Fenomena kerajaan fiktif nampaknya sedang menjamur di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung kerajaan Agung Sejagat misalnya,  sang pendiri mengklaim bahwa masih keturunan Syailendra dan penerus Majapahit.Â
Setelah ditangkap atas dugaan penipuan dan pembuat keonaran, pendiri kerajaan Agung Sejagat baru-baru ini mengakui jika tindakan yang mereka lakukan merupakan pembohongan dan juga wangsit yang didapatkan itu hanya khayalan.
Timbul pertanyaan di benak saya. Mengapa kerajaan Agung Sejagat dan kerajaan fiktif sejenis memiliki pengikut bahkan sampai ratusan orang?
Sejak kecil, kita sudah terbiasa dengan dongeng dan legenda tentang kerajaan-kerajaan. Tidak hanya cerita dari luar negeri yang identik dengan kehidupan istana nan gemerlapan.Â
Di dalam negeri pun kisah-kisah legenda kebanyakkan masih dalam ruang lingkup keluarga kerajaan, yang biasanya dikisahkan mengenai perjalanan seorang pangeran sebelum naik tahta yang mencari permaisuri atau putri jelita, maupun kisah putri miskin (cantik) bertemu pangeran tampan, kemudian mereka menikah dan hidup bahagia, klise memang.Tapi siapapun selalu menyukai sebuah dongeng berakhir manis daripada tragis.
Bukan hal mengherankan lagi, jika kita di masa kecil sering bermimpi hidup dalam istana, menjadi seorang raja, ratu, atau setidaknya sebagai kerabat kerajaan, yang mana  semua kebutuhannya terpenuhi, dihormati, dan diistimewakan.
Sebagaimana Bawang Putih diboyong pangeran ke istana, setelah melewati banyak penderitaan bersama ibu dan adik tirinya (dalam Dongeng Bawang Putih dan Bawang Merah) atau nasib Cinderela ditentukan melalui sayembara sepatu kaca ajaib oleh pangeran (dalam Dongeng Cinderela).Â
Masih banyak lagi dongeng serupa seperti Timun Emas, Keong Emas, Putri Tidur, Si Cantik dan Si Buruk Rupa, dll. Ada juga kisah Ken Arok dan Ken Dedes, Kisah Ramayana, Perang Bubat, Â dan masih banyak lagi.
Dongeng  dan legenda tidak hanya mengajarkan pesan moral kepada pembaca, lebih dari itu dongeng mampu memberi perspektif berbeda mengenai kesadaran tentang tingkatan sosial yang masih relevan saat ini.
Satu-satunya pemahaman (lain) yang bisa kita sepakati dari sebuah dongeng kerajaan yaitu, cara termudah melawan kemiskinan ialah dengan menjadi bagian dari keluarga istana.
Pendiri Keraton Agung Sejagat dan kerajaan fiktif lainnya mampu memanfaatkan celah ini. Suatu fiksi akan menjadi fiksi bila hanya ada dalam cerita dan tanpa objek pendukung yang meyakinkan.Â
Bagaimana bila ia membawa fiksi ke realita menggunakan modal yang tak main-main dan disertai bukti-bukti meyakinkan?Â
Ya, dari sinilah kunci ia menarik perhatian orang-orang awam. Kita belum lupa dengan kasus Dimas Kanjeng yang menipu melalui modus penggandaan uang atau Lia Eden yang mengaku sebagai nabi dan punya banyak pengikut.
Masyarakat awam rentan diperalat sebagai pundi-pundi uang bagi seseorang untuk mencapai hasrat mereka. Janji-janji hidup dalam kemewahan, kekuasaan, atau kenaikan status sosial telah membuat masyarakat awam mengalami bias realitas.Â
Padahal para oknum-oknum ini bisa jadi seorang penderita delusi tingkat tinggi, atau seorang penipu ulung yang memanfaatkan kelemahan awam yang mengejar mimpi hidup bagai di istana.
Semua orang pernah bermimpi hidup bak di negeri dongeng. Tetapi tidak semua orang bisa menerima bahwa dongeng tak selalu bisa sejajar dengan realita. Maka perlu bagi orang tua mengajarkan pada anak-anaknya hakikat sebuah dongeng.Â
Dongeng tidak melulu berakhir dalam bangunan megah, mewah, dan serba indah. Berilah pemahaman bahwa jaminan kebahagiaan bukan pula ada pada harta kekayaan.Â
Melainkan moral, akal budi dan kebaikan yang ada diri seseorang. Dengan begitu, kelak sang anak mengerti jikalau harta dan status sosial tidak selalu menjamin seseorang akan berakhir bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H