak perlu dicemaskan. Tapi kenyataannya, semua yang baru kita hadapi memang rentan membuat kita cemas, membuat kita takut dan waspada berhadapan dengan yang namanya masalah.

MASALAH, dari sinilah semua perasaan ragu-ragu itu berasal. Terlihat sepele, cuma terdiri tujuh huruf, tapi mampu membuat kita tidak tenang. Kadang rasanya kita ingin berlari, kadang menunggu selesai, dan kadang pasrah pada keadaan. Ironisnya, kita kerap hanya ingin selalu menghindar dari masalah, alih-alig bersiap menghadapinya. Namun, tidakkah kita bertanya sehari kepada diri sendiri, sejak kapan kita bisa terbebas dari masalah?

Masalah selalu ada di depan kita. Zona nyaman cuma ungkapan murahan dan omong kosong, untuk menyebut masalah yang sudah kebal kita hadapi. Faktanya, kita tiap-tiap hendak memulai tindakan baru, masalah sudah siap menghadang di depan mata.

Diana, seorang lulusan jurusan keguruan yang baru mengajar sehari, misalnya, akan menyebut pekerjaannya sebagai masalah. Keberadaan murid nakal dan bebal, risiko pemecatan, urusan surat menyurat, laporan, dan tetek bengek dokumen yang harus dikerjakannya setiap hari adalah bagian dari poin-poin masalah itu. Lebih parah lagi, di tahun kedua, ketika ia yang baru diangkat jadi PNS tiba-tiba dimutasikan ke daerah terpencil. Komplit! Sekarang masalahnya makin runyam.

Kisah di atas tadi bukan andai-andai belaka. Itulah pengakuan seorang PNS yang mengajar ke pulau terpencil dalam sebuah acara talkshow di televisi yang saya saksikan setahun yang lalu. Demi bisa tetap mengajar, wanita itu setiap hari harus naik perahu selama berjam-jam menuju pulau yang susah dijangkau kendaraan itu. Pekerjaan yang amat berat, tapi dia sudah melakukannya hampir delapan tahun terakhir. Di akhir wawancara, setelah mengakui bahwa pilihan itu sempat menyulitkan hidupnya, kini ia mengakui dengan bangga pada pilihannya itu.

***

Hidup kosong bila tanpa masalah. Mengapa pula kita harus takut ada masalah? Kenapa juga mesti khawatir kelak mendapatkan masalah?

Masalah membuat kita jadi kuat seperti sekarang. Coba kita ingat-ingat lagi, masalah seperti apa saja yang sudah pernah kita lewati? Bagaimana kita bisa survive dan melanjutkan hidup sampai saat ini? Masalah rupanya tidak bisa membunuh, manusialah yang membunuh dirinya sendiri.

Ingatlah nasihat itu baik-baik ini: berusaha lari dari masalah tidak akan pernah menyelesaikan masalah kita.

Banyak orang (termasuk saya) sering memusingkan masalah yang belum terjadi atau yang akan terjadi. Kita terus-terusan mengendalikan diri sebaik mungkin agar masalah berkurang dan terbebas dari belenggunya. Tapi apa yang kemudian kita alami? Selesai satu masalah, muncul pula masalah baru seperti ucapan seorang penulis: kita terjebak dan berputar-putar di dalam lingkaran setan.

Di saat kita merasa sedang menjauhi masalah, padahal kita diam-diam sedang merawatnya. Kita melupakan hukum abadi di dunia ini, bahwa sebagai makhluk sosial, kita mustahil terbebas dari masalah. Hidup cuma rentetan masalah. Lalu kenapa kita mencoba berusaha menghindarinya?

Jika kamu calon guru katakan saja:

"Oke, saya bikin masalah baru dengan mengambil peran jadi guru ini." (Murid merepotkan, gaji kecil, dsb).

Jika kamu baru mulai berdagang:

"Oke, saya bikin masalah baru dengan mulai berdagang." (Resiko kerugian, tidak laku, bangkrut, ditolak konsumen, kena tipu, dsb).

Jika kamu baru mulai kuliah:

"Oke, saya bikin masalah baru dengan kuliah lagi." (Mata kuliah sulit, lulus lama, IPK biasa saja, dsb).

Jika kamu mulai bekerja di perusahaan:

"Oke, saya bikin masalah baru dengan jadi staf di sini. (Dikejar deadline, dapat boss pemarah, gaji pas-pasan dsb).

Dan contoh-contoh pilihan lain yang tak bisa disebutkan satu per satu.

Persetan dengan itu semua!

Sudah waktunya kita berhenti terus-terusan berharap mendapatkan cuma hal-hal yang baik-baik dan indah di dunia yang kejam ini. Sebab semua itu mustahil. Kita harus lapang dada menghadapi masalah seberapa pun beratnya. Kitalah yang seharusnya memilih dan mengendalikan masalah, bukan masalah yang memilih dan mengendalikan kita.

 Jangan biarkan pikiran kita merasa dikejar oleh hal yang tidak terlihat. Tanamkan saja dalam diri kita bahwa kita mampu melewati aral di depan mata. Mulai hari ini, pertanyaan "kenapa saya yang mendapat masalah?" mari kita ganti menjadi 'bagaimana cara menghadapi masalah?' 

Seseorang yang mampu memprediksi masalah dan hambatannya, harusnya mampu pula mencari jalan keluar atas masalahnya. Karena kita sejak awal sudah diberikan semacam simulasi atau tanda-tanda.

Ibarat melewati jembatan di atas jurang, kita sudah dikasih tahu kalau ada bagian berlubang, ada angin yang siap-siap menerjang, sebelum akhirnya mencapai seberang. Tinggal renungkan baik-baik cara menyiasati aral melintang tersebut.

Bagaimana cara saya menghadapi resiko dan rentetan masalah nanti, itu yang terpenting sekarang. Pikirkan cara melewatinya, bukan masalahnya. Karena otak kita tidak bisa mencari solusi kalau kita selalu menghambatnya.

Ada sebuah pesan: tinggalkanlah yang meragukanmu. Orang-orang sering mengartikan arti pesan ini yaitu usaha meninggalkan opsi yang membuat ragu-ragu. Padahal, maksud yang sebenarnya ialah tinggalkan penyakit ragu-ragu akan sesuatu yang menghambat masa depan. 

Jadi, masihkah kamu mau berdiam diri karena ragu-ragu? Masih maukah kamu menyesal dan berhenti mencoba karena takut dengan masalah? Itu terserah padamu. Terakhir, aku hanya ingin berpesan:

"Air yang tenang suatu kali akan beriak, besi yang kuat juga akan berkarat, manusia hidup akan wafat. Maka sia-sialah jika kamu tak mau bangkit dan menghadapi masalah."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun