Ketika menghadapi masalah, seseorang pasti membutuhkan tindakan untuk melampiaskan keluh-kesahnya. Entah melalui curhat secara langsung atau menuliskannya menjadi semacam diari.Â
Bicara tentang menulis, ada banyak orang yang berani menuliskan kisah nyata hidup secara terang-terangan di media sosial. Mereka yang menulis kisah pribadi ini tak jarang mendapatkan banyak respond positif dan dukungan dari orang-orang yang membaca kisahnya.
Inilah yang coba dilakukan oleh NJ (nama inisial). Ia mencurahkan kisah hidupnya dalam bentuk cerbung berjudul "Dzalim Saudara Kandungku Menyebabkan Aku Terpaksa Memilih Riba".Â
Tulisan pertama yang ia bagikan dalam grup kepenulisan mendadak viral, bahkan telah disukai lebih dari 2.000 orang, dikomentari sampai 6.000 kali, dan dibagikan lebih dari 1.000 kali oleh pembaca.
Prestasi?Â
Mendapat reaksi sebesar itu sebenarnya adalah pencapaian yang luar biasa bagi seorang penulis pemula. Namun, usai saya telisik ternyata tanggapan sebesar itu hampir semuanya adalah kecaman dan hujatan dari pembaca yang merasa penulis bermain playing victim. Mengapa isi tulisan yang membuat orang geram dan menghujat si penulis?
Dalam episode pertamanya, sang pembuat cerita, NJ memberi label bahwa ini adalah kisah nyata. Tentang keterpaksaan dirinya meminjam uang di bank, menurutnya itu perbuatan riba. Alasan ia berutang ke bank karena sang kakak tidak mau meminjamkan uang lagi untuk kebutuhan anak-anaknya kuliah.
Sang kakak tidak meminjamkan uang lagi karena sang adiknya (si penulis) dua tahun sebelumnya meminjam uang 10 juta, lalu 20 juta, dan kali ini ingin meminjam 40 juta.Â
Dalam narasi yang dibuat, sang adik menggambarkan bahwa kakaknya seolah-olah pelit dan sombong karena tidak mau mengutangi dirinya uang yang "hanya" 40 juta. Â Malahan kakaknya itu memberikan uang dua juta secara cuma-cuma dan melunaskan semua hutang si adik, asalkan si adik jangan datang lagi ke rumah untuk berhutang padanya.
NJ kemudian menulis dua episode lagi, yang melanjutkan fakta keburukan kakak di mata seorang adik. Seperti misalnya sang kakak mendidik ia dengan keras lantaran ayah mereka pemabuk dan tak mengurus keluarga.Â
Kisah sang kakak yang menipu bekas mahasiswanya, demi bisa menikahkan si NJ yang dihamili orang tak dikenal sewaktu kabur dari rumah, dan beberapa kisah kesombongan sang kakak dinilai riya dan pamer harta.
Inti dari cerita yang ia buat adalah menyudutkan kakak kandungnya sendiri dalam bentuk narasi.
***
Seandainya cerita ini murni kisah nyata, maka saya tidak jauh berbeda dengan pembaca yang lain. Ada rasa prihatin dan kesal yang tergambar sesaat saya membaca kisah kehidupan si NJ.
Tetapi ketimbang saya terlalu tendensius dan emosional membaca isi dalam cerita, maka saya lebih baik mengambil pelajaran berharga dari fenomena ini. Hindari curhat di media sosial untuk mencari pembenaran. Ada beberapa alasan menurut saya kenapa sebaiknya kamu tidak melakukan curhat di medsos.
1. Menelanjangi Diri Sendiri
Saat seseorang bercerita tentang konflik kehidupan pribadi di medsos, maka ia sedang menunjukkan semua sisi tersembunyi dan kelemahan yang ia punya. Â Betapa memalukan jika kisah itu dibaca oleh kenalan atau rekan kerja. Apalagi bila mereka sampai ikut campur dengan menanyakan sebab musabab sampai ke titik detail. Percayalah, tidak semua orang yang bertanya itu berarti peduli dan ingin membantu. Â Mereka lebih banyak sekadar ingin tahu saja.
Belum lagi bila melibatkan keluarga terdekat. Persepsi negatif terhadap keluarga dan cap buruk akan melekat di mata orang lain. Selain itu hubungan sesama keluarga juga bisa jadi renggang karena tersinggung dan merasa dirugikan.
2. Memperkeruh Keadaan
Berkeluh-kesah bukan pada tempatnya tidak akan selalu berakhir baik. Semisal korban perkosaan yang menceritakan kisah hidupnya. Alih-alih mendapatkan dukungan moral, lebih banyak orang akan menyalahkan dan menceramahi korban. Mulai dari mempermasalahkan pakaian, kelakuan, atau bahkan meragukan kisah si korban. Kalau sudah begitu, maka bukannya solusi dan dukungan didapatkan, malah semakin depresi.
Tanggapan seperti itu memang salah. Tapi bisakah kita mengatur isi kepala orang lain? Tentu tidak, mereka akan tetap mempertahankan argumen mereka sendiri. Sudah seharusnya mempertimbangkan untuk tak sembarangan meluapkan masalah di medsos demi mencari empati atau pembenaran dari orang lain.
3. Beresiko dipenjara
Sekilas terdengar lebay, tapi bayangkan jika seseorang sehabis curhat di medsos lalu mendapat tuntutan atas pencemaran nama baik? Apalagi argumen yang disampaikan tak memiliki bukti dan landasan. Â Maka akan jadi keuntungan tersendiri bagi yang namanya dicatut.
Selain itu, di medsos lebih banyak orang yang senang memprovokasi dan memperburuk keadaan. Masalah yang sebelumnya bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan justru bisa berakhir di jalur hukum.
Ada juga kekerasan dan pembunuhan yang berawal  dari curhat di medsos. Dalam suatu berita yang pernah saya tonton di televisi,  seorang suami melakukan pembunuhan pada istrinya hanya karena tersinggung dan merasa tidak terima dihina di status medsos.
4. Menjadi Jejak Abadi
Siapa sangka curhat yang ditulis sepuluh tahun yang lalu, bisa menjadi masalah di masa sekarang. Hal ini memang tidak disadari. Setiap kali menulis, orang-orang pasti akan meninggalkan jejaknya di medsos. Dan jejak-jejak ini sangat mudah sekali untuk dilacak.
Misalnya Facebook yang punya fitur kronologi. Hanya dengan memilih bulan dan tahun yang ingin diketahui, maka secara cepat kita menemukan status pada waktu yang dimaksud. Kabar bagusnya, di Facebook kita masih dapat menghapus jejak lama itu atau mengganti privasi dari publik ke 'hanya saya'.
Nah, sedangkan di Twitter saya perhatikan jejak abadi sulit dihapus. Sebab banyak situs-situs lain yang mengumpulkan tweet berdasarkan tagar yang digunakan atau kata kunci. Â Walaupun sudah dihapus, twit itu akan tetap tersimpan dan bisa ditemukan di Google ketika seseseorang mengetik akun user yang dimaksud. Mengerikan, bukan?
5. Dimanfaatkan oleh Orang Lain
Keadaan seseorang yang tengah diliputi masalah, akan jadi lahan bagi orang lain untuk berniat jahat. Bertopengkan komentar di medsos  'ingin membantu', maka orang asing itu dengan mudah ikut campur bahkan mempengaruhi pola pikir. Biasanya seorang predator (istilah pelaku pelecehan seksual) suka memanfaatkan kelemahan orang lain ini untuk mencari mangsa atau korban. Jadi berhati-hatilah bagi perempuan yang sering curhat di medsos.
Seandainya kita punya masalah. Lebih baik ceritakan pada orang yang tepat dan mau mendengarkan keluh-kesah yang kita miliki. Berusahalah untuk menahan diri agar tidak curhat di medsos. Karena medsos bukan tempat yang 'aman' buat berbagi cerita pribadi. Selain berujung dihakimi, juga menjadi beban mental tersendiri saat menghadapi kecaman dari orang lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI