Mohon tunggu...
Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Jangan Gampang Bilang Orang Lain Toxic

25 Januari 2020   12:55 Diperbarui: 26 Januari 2020   12:23 2986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Toxic atau toksik berarti beracun. Dalam ilmu kimia, kata toxic mengarah pada sifat suatu senyawa atau zat yang menimbulkan efek beracun (fatal). 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) toksik berarti racun, beracun, atau berkenaan dengan racun. Material Safety Data Sheet (MSDS) menggambarkan senyawa toksik dengan label piktogram tengkorak yang diberi tanda silang merah.  

Kata racun sendiri bukan hal yang baru. Istilah racun pertama kali dikenal dalam kebudayaan bangsa Sumeria. Diketahui pada abad 2500 SM mereka menyembah dewi racun. 

Dalam mitologi Yunani pun juga pernah disebutkan kisah Mahdea yang berencana membunuh Theseus menggunakan anggur beracun.

Saat ini penggunakan kata toxic mulai bergeser. Semenjak ilmu psikologi populer memperkenalkan istilah toxic untuk menyebut kebiasaan atau tindakan seseorang yang "meracuni" orang lain. 

Setidaknya ada banyak istilah baru yang digunakan untuk mengenali "toxic people" antara lain, toxic masculinity, toxic friendship, toxic parents, toxic relationship, toxic leadership, dan masih banyak padanan "toxic" yang disematkan kepada tiap-tiap hubungan tidak sehat antara sesama manusia.

Label toxic pun mulai dipakai dalam berbagai aspek menyangkut hubungan. Seorang anak yang punya orangtua ambisius dan pemarah akan menyebut orang tuanya "oxic parents". Pekerja kantor yang kerap mendapatkan keluh-kesah dan bertemu rekan yang menyebalkan akan melabeli dengan "toxic friendship". 

Karyawan yang bertemu dengan atasan yang narsistik dan sering tak menghargai karyawan akan menjuluki "toxic leadership". Dan jika disadari setiap kasus hubungan antar manusia, dipastikan selalu ada "toxic people". Orang-orang saling melabeli sesama dengan toxic, tetapi adakah yang mau intropeksi diri kalau dirinya sendirilah mungkin juga toxic?

Toxic atau toksik bila diartikan secara sempit berarti sikap-sikap negatif dari seseorang yang menyebabkan individu tidak nyaman, merasa buruk, bahkan sampai kehilangan jati diri dan semangat akibat sering mendapatkan pengaruh negatif. Sesuatu akan jadi toxic apabila dilakukan secara berlebihan.

Paracelcus, seorang bapak Toksikologi pernah menyebut bahwa segala sesuatu adalah racun dan tak ada yang tanpa racun. Pahami kalimat ini, jika Paracelcus pun menganggap semua zat sebenarnya bisa menjadi racun, begitu pun dengan hubungan antar manusia, sesehat apapun hubungan masih akan jadi racun jua jikalau tidak ada batasan atau berlebih-lebihan.

Dosislah yang membuat sesuatu menjadi bukan racun, lanjut Paracelcus. Dosis di sini bermakna batasan, tanpa adanya batasan yang jelas, maka sesuatu yang dianggap baik dan sehat sekalipun, bisa menjadi racun pembunuh.

Sama halnya dengan hubungan, sebelum kita menyebut orang-orang lain toxic, bertanyalah pada diri sendiri, kenapa kita bisa di kelilingi atau berada dalam lingkaran orang-orang toxic? kenapa semua orang di mata kita jadi beracun? Apakah diri kita bersih dari label toxic?

Jawabannya bisa dipastikan, Anda sedang membela diri. Anda merasa terjebak dalam relasi yang buruk dengan orang-orang yang punya energi negatif. Ketahuilah, melabeli orang lain dengan istilah toxic itu sangatlah mudah. Anda juga tidak sadar mungkin sedang dilabeli oleh orang lain.

Seringkali kejadian yang tidak intens, jarang terjadi, bahkan hanya sekali bisa membuat orang menyebut sesama dengan istilah toxic. Misalnya seorang sahabat sekantor yang curhat dan mengeluh atas masalah yang menimpa keluarganya. Kuta serta merta melabeli orang itu "pengeluh" dan "negatif".

Padahal jika dipikir-pikir mengeluh, sedih, marah, dan kecewa merupakan hal manusiawi pada diri manusia. Seharusnya kita yang merasa bukan manusia toxic mampu menyebarkan semangat positif dan lisan yang baik. Bukan dengan gampang melabeli ini itu.

Ketimbang melabeli orang lain toxic dan membaca artikel "Cara menjauhi orang toxic", baiknya introspeksi dan kenali diri sendiri. Tidak adil jika kita menyebut orang lain racun, padahal diri sendirilah yang mulanya memberikan racun. Sifat merasa diri paling benar dan menganggap orang lain selalu salah juga termasuk kepribadian toxic.

Walau demikian, saya pun tidak menolak keberadaan fenomena toxic people. Hubungan tidak sehat pasti ada, entah di keluarga, pertemanan, kantor, asmara, dll. Namun, yang perlu ditekankan adalah berhati-hatilah dengan kata ini. Ingatlah, jangan terlalu mudah melabelkan orang lain.

Ketika Anda menemukan artikel yang membahas ciri-ciri orang toxic, gunakan sebagai sarana introspeksi bagi diri sendiri, bukan dipakai untuk labelling. 

Bedakan juga hal-hal manusiawi dan berlebihan, caranya yaitu dengan menempatkan diri dalam dua sisi, jangan hanya menempatkan diri sebagai korban, kamu juga sewaktu-waktu bisa menjadi si toxic. 

Hidup ini penuh keseimbangan, ada sesuatu yang dianggap baik dan ada juga perbuatan buruk. Tidak mungkin semua yang kita lakukan dipandang baik, karena kita manusia dan rentan melakukan perbuatan salah. Walau begitu jangan jadikan alasan "saya hanya manusia" untuk berbuat sekehendaknya. Ingat pepatah bilang, apa yang kita tanam, maka itulah yang kita petik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun