Mohon tunggu...
Ekin Njotoatmodjo
Ekin Njotoatmodjo Mohon Tunggu... Lainnya - A Current Student, A Budding Diplomat

University of Washington, Seattle (2019-2023) Hubungan Internasional dan Bisnis Administrasi

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Penyeimbangan Ekonomi di Tengah Pandemi

29 Juni 2020   09:07 Diperbarui: 29 Juni 2020   10:06 1549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maret 2020, proyeksi sebaran dan penularan virus corona mulai menunjukkan angka dan gejala yang memprihatinkan. Menanggapi pengumuman universitas bahwa pembelajaran akan dilaksanakan secara online, saya memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Penerbangan dengan tujuan Seattle-Singapore-Surabaya yang seharusnya terjadwal pada bulan Juni saya majukan. 

Tetapi, dua hari sebelum keberangkatan, saya terperangah tatkala membaca berita online di HP. Headlines saat itu memberitakan bahwa pemerintah Singapura telah membekukan semua perbatasan, termasuk Bandar Udara Changi Airport. 

Beberapa menit setelah berita itu viral di media, HP saya dibombardir tanpa henti, mulai dari orangtua hingga teman yang terus menanyakan kabar. 

Saya mencoba mengecek penerbangan alternatif lain untuk pulang. Hongkong telah mengambil langkah yang sama, diikuti oleh Taiwan.

Dengan demikian, tiga bandara utama di Asia, transit point dan penghubung baik untuk mobilitas manusia dan jalur perdagangan dunia lumpuh dalam waktu kurang dari seminggu

Sebagai seorang pelajar di bidang hubungan internasional dan ekonomi global, saya berusaha mencerna keputusan negara-negara untuk menutup perekonomian mereka. Singapura dan Hongkong memiliki pondasi ekonomi yang bertopang pada status sebagai penghubung ekspor-impor. 

Menurut World Shipping Council, kedua negara termasuk dalam "10 Busiest Port", akses jalur Laut China Selatan, arteri ekonomi dunia, yang lalu lintas perdagangannya tiap tahun bernilai $3,37 Triliun.

Ketika Singapura, Hongkong, dan Tiongkok memutuskan menutup perbatasan mereka, maka otomatis tidak hanya ekonomi negara tersebut yang mengalami disrupsi, tetapi juga jalur dagang secara global.

Teorinya, segala keputusan itu didasari dari seberapa besar biaya peluang untuk melanjutkan perdagangan, sehingga pemerintah "harus" mengambil keputusan besar untuk melakukan penutupan yang dampak ekonomi jangka pendek dan panjangnya sama buruk, baik Amerika Serikat, Singapura, China, bahkan Indonesia sekalipun. Semua pertanyaan ekonomi yang dialamatkan pada pemerintah, pada akhirnya berujung pada satu jawaban: kemanusiaan. 

Bahkan sempat dikatakan bahwa nyawa manusia lebih penting daripada hitung-hitungan untuk menyelamatkan ekonomi. Untuk apa ekonomi diselamatkan, bila manusia sebagai pelaku ekonominya saja musnah. Dalam hal ini, fokus utama yang harus dilakukan adalah pembatasan kegiatan masyarakat secara disiplin, masif dan menyeluruh hingga pandemi ini sirna, juga penyaluran bantuan kemanusiaan.

Banyak orang setuju pada gagasan di atas, pun demikian dengan saya. Kemanusiaan sejatinya adalah harga mutlak. Amanat terpenting pemerintah negara manapun adalah melindungi masyarakat dari ancaman, baik ancaman perang maupun ancaman bencana alam seperti saat ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun