Mohon tunggu...
Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Antara Kaum Blangsak dan Privilese

26 November 2019   09:41 Diperbarui: 27 November 2019   09:14 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: mencari jati diri. (sumber: pixabay)

"Orang tidak akan jadi kaum blangsak kalau dia bisa keluar dari jerat kemiskinannya." --unknown, Netizen. 

Beberapa hari yang lalu, medsos diramaikan dengan pemilihan stafsus presiden, yang konon usianya baru menginjak 23 tahun. Hal ini mendapat sorotan media maupun berbagai kalangan, salah satunya muncul dari kelompok pegiat seni dan sastra, yang mempopulerkan istilah "Privilese' dan 'kaum blangsak'. Sebut saja si x bersama si y sedang membela stafsus muda tsb.

Tidak aneh memang, orang-orang kelas sosial tertentu memang kerap membela kelompok mereka, maupun kelas menengah-bawah yg ikut-ikutan membela dan kerap dicap 'penjilat' oleh sesamanya. 

Dengan dalih apapun, terhadap profesinya, terhadap tugasnya, dan perannya hingga mereka berani terang-terangan meragukan kaum-kaum bawah atau menurut seorang penulis novel kenamaan bernama E, orang-orang blangsak.

Isu ini bermula dari netizen yg meragukan kapabilitas seorang stafsus muda tsb, bagaimana toh? kerja saja belum kok orang-orang ramai menggiring opini begini. Sentimen narasi media dibumbui "kejulidan" dan kecemburuan sosial sebetulnya menjadi cikal bakal kekesalan dengan stafsus yang tidak bersalah tsb. Kala berbagai macam berita online memuat headline yang kelewat biasa saja, "Wow! Stafsus Presiden Termuda Usia 23."

Pada saat yang sama, usia 23 tahun anak muda di negara tercinta ini baru saja (rebahan) menyelesaikan pendidikan S-1 mereka, atau baru meniti karir menjadi pegawai, beberapa lagi tidak beruntung melanjutkan pendidikan memilih jadi buruh kasar, dan tak bisa dijabarkan semua profesi pada anak-anak muda usia 23 tahun ini.

Berbanding terbalik 1000% dengan si staf muda,  di usianya  23 tahun  sudah menjadi stafsus, usia 15 sudah menjabat ini, pernah rugi 500 milyar, pernah kuliah di kampus paling bergengsi di dunia, dll.  Lalu muncul pertanyaan ironi di akhir narasi atau caption media yang bertanya, "Apa yang sedang Anda lakukan di usia 23 tahun ?"

Mendapati pertanyaan teramat mudah dijawab, namun nyesek dijelaskan kendati perbedaannya yang amat mencolok, pastilah memancing kekesalan netizen. Alih-alih memuji, orang-orang mulai mempertanyakan perihal peran privilese, ya atas kedudukkan orang tuanya. Di usia 15 tahun, katanya sih ia tidak meminta modal sama sekali pada ayahnya.

Namun pernyataan ini ditentang oleh netizen, menurut mereka tanpa si Dia meminta perlakuan khusus, orang-orang pasti akan memberikan keistimewaan padanya sebab pada nama belakangnya terselip nama ayahnya. Lah ini level julidnya sudah makin menjadi-jadi? 

Pada dasarnya tidak ada orang yang memilih orang tua ketika akan dilahirkan, semua terjadi dengan sendirinya-atas kontruksi takdir. Terlahir kaya sejak dini atau menjadi kaum blangsak memanglah satu-satunya jalan yang tak bisa ditolak. 

Seseorang yang kaya raya sejak lahir tentu hidup dengan segala aspek kemudahan, peluang hidup yang besar, dan terjamin kesejahteraannya.

Sedangkan terlahir jadi blangsak adalah antonim dari itu semua, usaha yang dibutuhkan jauh lebih keras dan peluang sukses pun masih tak bisa diduga, terkadang pertanyaan 'makan apa besok?' pun masih menggema di ujung kepala. Lalu kesenjangan ini mencuat karena salah siapa?

Menilik pasal 28D ayat 3 dan pasal 34 ayat 1 UUD 1945. Keberadaan kaum blangsak memang patut diperhitungkan, tidak berniat membangun sentimen terhadap kelompok tertentu atau menuduh negara ini oligarki kapital. Ini sebagai jawaban penengah ketika beberapa netizen yang mempertanyakan soal kaum blangsak ini.

Mereka yang miskin sejak lahir, sehingga tidak mampu mendapatkan pendidikan yang layak merupakan tanggung jawab negara.  

Menyalahkan kondisi kaum blangsak yang terkungkung kemiskinan hanya karena malas sangat tidak bisa dibenarkan, ini sama halnya seperti menuduh orang-orang kaya bisa sukses karena memanfaatkan privilese mereka belaka, padahal keduanya belum tentu, kan? 

Akhirnya, ketimbang kita menyalahkan seseorang atau kelompoknya, akan lebih baik mempertanyakan sistem yang sudah berjalan saat ini. Adakah ketimpangan yang begitu besar? Benarkah kesenjangan sosial kini semakin terasa? Apakah peran kaum blangsak diperhitungkan kala seseorang sedang membutuhkan suara saat kampanye saja?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun