Mohon tunggu...
Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Bayi Terancam Diadopsi akibat Tagihan Rumah Sakit

14 Januari 2020   15:47 Diperbarui: 14 Januari 2020   16:13 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bayi via pixabay.com

Setiap pasangan pastilah menantikan-nantikan kelahiran anak pertama mereka. Betapa tidak, keberadaan buah hati merupakan wujud kebahagiaan dalam keluarga. Malangnya pasutri asal Prabumulih tak bisa merasakan suka cita bersama putra mereka lantaran tertahan tunggakan biaya rumah sakit.

Febriyanto (27) dan istrinya, Yul Armi Kurniati (23), warga Kelurahan Muaradua Kecamatan Prabumulih Timur kota Prabumulih sampai hari ini belum bisa membawa anak pertama setelah tiga bulan melahirkan buah hati mereka dari rumah sakit swasta di Kota Prabumulih.

Dikutip dari laman Kompas.com (14/01), bahwa pihak rumah sakit sudah memberikan potongan biaya sebesar 10 juta dari total biaya awal. Beberapa pihak juga memberikan bantuan hingga tunggakan yang tersisa sebesar 17 juta lagi. Febriyanto yang hanya bekerja sebagai tukang bangunan belum mampu melunasi uang sejumlah itu.

Bayi kembar bernama Delfa dan Delfi  yang  lahir pada tanggal 23 september 2019 terlahir dalam keadaan Prematur atau Sepsis Neonatorum. hal ini mengakibatkan keduanya harus dirawat intensif di dalam inkubator. Satu diantaranya hanya berumur satu bulan dan meninggal dunia. Pada saat itu, Febriyanto sudah menebus biaya anaknya (yang meninggal) supaya bisa dibawa pulang.

Bayi Terancam Diadopsi
Menurut pengakuan Febriyanto dalam wawancaranya dengan wartawan Portal Sriwijaya.com (12/01) bahwa ia diberi waktu sampai tanggal 17 Januari nanti untuk melakukan pelunasan. Bila tidak melunasi sampai dengan tanggal yang ditetapkan, maka bayi harus dicarikan pengadopsi. Ia sendiri telah membubuhkan tanda tangan di atas perjanjian bermaterai 6000. Dikarenakan ia tak punya pilihan lain.

Menanggapi kasus ini saya tak bisa sepenuhnya menyimpulkan bahwa pihak rumah sakit bersalah karena menahan bayi sampai tiga bulan lamanya. Mengingat rumah sakit tersebut memang dikelola oleh swasta bukan milik Pemerintah. Namun, yang sangat disayangkan adalah keberadaan "perjanjian adopsi" bila mencapai batas tempo. Itu sangat-sangat tidak masuk akal dan hampir menyentuh batas-batas hak asasi yang dibawa oleh setiap anak yang lahir.  Sebagaimana disebutkan dalam pasal 28B ayat 2 ,

"Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi."

Meskipun orang tua bayi sudah menanda tangani kesepakatan tersebut, logikanya  mana mau orang tua merelakan anak semata wayang mereka untuk diadopsi oleh orang lain. Saya kira, semua terjadi karena ketidakberdayaan.

Lagipula bayi yang lahir suci dan tak berdosa itu tidak sepatutnya dijadikan jaminan. Saya tahu, usaha pihak rumah sakit menahan bayi tersebut memang tidak melanggar hukum dikarenakan bayi itu masih dirawat dan diberikan hak-hak hidupnya. Sedangkan pasal Pasal 333 ayat (1) KUHP tidak mengkategorikan kejadian ini sebagai tindak penyanderaan.

Walau begitu, adanya perjanjian adopsi itu rasanya sulit diterima oleh siapapun. Tidak bisakah memberikan jalan keluar lain bagi pihak keluarga demi membebaskan sang bayi? Apakah hak-hak sang bayi dikesampingkan karena keterbatasan ekonomi orang tuanya?

Tanggapan Warganet
Ada yang membuat saya heran dan lebih miris, yaitu ketika saya membaca komentar orang-orang di sosial media. Banyak diantaranya menyalahkan pihak keluarga yang dianggap tidak memiliki kesiapan finansial dalam menyambut kelahiran bayi mereka. Menurut mereka (warganet) sepatutnya orang tua menyiapkan paling tidak jaminan sosial  berupa BPJS atau kis, dan bukan mengharapkan bantuan dari orang lain.

Sebagai masyarakat yang berbudi luhur dan menjunjung nilai-nilai tenggang rasa,  melihat kejadian ini seharusnya tertanam sikap empati dan iba, bukan malah merendahkan sesama. Lagipula kita tidak tahu bagaimana kehidupan masing-masing orang. Untuk apa mencela jika membantu pun tidak bisa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun