Persoalan Ketuhanan dalam Wacana Filsafat
(Mikael Ekel Sadsuitubun - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng Manado)
Review Buku:
A. Identitas/ Data Buku
Judul buku          : Persoalan Ketuhanan dalam Wacana Filsafat
Penulis             : Harry Hamersma
Penerbit            : Kanisius: Yogyakarta
Tahun terbit        : 2014, Cetakan Pertama
Jumlah bab          : Ada IX (Sembilan Bab Pembahasan)
Jumlah halaman    : 120 halaman,( temasuk kepustakaan, indeks nama dan indeks istilah)
B. Isi Ringkas Bab IV
    Bab IV dari buku Persoalan Ketuhanan dalam Wacana Filsafat ini, membahas mengenai eksistensi Allah. Ada dua pertanyaan sentral yang diajukan dalam buku ini yakni mencari pembuktiaan tentang eksistensi Allah dan kedua tahap dalam pembuktian eksistensi Allah.Â
1. Pembuktian Eksistensi Allah
 Dalam pembahasan ini para pemikir terkemuka seperti Plato, Augustinus, Anselmus, Thomas Aquinas, Scotus, Ockham, Leibniz dan Newman, diperhadapkan dengan permasalahan mengenai pertanyaan sekitar eksistensi Allah dalam dunia dan hidup manusia. Apakah Allah yang dikatakan oleh manusia itu benar-benar nyata keberadaannya atau kehadirannya di dunia dan di hidup manusia? Ataukah Allah itu hanyalah hasil imajinasi dari pikiran manusia belaka untuk mencari 'kenyamanan' dan menghindar dari penderitaan? Dalam buku ini dibahas mengenai pencarian dan pembuktian manusia akan eksistensi Allah. Tetapi pembuktian ini disempitkan pada pemikiran para filsuf-teolog zaman Patristik dan abad pertengahan yakni Augustinus, Anselmus dan Thomas Aquinas. Dari ketiga pemikir ini, akan dijelaskan pembuktian-pembuktian mereka tentang eksistensi Allah.
1.1. Pembuktian Santo Augustinus ( 354-430)
    Agustinus mencoba membuktikan adanya Allah dengan menekankan bahwa manusia mampu mengerti kebenaran. Ada tiga tahap menurut Augustinus:
- Manusia mengenal dunia, tetapi dunia tidak mengenal manusia: manusia 'lebih besar' daripada dunia. Manusia menilai dunia, oleh sebab itu manusia adalah ukuran dan tuan atas seluruh ciptaan. Untuk mengerti dunia dan dirinya sendiri, manusia harus terjun ke dalam dirinya sendiri.
- Manusia mengerti suatu kebenaran, dia berhadapan dengan sebuah misteri. Manusia tidak dapat menentukan kebenaran dengan sewenang-wenang, karena kebenaran itu lebih besar dari pada manusia. Manusia hidup dalam kebenaran dan dia mengenal kebenaran hanya sedikit demi sedikit. Pengertian manusiawi merupakan partisipasi kebenaran yang sungguh-sungguh.
- Ada kebenaran yang lebih besar daripada manusia. Manusia menemukan kebenaran, tapi tidak menentukan kebenaran.
    Namun dalam 'perjalanannya', setelah Augustinus, muncul kritik atas argumentasinya ini. Bahwa Augustinus tidak membedakan antara tingkat logis dan ontologis, tingkat berpikir dan tingkat kenyataan. Kebenaran merupakan istilah untuk relasi antar bidang logika dan bidang kenyataan, relasi dari keduanya ini tidak dapat dipakai hanya untuk satu wilayah saja. Bagi Augustinus (dan Neo-Platonisme) tidak ada pembedaan murni antara bidang berpikir dan kenyataan: 'mengada', 'hidup', dan 'mengetahui'. Ketiganya merupakan 'tingkat dalam satu kenyataan'. 'Mengada' tingkat yang paling rendah, sedangkan 'mengetahui' yang paling tinggi. Tingkat 'berpikir' tidak merupakan bayangan dari tingkat 'mengada'. Tetapi ada kesukaran yang lain.
1.2. Pembuktian Santo Anselmus (1033-1109)
    Anselmus mencoba membuktikan adanya Allah terhadap seseorang yang tidak percaya. Anselmus berdoa dan meminta penerangan dari Allah, supaya ia mengerti apa yang dia percaya, dan supaya yang dimengertinya tentang Allah sungguh-sungguh sesuai dengan imannya. Kalau seorang percaya akan Allah, dia percaya akan "sesuatu yang sedemikian tinggi, sehingga mustahil dipikirkan sesuatu yang lebih tinggi lagi dari padanya. Anselmus membuktikan bahwa 'Sesuatu' itu harus ada. "Seseorang yang bodoh dalam hatinya berpikir bahwa Allah tidak ada, juga mengerti arti istilah ini, dan kalau arti istilah ini dimengerti, maka ide ini ada dalam pikirannya, walaupun dia belum mengakui bahwa ide ini juga ada dalam realitas. Ada perbedaan antara 'sesuatu' berada dalam 'pikiran' saja, dan 'pikiran' mengerti bahwa sesuatu ada dalam realitas'. Seandainya ini hanya terdapat dalam pikiran saja, masih dapat dipikirkan sesuatu yang bersifat lebih tinggi lagi. Jadi sesuatu yang ada baik dalam pikiran maupun dalam kenyataan merupakan yang paling tinggi. 'Sesuatu yang sedemikian tingginya sehingga mustahil dipikirkan sesuatu yang lebih tinggi lagi dari padanya, haruslah terdapat baik dalam pikiran maupun realitas'. Bukti dari Anselmus bersifat 'apriori', bukti ini bertitik tolak dari ide 'Allah' untuk mencapai realitas Allah".
1.3. Pembuktian Santo Thomas Aquinas (1225-1274)
     Dalam pembuktiannya tentang eksistensi Allah, Thomas memberikan bukti-bukti secara 'aposteriori', bukti yang berpangkal pada realitas manusiawi dan duniawi. Menurutnya, tidak usah dinyatakan bahwa Allah ada, karena adanya Allah 'di ketahui dengan sendirinya', per se notum. Kalimat 'Allah mengada', predikat 'mengada' merupakan eksplisitasi dari sesuatu yang secara implisit sudah terdapat dalam subyek Allah. Bagi Thomas kalimat 'Allah ada' merupakan sebuah tautology. Baginya, bukti-bukti adanya Allah kurang penting, bahwa Allah berada atau adanya Allah dapat dibuktikan melalui Lima Jalan (Quinque Viae).Â
- Jalan pertama diambil dari konsep Perubahan. Segala sesuatu di dunia ini bergerak. Semua yang bergerak di gerakkan oleh sesuatu yang lain. Yang lain itu di gerakkan oleh sesuatu yang lain lagi. Akhirnya harus ada sesuatu yang menggerakkan, tetapi ia sendiri tidak di gerakkan oleh sesuatu yang lain, yaitu sesuatu yang merupakan gerak pertama.
- Jalan kedua dari konsep 'penyebab pelaksana'. Dalam dunia, segala sesuatu terdiri atas serentetan sebab-sebab. Tidak ada apapun yang menyebabkan dirinya sendiri. Akhirnya harus ada sesuatu yang merupakan sebab pertama.
- Jalan ketiga dari konsep 'yang mungkin' dan 'yang harus'. Dalam dunia ada benda-benda yang dapat ada dan tidak ada, yang muncul dan hilang. Tak mungkin bahwa benda-benda ini selalu ada. Semua itu merupakan 'yang juga dapat tidak ada', dan sekurang-kurangnya pernah tidak ada. Kalau begitu, harus ada sesuatu yang selalu ada, sesuatu yang ada dari dirinya sendiri.
- Jalan keempat diambil dari tingkat-tingkat yang terdapat dalam benda-benda. Dalam dunia ini ada sesuatu yang lebih atau kurang baik, yang lebih atau kurang benar, yang lebih atau kurang mulia. 'Kurang' atau 'lebih' berarti lebih jauh dari, atau lebih dekat terhadap suatu maksimum, terdapat tingkat yang paling tinggi. Jadi harus ada sesuatu yang paling tinggi. Demikian juga sesuatu yang paling baik, yang paling benar, yang paling mulia. Sesuatu itu yang merupakan yang paling tinggi dalam bidang tertentu, menyebabkan semua yang lain dalam bidang itu.
- Jalan kelima diambil dari pengaturan dunia. Ada benda-benda yang tidak mempunyai pengertian, tetapi bekerja untuk mencapai tujuan mereka dengan maksud. Mereka tidak mempunyai pengertian sendiri, tetapi mereka dihantar oleh sesuatu yang berpengertian, seperti sepucuk panah dituju ke sasaran oleh seorang pemanah. Ada suatu 'intelligens', 'akal budi' yang mengarahkan semua benda alam ke tujuannya.
2. Kedua tahap dalam pembuktian eksistensi Allah
     Dalam semua pembuktian ini dapat dilihat adanya dua tahap. Tahap pertama  dibuktikan adanya suatu kenyataan yang paling tinggi. Tahap kedua dalam bukti-bukti ini memang dari jenis bahasa yang lain, dari 'language game' yang lain. Tahap kedua ini tidak termasuk argumentasi 'logis' lagi, melainkan merupakan semacam 'lompatan'. Pembuktian adanya Allah merupakan 'iman yang diterjemahkan secara rasional'. Dan orang seperti Augustinus, Anselmus dan Thomas sendiri tidak menilai pembuktiaan mereka lebih dari berharganya. Menurut mereka, yang betul-betul dibuktikan itu adanya 'transendensi'. Tidak dapat dibuktikan bahwa transendensi harus disebut 'Allah'. Kalau transendensi disebut 'Allah', hal itu terjadi berdasarkan suatu pilihan. Keharusan untuk memilih ini tidak dapat dibuktikan, tetapi dapat diterangkan. Yang dibuktikan itu adanya ruang untuk percaya. Secara logis dapat dibuktikan, dapat dipikirkan, bahwa ada, yang tidak dapat dipikirkan. 'it is thinkable, that exists, what is unthinkable'.
3. Penilaian (Kesan, Evaluasi dan Rekomendasi)
     Dari bab IV tentang eksistensi Allah dalam buku ini, pembahasannya sangat sederhana dan mudah dipahami serta di mengerti. Pemahaman akan eksistensi Allah dalam dunia ini amat nampak jelas dari argumen dan pembuktian dari para pemikir. Isi buku ini memperkaya pemahaman saya akan eksistensi Allah, meskipun dalam pembuktiannya belum bisa di buktikan secara lebih tajam lagi. Bagi saya, pembahasan buku ini sudah bagus, tapi pemikiran yang dibahas masih terbatas pada pandangan orang-orang yang sudah memiliki iman. Sehingga pemikiran filosofis mereka masih kental dipengaruhi oleh iman. Sehingga pembuktian-pembuktian eksistensi dari Allah tidak terpisah dari pembuktian akan iman mereka sendiri.  Saya merekomendasikan buku ini bagi mereka yang ingin mendalami pemahaman akan eksistensi Allah, terlebih mereka yang beriman dan mahasiswa teologi. Karena dalam buku ini berbicara mengenai cara untuk mempertanggungjawabkan iman secara logis, rasional dan masuk akal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H