Sistem peradilan adalah elemen krusial dalam sistem hukum yang memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Tanpa adanya peradilan, menangani tindak kriminal atau sengketa hukum akan menjadi tugas yang sulit. Sistem peradilan merupakan suatu proses resmi yang dilaksanakan oleh negara atau pemerintah untuk menyelesaikan isu hukum, termasuk sengketa antara individu dan organisasi, serta penanganan tindak kriminal. Proses peradilan melibatkan berbagai pihak seperti pengadilan, hakim, jaksa, pengacara, saksi, dan ahli yang diperlukan.Â
Dalam sistem peradilan di Indonesia ada lima tahapan yang didahului, dari Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan hingga Putusan. Hal ini didasarkan kepada Undang-undang Nomor 81 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana. Namun, Kesalahan serius dalam proses peradilan pidana dapat mengakibatkan terjadinya suatu konsekuensi yang dikenal dengan istilah peradilan sesat (Rechterlijke Dwaling).Â
Penyebab dari peradilan sesat dapat ditemukan sejak awal proses, baik pada tahap penyelidikan maupun penyidikan. Selain itu, kemungkinan terjadinya peradilan sesat juga dapat muncul pada tahap penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.Â
Oleh karena itu, peradilan sesat dapat terjadi pada berbagai tahap dalam proses peradilan pidana, mulai dari penangkapan yang salah hingga kesalahan dalam penjatuhan vonis hukuman oleh Hakim.
Hakim, sebagai pejabat peradilan negara yang memiliki wewenang sesuai Undang-Undang yang memiliki peran kunci dalam memutuskan suatu perkara, terutama terkait dengan pertanyaan apakah terdakwa bersalah atau tidak. Namun, melihat realitas yang ada saat ini bahwa di dalam penelitian Transparancy International Indonesia menyebutkan  bahwa Peradilan Indonesia menempati urutan ke 5 besar sebagai institusi terkorup didunia.Â
Tentu, hal tersebut menggambarkan bahwasanya peradilan di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Mengenang paradoksnya sistem peradilan di Indonesia, pada tahun 1970-an terjadi peristiwa yang sangat fenomenal, yakni kasus Sengkon dan Karta. Kasus ini menjadi salah satu momen krusial dalam penegakan hukum di Indonesia.Â
Pada tahun 1974, Sengkon dan Karta dalam kasusnya diduga dan didakwa melakukan pembunuhan di daerah Bekasi. Kedua tersangka terpaksa mengakui perbuatannya karena mendapat penyiksaan selama penyidikan oleh pihak Kepolisian.
Proses hukum tersebut terus berlanjut dan menghasilkan putusan pengadilan yang sah dan meyakinkan, menyatakan bahwa keduanya bersalah atas tuduhan pembunuhan.Â
Berdasarkan putusan Hakim, Sengkon dijatuhi hukuman penjara selama 12 tahun, sedangkan Karta dihukum penjara selama 7 tahun. Namun, seiring berjalannya waktu, terungkap bahwa Sengkon dan Karta bukanlah pelaku sebenarnya, melainkan pelaku pembunuhan tersebut adalah Gunel dan rekannya. Ini adalah bukti terjadinya peradilan sesat di Indonesia.
Saat ini, Indonesia masih sering mengalami kesalahan dalam sistem peradilan, yang disebut sebagai peradilan sesat (Rechterlijke Dwaling) yang tercipta akibat kelalaian Hakim dalam menjalankan tugasnya.Â
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 09 Tahun 1976 tentang Gugatan Terhadap Pengadilan dan Hakim memberikan kesan kekebalan hukum, sehingga sulit untuk menarik tanggung jawab Hakim terkait keputusan yang kurang berkualitas, termasuk penjatuhan vonis yang salah dan dapat mengakibatkan peradilan sesat. Bahkan, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga tidak mengatur bagaimana Hakim bisa dimintai pertanggungjawaban jika pelaksanaan tugasnya dan penjatuhan hukuman mengakibatkan peradilan sesat (Rechterlijke Dwaling).
Maka, melihat permasalahan tersebut. Muncullah gagasan judicial liability atau pertanggungjawaban kepada hakim atas putusan yang telah ia keluarkan.Â