Semua orang setuju, pembajakan bukan suatu hal yang diterima oleh siapapun. Terutama karena merugikan pemilik hak cipta intelektual dan termasuk tindakan ilegal.
Sayangnya, dunia bajak-membajak film ini bukan lagi hal yang baru. Misalnya sebelum ada situs IndoXXI atau LK21, penjual VCD atau DVD bajakan sudah lebih dahulu mengambil pasar ini dan akhirnya gulung tikar lantaran dikalahkan situs streaming yang kualitasnya lebih baik.
Fenomena situs IndoXXI dan "kawan-kawan" yang diblokir cuma pekerjaan yang dibesar-besarkan. Kominfo memang sudah sering melakukan pemblokiran pada situs penyedia film bajakan. Namun, tahun 2019 ini mereka lebih gencar melakukan pemblokiran dan mengundang sorotan negatif dari pengguna situs tersebut.
Survei YouGov menyebutkan bahwa  63% konsumen online di Indonesia mengakses website film bajakan. Adapun menurut Coalition Against Piracy (CAP) demografis pengakses situs berada di antara 18-24 tahun. Apa yang bisa kita simpulkan dari data-data ini?
Yang pasti pengguna situs web bajakan memang orang-orang dalam kondisi finansial tidak bisa dikatakan baik juga. Usia antara 18-24 tahun kebanyakkan adalah pelajar yang baru lulus, mahasiswa, pekerja yang memulai karier, dan lain-lain.
Barangkali mereka ingin menikmati sesuatu yang bagus, hanya saja ditekan penghematan atau tak mau mengeluarkan modal lebih serta minimnya penyedia akses yang legal dan murah.
Menurut pendapat penulis pribadi, usaha pemerintah memblokir situs-situs streaming bajakan tidak akan memberikan solusi yang berarti. Kalau pun ini mencuat dan banyak menimbulkan reaksi, itu berlangsung hanya sementara waktu.
Toh, yang namanya bajakan tetap akan ada, karena selagi pasarnya masih ada, orang-orang pasti akan berlomba-lomba mencari keuntungan dari kesempatan ini. Ibaratnya "say goodbye and welcome" sama pengusaha bajakan.
Menurut data Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APJII)Â mengenai Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia tahun 2017, yang mendominasi internet lebih dari tiga per empat dari total pengguna internet di Indonesia berasal dari strata ekonomi sosial menengah ke bawah (74,62%). Sedangkan ekonomi sosial kelas atas yang hanya mencakup 7,39 persen.
Tidak mengherankan kalau yang gratis dan ilegal banyak diminati, sasarannya mereka lumayan besar untuk menarik 74,62% ini. Hipokrit kalau mengabaikan hubungan finansial dengan kemajuan produk bajakan.
Ponsel bukan hal yang baru dan langka lagi dimiliki dari berbagai kalangan. Mereka yang nggak mampu-mampu amat pasti berpikir ulang untuk mengeluarkan budget untuk datang ke bioskop. Belum lagi orang-orang yang di daerahnya tidak memiliki bioskop dan harus menempuh jarak jauh untuk bioskop "terdekat".