Oleh Budi Youyastri*
Proses pemilihan Gubernur di DKI Jakarta berada dalam persimpangan jalan, melanjutkan pola-pola pemilukada yang lama atau menemukan "inovasi sosial" baru dalam berdemokrasi. Jika pola lama yang mewujud, maka publik akan stagnan, kehidupan berdemokrasi akan mengulang semua pengalaman yang sama seperti 5 tahun lalu. Bisa lebih buruk, bisa tetap jalan ditempat.
Jika keberanian mencari pola baru yang mewujud, maka publik akan emerge ke satu fase pembelajaran baru. Seluruh komponen masyarakat Jakarta akan bersama-sama mencoba inovasi-inovasi sosial baru lainnya. Yang diharapkan akan lebih adaptif atas perubahan dunia, memberi harapan 'dunia  Jakarta' menjadi lebih manusiawi, hangat bermartabat.
Putaran kedua pemilukada yang 'rentan' akhirnya membentuk kontras politik: antara politik aliran versus politik post-modernisme, antara koalisi yang public-oriented versus koalisi partai-penguasa, antara kepentingan rakyat jelata versus kepentingan elite penguasa.
Kontras ini, memaksa publik Jakarta untuk membangun "moral sosial" yang baru, berdasarkan worldview yang lebih kompleks. Tatkala nilai-nilai lama yang menghujam ke alam bawah sadar harus berkompromi dengan nilai-nilai modern dan post-modern, nilai-nilai universal internet yang makin terbuka sekaligus share-oriented, kemampuan berbagi. Moral sosial yang segera emerging ini akan menjadi langkah baru bagi peradaban di Indonesia.
Sementara itu, institusi negara yang menyelenggarakan pemilukada DKI Jakarta--KPUD-- berada dalam persimpangan jalan pula. Tatkala pertarungan antara incumbent versus "satrio piningit", mencipta keraguan publik atas "netralitas dan profesionalitas" para komisioner KPU. Apalagi, mesin kerja KPU DKI adalah birokrasi pemerintah daerah DKI, yang notabene diangkat oleh incumbent.
Publik semakin kuat mempertanyakan proses pemilu yang jujur dan adil di 20 September yang akan datang. Transparansi KPU menjadi kuncinya, semisal apakah "DPT" untuk putaran kedua sudah diumumkan dan bisa diakses oleh seluruh rakyat Indonesia? Lalu berapakah jumlah TPS dan posisinya dimana saja, sudahkan ditetapkan dan diumumkan ke publik, bisa diakses 24/7 kah? Kapankah jadwal pleno-pleno di Kelurahan dan Kecamatan? dan dimanakan akan diselenggarakan semua pleno-pleno itu?
Terakhir, inisiatif FeD Jakarta yang menggerakkan 'kesadaran' komunitas-komunitas di Jakarta untuk turut mengawal proses pemiukada DKI dengan semudah memotret formulir C2 di TPS-nya memilih, sungguh sebuah cara baru berdemokrasi. Karena inisiatif komunitas ini, dikerjakan bersama banyak relawan untuk bersama-sama menikmati hasil perhitungan suara di 15.059 TPS. Semangat yang sederhana saja, jika kita membagi foto C2 di TPS anda sendiri, maka kita berpeluang mendapatkan 15.058 foto C2 di TPS lain yang disumbangkan teman kita.
Maknanya, inisiatif ini adalah gotong-royong di zaman post-modern di kota metropolitan Jakarta. Komunitas di Jakarta menemukan cara baru untuk self-governance atas dirinya sendiri. Kita memilih di TPS kita, tahu hasil akhirnya di TPS kita--- dilakukan bersama-sama dengan teman lainnya, kita bisa mengetahui total 15.059 hasil akhir TPS di seluruh Jakarta. Secara interaktif, instant dan tranparan. Publik menemukan caranya untuk self-regulated.
Apakah kemunculan moral sosial baru warga Jakarta yang berpartisipasi dalam pemantauan langsung penghitungan suara di TPS-nya masing-masing melalui e-TSP pada pilkada kali ini, sebagai bagian dari inovasi sosial dalam re-thinking esensi pemilu di Indonesia? Â Mari kita tunggu.
*Penulis: Ketua FeD Jakarta Bidang Politik dan Hubungan Kelembagaan
DAFTAR RELAWAN >>>Â http://www.fedjakarta.org/apps/relawan/fed/register/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H