Mohon tunggu...
Ekin Njotoatmodjo
Ekin Njotoatmodjo Mohon Tunggu... Lainnya - A Current Student, A Budding Diplomat

University of Washington, Seattle (2019-2023) Hubungan Internasional dan Bisnis Administrasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hagia Sophia dalam Perang Dagang Kuno

17 Juli 2020   17:16 Diperbarui: 17 Juli 2020   17:14 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kaligrafi Lafadz Allah dan Gambar Bunda Maria bersama Yesus Kristus dalam Kubah Hagia Sophia. (flickr)

Bangunan itu adalah saksi bisu ribuan tahun peradaban manusia. Pondasinya kokoh berdiri sejak tahun 537 silam hingga kini, di kala kedigdayaan kerajaan dan pemerintahan negara dunia silih berganti runtuh dan berdiri. Keajaiban arsitektur yang luar biasa dapat kita nikmati dalam setiap sudut tempat yang megah itu. 

Namun, diatas itu semua, keindahan dan titik takjub bangunan itu terukir dalam kubah raksasa berdiameter 37 meter, dimana Lafadz Allah, simbol kebesaran umat Islam, dan sosok Yesus Kristus dalam kepercayaan Kristiani, terletak bersandingan. 

Pada tanggal 10 Juli 2020, Mahkamah Agung Turki dalam amar putusannya menyetujui rencana pemerintahan Presiden Erdogan untuk "merestorasi" fungsi Hagia Sophia dari Museum menjadi Masjid. Keputusan minggu lalu ini langsung menjadi bola panas. Perdebatan pro dan kontra pun mulai bermunculan-- kebanyakan menyangkut sensitivitas agama. Rakyat Turki dan juga banyak umat muslim di seluruh bagian dunia merayakan keputusan itu. 

Di sisi lain, kecaman datang dari banyak pihak. UNESCO, dalam laman resminya, "menyesalkan keputusan pemerintahan Turki yang dibuat tanpa adanya diskusi sebelumnya, dan menyerukan preservasi nilai-nilai universal sebuah situs cagar budaya dunia." Paus Fransiskus, dalam Misa Kudus di Vatikan, menyatakan kesedihannya, dan mengatakan bahwa Hagia Sophia sendiri juga diambil dari nama Santa Sophia. Pemerintah Amerika Serikat mendesak agar pemerintahan Turki tetap membiarkan situs itu sebagai simbol keberagaman yang bisa diakses semua pihak. 

Walaupun konflik Hagia Sophia nampak kental dengan perbedaan agama dan kepercayaan seperti diributkan saat ini, nyatanya dalam kilas balik sejarah, fundamental permasalahan bukan murni bersumber pada keyakinan spiritual manusia. Tarik ulur konflik yang sesungguhnya adalah dinamika ekonomi dan politik yang telah mengakar dalam peranan Kota Istanbul sejak dulu. 

Akan menjadi sebuah perdebatan yang sangat kontroversial dan memecah-belah apabila terus mempertentangkan isu Hagia Sophia dari sudut pandang agamis. Dalam hal ini, dinamika Perang Dagang yang terjadi berabad-abad silam merupakan pemicu utamanya. 

Ya, Perang Dagang. Istilah itu memang baru populer dalam beberapa tahun belakangan untuk mendeskripsikan perseteruan dan ekspansi ekonomi Negeri Paman Sam dan Negeri Tirai Bambu. Pun demikian, Perang Dagang bukanlah fenomena modern. 

Perang Dagang antar bangsa telah terjadi ratusan bahkan ribuan tahun silam; dan Kota Istanbul, atau dikenal dengan nama Konstantinopel dulu, merupakan pusaran salah satu Perang Dagang terhebat dalam sejarah manusia. Konflik agama, dalam kaitannya, hanyalah pecahan kecil dari gejolak politis-ekonomis tersebut.  

Meninjau dari segi geoekonomi, Konstantinopel terletak strategis di antara dua benua Eropa dan Asia. Di masa kejayaannya, Konstantinopel menjadi jantung perdagangan dunia; pelabuhan pusat supply-chain komoditas primer dunia seperti rempah dan tekstil, Boleh dibilang, Konstantinopel adalah wujud awal integrasi pasar global, dimana ia berhasil menyambung daratan jalur sutra dan lautan. 

Lantas apa hubungannya dengan Hagia Sophia dan sisi agama? Dapat kita lihat sebuah pola jelas yang dilakukan kerajaan masa lampau untuk menandai kekuasaan mereka. 

Terlepas dari nilai moralitas dan etika yang seharusnya, adalah sebuah fakta yang tidak terpungkiri bahwa banyak pemerintahan bangsa di masa lalu yang memanfaatkan agama sebagai simbol kejayaan dan alat untuk berkuasa atas sebuah wilayah dan rakyatnya.  

Ketika Konstantinus Agung memindahkan ibukota Kekaisaran Romawi Byzantium, memegang kuasa atas potensi terbesar politik dan perekonomian dunia saat itu adalah tujuan utamanya. 

Dalam prosesnya di masa lampau, kedaulatan suatu pemerintah baru akan lengkap ketika sebuah pemerintahan berhasil menegakkan agamanya disuatu wilayah. Hagia Sophia sendiri dibangun 200 tahun oleh pemerintah Romawi setelah pusat perekonomian Konstantinopel terbentuk, sekitar tahun 532. 

Bangunan itu menjadi salah satu pusat peribadatan terbesar dan termegah dunia, dan diperuntukkan sebagai pusat ibadah Kekristenan Ortodoks dan Katolik. Dengan berkibarnya panji agama resmi Kekaisaran di kota tersebut, Konstantinopel menjadi simbol legitimasi kekuatan ekonomi dan politik Kekaisaran Byzantium sebagai penguasa dunia. 

Hagia Sophia menjadi salah satu trademark dari Kekaisaran Romawi. Selama sekitar 1000 tahun setelahnya, hampir seluruh lalu lintas perdagangan dunia singgah di Konstantinopel. Konstantinopel sebagai kota terkaya dunia membawa pesan bahwa siapapun yang berhasil menguasai Konstantinopel, merekalah yang menguasai dunia. 

Kejayaan ini yang mengundang banyak usaha aneksasi atau pendudukan wilayah Konstantinopel dari tangan Kekaisaran Romawi. Selama ribuan tahun pula, kekuatan pertahanan Konstantinopel selalu berhasil menghalau gempuran agresi militer dari kekuatan lain. 

"Siege of Constantinople" by Jean Le Tavernier, 1455

Angin perubahan mulai bertiup di abad ke 15. Kala itu, kekuatan Kekaisaran Romawi berangsur-angsur tereduksi akibat konflik internal dan juga serangan dari negara lain. Kondisi ini lantas dimanfaatkan Mehmed II, Sultan muda berusia 21 tahun dari Kesultanan Ottoman, dalam ambisinya menaklukkan dunia. 

Dengan kecerdikannya, pasukan Mehmed II memblokade Selat Bosphorus, salah satu pintu masuk utama  Konstantinopel. Sultan lalu melancarkan serangan selama 53 hari tanpa henti untuk menyerbu Kekaisaran Romawi. Sisa pasukan Kekaisaran Romawi pun kewalahan, karena blokade laut Mehmed II menghalangi bala bantuan mereka. 

Akhirnya, pada 29 Mei 1453, Konstantinopel pun jatuh ke tangan Kesultanan Ottoman. Tak lama berselang, Hagia Sophia lantas dialihfungsikan dari Gereja menjadi Masjid suci. 

Ketika panji agama Islam, yang kental kaitannya dengan kepercayaan resmi Kesultanan Ottoman berhasil diusung di Kota dan salah satu bangunan terpenting dunia, maka Kesultanan Ottoman telah berhasil menandai kekuasaannya atas perekonomian dunia kala itu, yang berlangsung terus hingga era Perang Dunia I pada abad ke 20. 

Saat Kesultanan Ottoman dibubarkan dan digantikan oleh Republik Turki, Mustafa Kemal Ataturk pada tahun 1934 mengubah fungsi Hagia Sophia menjadi Museum cagar budaya. 

Apakah konflik agama ada dalam kisah diatas? Ya. Apakah konflik agama yang mendasari itu semua? Tidak. Kesultanan Ottoman memang pada saat itu melakukan embargo kepada Bangsa Eropa yang melarang perdagangan ke Konstantinopel; sebuah keputusan yang banyak dimaknai sebagai perseteruan antar agama. 

Tetapi bila kita berpikir secara kritis, semua kembali pada hitung-hitungan bisnis dan ekonomi. Apakah rasional bila mereka ingin menguasai perdagangan dunia, di sisi lain tetap menjadi "murah hati" terhadap bangsa Eropa, yang notabene merupakan satu-satunya entitas yang menghuni takhta perekonomian dunia? Dalam hal ini, "konflik" antara Kekristenan Eropa dan Keislaman Ottoman hanyalah apa yang ada dan terlihat di permukaan. 

Permasalahan inti yang ada di balik layar adalah kompetisi ekonomi antar dua kutub kekuatan dunia kala itu. Hagia Sophia dalam ribuan tahun keberadaanya pernah menjadi gereja dan masjid, dan saya percaya semata bukan hanya murni untuk memberitakan agama tersebut. 

Dinamika itu adalah tanda retorika yang dilakukan untuk mendeklarasikan pada dunia tentang sebuah kedaulatan pemerintahan: Kekaisaran Romawi dalam usahanya menjadi kekuatan utama dunia; Kesultanan Ottoman untuk menandai awal kekuasaannya dan keruntuhan ribuan tahun hegemoni Romawi. 

Bahkan, Kesultanan Ottoman tidak pernah dalam sejarah melarang Kekristenan; mereka hanya memindah Katedral dari Hagia Sophia ke Gereja Rasul Suci, bangunan ibadah terbesar kedua setelah Hagia Sophia di Istanbul. 

Problematika Hagia Sophia hanya salah satu dari sekian banyak kejadian yang mencatut agama dalam dinamika yang lebih tepat disebut Perang Dagang daripada Perang Agama. 

Secara personal, saya percaya bahwa agama apapun di dunia akan mengajarkan pemeluknya untuk mencintai perdamaian dan kemanusiaan. Poin utama yang dapat dipetik adalah konflik agama yang berlangsung sepanjang sejarah manusia sejatinya tidak pernah murni soal ajaran dan ideologi agama tertentu.

Jika kita ingin kritis untuk mengurai benang kusut permasalahan-permasalahan tersebut, pasti dapat kita temukan faktor-faktor lain baik itu secara politis, ekonomis, dan sosial, menunggangi dan memperparah konflik antar agama. 

Terlepas dari statusnya kini, baik sebagai Gereja, Masjid, ataupun Museum, Hagia Sophia akan selalu menjadi bagian yang tidak akan lekang dari masing-masing agama tersebut. Ia adalah perwujudan kekayaan warisan dunia, dan bukti bahwa dua keyakinan yang berbeda dapat disatukan dalam keindahan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun