Mohon tunggu...
Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Lagu India, Dangdut, dan Label "Kampungan" Melekat pada Pendengarnya

8 Januari 2020   06:00 Diperbarui: 8 Januari 2020   13:30 1364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang yang gengsi untuk sekadar mengakui kalau sekiranya mereka sebenarnya suka dengan lagu negara bombai. Termasuk saya sendiri, terutama karena terlalu takut dihakimi,  dianggap selera musik norak. Sama halnya seperti ketika saya suka lagu dangdut klasik yang dinilai 'kuno' dan 'kampungan'.

Saking tak mau diketahui orang lain, saya hanya berani secara diam-diam untuk memutar lagu-lagu milik Arijit Singh, Udit Narayan, Lata Mangeshkar, dll. 

Tidak seberani ketika saya mendengarkan lagu-lagu milik Adele, Westlife, Celine Dion, atau Maroon 5 dengan santai. Apa yang membuat saya malu ketika mendengar lagu India dan dangdut di dekat orang lain saat itu?

Padahal sejujurnya saya bukan orang yang pemilih, atau cenderung  hanya menyukai satu genre musik saja. Saya suka pop, rock, dangdut, India, dll tetapi saya tidak bisa membohongi diri sendiri, kalau lagu India yang dijadikan soundtrack film-film melankolis nan amat meyayat hati sering saya jadikan playlist youtube.

Menurut pandangan saya, lagu India itu meskipun liriknya tidak dimengerti. Namun, alunan musik dan suara penyanyinya yang syahdu bikin hati terenyuh. Kadang-kadang membuat suasana ramai seketika.  Ini karena kita akan otomatis teringat potongan-potongan adegan dalam film setiap kali kita mendengar soundtrack film India.

***
Gengsinya anak muda mengakui bahwa mereka terhibur dengan lagu Bollywood saya pikir mungkin karena beberapa alasan. Pertama, selama ini ada anggapan kalau lagu Bollywood adalah hiburan bagi masyarakat kelas bawah alias kaum pinggiran.

Rhoma Irama dan Lata Mangeshkar via Rhomairama.info
Rhoma Irama dan Lata Mangeshkar via Rhomairama.info
Lihat saja, setiap film India, mau dalam keadaan sedih ataupun bahagia, mereka pasti bernyanyi. Terkadang membawakan lirik-lirik teramat sedih dan pilu. Kalau sedang riang gembira mereka bukan hanya menyanyi bahkan tak jarang menari yang diikuti tarian kompak.

Entah kapan latihan tiba-tiba semua orang bisa serempak mengikuti gerakan. Tak bisa menyana kenyataan sekiranya tari-tarian masal yang penuh kebahagiaan dan kegembiraan itu merupakan hiburan kaum proleter. Mereka berniat lupa diri dari kemelut hidup yang sedang diratapi.

Kedua,  lagu-lagu Bollywood memang lebih familiar di kalangan gen X (1961-1981) dan milenial (1981-1996) di mana film-film Bollywood  memperkenalkan musiknya lewat film di televisi hitam-putih.

Bocah-bocah ekonomi lemah berduyun-duyun menumpang nonton film india di tv milik tetangga yang saat itu jumlahnya hanya dalam hitungan jari. Soundtrack film-film itulah nantinya kelak banyak mengilhami musik dangdut.

Terbukti ratusan lagu dangdut hits  di Indonesia ternyata disadur dari soundtrack film India. Seperti lagu Gulali (Rhoma Irama) disadur dari Aane Se Uske Aaye Bahar (Mohammed Rafi) ost film Jeene Ki Raah (1969). 

Mardatilla yang disadur dari Bahut Pyar Karte Hai (Anuradha Paudhwal) ost film Sajaan (1991), Boneka dari India (Ellya Khadam) dari Sama Hai Bahar Ka (Lata Mangeshkar) ost film Ashiana (1952). Dan masih banyak lagi kalau saya jabarkan satu per satu.

Pada masa itu aktivitas sadur menyadur masih lazim, bahkan Rhoma Irama pernah berduet dengan penyanyi kenamaan asal India, Lata Mengeshkar. Anda mungkin tidak asing lagi dengan lagu 'Sekuntum Mawar Merah' yang dinyanyikan oleh Lata.

Ketiga, melihat hubungan keduanya yang begitu erat. Tidak heran kalau lagu India dan dangdut sering disangkutpautkan dan sama-sama dicap sebagai "musik kampungan" lebih-lebih oleh penikmat "musik gedongan" yang berkiblat ke Barat.  

Kata kampungan ini karena merujuk dengan pembawaan pada lagu dangdut beberapa tahun-tahun sebelumnya yang dekat dengan bayangan musik yang diputar di pinggir jalan, truk, warung, acara di kampung, dan lapangan. Belum lagi anggapan "kampungan" berasal dari cerminan lirik yang vulgar dan terlalu seronok.

Apakah saya sekarang masih malu?

Tidak, mindset inilah yang telah saya ubah. Musik tidak seharusnya dibatasi. Inilah hak kebebasan manusia dalam mendapatkan asupan hiburan. Tanpa harus berpikir mengenai umur, tingkatan sosial, dan pandangan orang lain.

Musik bukan kejahatan yang harus ditutup-tutupi, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun