Kaum rebahan patut bersyukur. Setelah puas makan hati disindir-sindir oleh media mainstream pasca hebohnya pengumuman nama-nama staf khusus milenial presiden, kaum rebahan sekarang justru bisa bernapas lega kembali dan tersenyum membalik keadaan sambil ngomong,
"Gimana nih? Sekarang setelah tahu nyesel kan?" Â
Belakangan diyakini aktivitas rebahan tak bisa lagi dianggap sepele. Terutama semenjak sekolah dan kuliah secara mendadak diubah menjadi metode daring. Bahkan beberapa instansi dan perusahaan telah menerapkan konsep Work From Home (WFH) atau kerja dari rumah.
Tak bisa dipungkiri, aktivitas di rumah tentu saja semakin mendekatkan jarak antara kita dengan kasur. Sambil menunggu kuliah online, badan pun kadang terlentang kadang tengkurap seperti sedang dibolak-balik tukang jemur ikan asin.
Atau bisa juga rapat dengan kolega pakai aplikasi zoom sambil rebahan di kamar, ah mungkin terkesan berlebihan, tapi faktanya intensitas di kasur sudah pasti bertambah.
Semula kaum rebahan punya konotasi negatif, identik dengan orang yang suka malas-malasan sambil scroll medsos lalu nulis twit komedi atau galau. Itulah kenapa media sering menyindir kaum rebahan dengan cara 'membandingkan kadar kesuksesan para stafsus milenial dengan kaum rebahan yang dianggap jauh dari kata 'perubahan'.
Namun, pandemi corona layaknya hujan di tengah-tengah kemarau panjang, mematahkan semua asumsi-asumsi dan pandangan sinis yang selama ini dianut, seketika dipaksa terkonversi menjadi 'ide dan gagasan' paling masuk akal.Â
Rebahan sangat membantu Pemerintah dalam hal mencegah meluasnya proses penularan virus Covid-19. Meskipun karantina sebenarnya bukan hal baru lagi. Dahulu, sewaktu epidemi Maut Hitam muncul, cara ini sudah pernah diberlakukan.
Dan setidaknya 'kaum rebahan' boleh dibilang berperan dalam mengurangi beban Pemerintah. Betapa pun inisiatif orang-orang yang memilih stay di rumah, ketimbang keluyuran di jalan-jalan jauh sungguh patut diapresiasi sekarang. Apalagi kalau dibandingkan dengan kelompok yang digadang-gadangkan membawa segenap perubahan, ternyata justru melakukan praktik maladministrasi. Jauh banget dong!
Lagi pula kaum rebahan tidak punya kuasa untuk melakukan perbuatan tidak tercela itu. Mereka paling-paling dijadikan objek sindiran atau dianggap potret miris anak bangsa.
Kalau diibaratkan laporan, rumusan masalah bangsa sering dikait-kaitkan dengan keberadaan kaum rebahan. Kira-kira begini: Bagaimana cara mengatasi keberadaan kaum rebahan yang mogok skripsian dan malas nyari kerja?