Sumbangan Filsafat bagi Kebudayaan
Berfilsafat Indonesia:Â
Sebuah Pencarian dari "Dolo" hingga Larwul Ngabal dalam Suku Kei Â
(Mikael Ekel Sadsuitubun - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng Manado)
PendahuluanÂ
      Dalam tulisan ini, penulis hendak menguraikan secara singkat filsafat dalam kebudayaan suku Kei dan dari filsafat suku Kei inilah penulis mengarahkan perhatian pada aktifitas berfilsafat dalam keseharian hidup masyarakat tersebut. Tesis utama dari tulisan ini adalah berfilsafat Indonesia. Maka tulisan ini akan mengikuti alur pemikiran sebagai berikut. Pertama, apa perbedaan antara filsafat-Indonesia dan berfilsafat-Indonesia? Kedua, siapakah Ditsakmas dalam suku Kei? Ketiga, hukum Dolo ke hukum Larwul Ngabal? Dan akhirnya bagian keempat, berfilsafat dalam suku Kei.
1. Apa Perbedaan Filsafat Indonesia dan Berfilsafat Indonesia?
  Berfilsafat Indonesia sesungguhnya adalah sebuah pencarian terus-menerus. Berfilsafat Indoensia merupakan aktifitas berpikir masyarakat suku Kei, sebab disana diawali dengan aktifitas budi menggali, mencari, mengembara dan menjelajah. Sementara filsafat Indonesia adalah sebuah ide, sistem, pemikiran dan pandangan hidup. Filsafat Indonesia punya konotasi doctrinal-ideologal-tradisional (ajaran, ide yang mentradisi) dalam suku Kei seperti hukum Larwul Ngabal. Filsuf Martin Heidegger berkata, yang kita bisa kerjakan ialah belajar berfilsafat (philosophizing), bukan mempelajari filsafat semata. Sebab mempelajari filsafat mempunyai konotasi mengulang-ulang ide, pemikiran, teori. Tentu saja ide, pemikiran world-View Indonesia sebagai sebuah filsafat tetap perlu digali dan dieksplorasi. Berfilsafat-Indonesia pada giliranya memaksudkan aktivitas pencarian dan penggalian secara mendalam aktivitas berpikir yang terjadi itu harusnya menjadi milik masyarakat Indonesia khususnya dalam masyarakat suku kei. Ini merupakan bentuk berfilsafat yang mengeksplor lokalitas atau kebijaksanaan milik masyarakat suku Kei.[1] Setelah memahami perbedaan filsafat Indonesia dan berfilsafat Indonesia maka selanjutnya bagaimana asal-usul suku Kei itu?
2. Siapakah Ditsakmas dalam Suku Kei?
   Menurut legenda, ada seorang musafir yang dipercaya berasal dari Bali bernama Kasdew, ia mendarat di teluk Sorbay (bagian barat kepuluan Kei). Di Kei, Kasdew kawin dan kemudian mempunyai empat orang anak, tiga laki-laki dan satu anak perempuan. Tebtut adalah putra sulung yang kemudian hari akan menjadi raja di Ohoivur, sedangkan anak perempuan yang paling bungsu bernama Ditsakmas. Putri bungsu inilah yang kemudian kawin dengan seorang tokoh ternama dan pembuat perahu piawi, yaitu Arnuhu dari desa Danar di ujung selatan bagain timur pulau Kei Kecil. Dalam legenda dikisahkan bahwa, dalam perjalanannya menjumpai Arnuhu, Ditsakamas dirampok ditengah jalan akibat "Dolo" (sejenis hukum rimba) pada waktu itu. Barulah pada perjalanannya yang kedua, Ditsakmas berjalan melalui desa Wain di pesisir Timur dan berhasil menjumpai Arnuhu suaminya. Mengapa bisa bertemu suaminya dalam perjalanan kedua ini tanpa ada halangan seperti perjalanan pertama? Hal ini karena dalam perjalanan kedua ini, Ditsakmas menaruh daun kelapa muda putih (pucuk daun atau tombak kelapa) dalam yavar (bakul atau keranjang bertali yang dipikul pada tubuh bagian belakang) barang-barang perbekalannya sebagai tanda larangan bagi orang lain untuk mengambilnya. Diantara barang-barang perbekalan Ditsakmas terdapat seekor kerbau yang dinamakan kerbau Siuw. Kerbau ini kemudian disembelih di desa Elar-Ngursoin antara desa Wain dan desa Danar yang dibagi menjadi Sembilan bagian untuk Sembilan perwakilan desa (ur siuw) yang hadir saat itu.[2]    Â
    Nah dari perbekalan yang dibawakan oleh Ditsakmas inilah kelak menjadi latar belakang hukum adat yang dianut atau dipegang oleh masyarkat suku Kei hingga saat ini.