Mohon tunggu...
Ekel Sadsuitubun
Ekel Sadsuitubun Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Elektronika dan Komputer, Filsafat Serta Musik

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Penguasa dan Buruh: Ironi Ketimpangan Sosial dan Ekonomi di Indonesia

21 November 2022   14:25 Diperbarui: 21 November 2022   22:25 3454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENGUASA DAN BURUH: IRONI KETIMPANGAN SOSIAL DAN EKONOMI DI INDONESIA

(Mikael Ekel Sadsuitubun-Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng Manado)

Pendahuluan 

        Tak bisa dipungkiri bahwa dengan adanya perkembangan teknologi yang begitu cepat tidak sebanding dengan keterampilan dan kemampuan adaptasi dari sebagian besar masyarakat. Hal mengakibatkan terjadinya ketimpangan ekonomi juga diperkuat dengan adanya moralitas yang buruk dalam diri para penguasa dan pemilik modal. 

Pemilik modal ini hanyalah sekolompok kecil orang yang memiliki keterampilan tinggi, modal dan pengetahuan dalam bidang ekonomi dan bisnis yang matang dan professional. Mereka sedikit tetapi mampu mengatur dunia. Mereka memiliki perusahaan-perusahaan dan membutuhkan banyak pekerja. 

Para pekerja ini adalah sekolompok besar orang yang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan seperti para pemilik modal. Mereka dipekerjakan oleh para pemilik modal dengan upah yang setara dengan pekerjaan mereka namun pada kenyataannya kebanyakan tidak demikian. 

Dalam banyak kasus terjadi eksploitasi terhadap tenaga mereka oleh para pengusaha. Disinilah terjadi kesenjangan antara mereka dan itu berdampak pada kehidupan social bermasyarakat. Gereja jauh sebelumnya telah melihat hal ini dan mengeluarkan Ensiklik Rerum Novarum (RN) yang memperjuangkan kesejahteraan kaum buruh. Dari dulu hingga kini gereja masih terus menerus memperjuangkan hal itu. 

Namun perlu diakui bahwa gereja tidak mungkin mampu dengan sendirinya untuk mengatasi hal itu, maka penulis berusaha membantu gereja dalam memecahkan persoalan ini dengan membuat sebuah pendekatan pastoral yang disebut pastoral bermitra. Penulis berharap metode pendekatan atau model pastoral ini mampu membantu tercapainya misi gereja melalui Ensiklik RN. 

Dalam paper ini akan mengikuti alur pemikiran sebagai berikut: pertama, realitas pekerja dan pemilik modal: contoh kasus. Kedua, Bagaimana Ajaran Sosial Gereja (ASG) Menyikapi Realitas Tersebut. Ketiga, Proyek Pastoral.

1. Realitas Pekerja Dan Pemilik Modal Di Indonesia: Contoh Kasus

    Untuk memahami dan menemukan pendekatan pastoral yang tepat, maka pertama-tama kita akan mengambil beberapa contoh kasus konkret untuk dipelajari dan di analisis pelanggaran yang terjadi terkait dengan kaum buruh atau pekerja. Itu akan  diuraikan sebagai berikut.

1.1. Kasus PT. Panca Puji Bangun

        PT Panca Puji Bangun sudah berkekuatan hukum tetap. Kasus bermula saat PT Panca Puji Bangun itu mempekerjakan 50 orang karyawan di pabriknya di Jalan Tanjung Anom, Surabaya pada 2004. Nah, dalam kurun 2004-2010, PT Panca Puji Bangun menggaji buruhnya di bawah UMR. Yaitu:

  • Upah terendah yaitu Rp 680 ribu sebanyak 40 orang.
  • Upah tertinggi sebesar Rp 1,2 juta.
  • Selain itu, buruh mendapatkan tunjangan tidak tetap yang besarnya bervariasi, berupa yang hadir, uang makan dan uang premi. Salah satu karyawan yang bernama Yudi Santoso mendapatkan upah dengan rincian:

          a) Gaji pokok Rp 300 ribu.
          b) Tunjangan keluarga Rp 30 ribu.
          c) Tunjangan rumah Rp 150 ribu.
          d) Tunjangan transportasi Rp 6 ribu per kedatangan.
          e) Uang premi Rp 50 ribu.
          Gaji di atas juga dirasakan tak jauh beda oleh M Setiyo Budi. Kala itu, UMR Kota Surabaya sebesar Rp 934.500. Pada 2007, PT Panca Puji Bangun merumahkan Yudi dan Setiyo dengan alasan kinerja keduanya di bawah standar.[1]

         Dalam kasus ini jika kita analisis dari segi etika bisnis maka PT. Panca Puji Bangun melakukan pelanggaran etika bisnis sebagai berikut: pertama, melanggar prinsip keadilan karena karyawan telah melaksanakan kewajiban terhadap perusahaan tetapi tidak menerima upah sesuai dengan standar yang di tetapkan oleh pemerintah dalam kaitan dengan itu maka perusahaan juga melanggar keadilan legal karena melanggar aturan pemerintah Indonesia tentang UMR yaitu dengan melanggar Pasal 90 ayat 1, Pasal 185 ayat 3 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal itu berbunyi: Pasal 91 ayat 1 berbunyi: Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun Pasal 185 berbunyi: 1. Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 400 juta. 2. Tindak pidana sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Kedua, prinsip saling menguntungkan di mana dalam kasus ini, PT. Panca Puji Bangun sendiri yang diuntungkan sedangkan para karyawan yang melakukan aktifitas produksi dirugikan.[2] 

1.2. Kasus PT Alpen Food Industry

         Menjadi salah satu jantung pagelaran olah raga antar cabang yang mempertaruhkan kredibilitas Indonesia. Es krim Aice, nama produk PT AFI, terpampang sebagai sponsor Asian Games 2018. Di sisi lain, PT. AFI mengalirkan es krim Aice ke 106 daerah di Indonesia, salah satunya ke minimarket OK OCE daerah Cikajang, Jakarta Selatan. Padahal PT. AFI diduga melanggar hukum karena menghargai hak buruh dengan murah. Agus, yang bekerja di bagian logistik, adalah salah satu dari 644 buruh PT. AFI yang perlahan memeriksa pelanggaran hukum perusahaan. Semula para buruh tak pernah menyadari hal ini sejak mereka direkrut. Awalnya Agus tergiur ditawari oleh rekannya untuk bekerja di PT AFI. Ia menyiapkan surat lamaran dan surat keterangan catatan kepolisian. Tak sampai 24 jam, ia menerima panggilan telepon dari PT AFI untuk wawancara. Usai wawancara selama hanya 5 menit, ia disuruh datang ke pabrik PT AFI di kawasan industri MM2100, Cibitung, Bekasi. Agus bekerja tanpa kontrak, dan langsung diminta ke bagian kualitas produk. Hari-hari berikutnya tenaga Agus diperas oleh PT AFI. Ia hanya mendapatkan libur sehari setiap tiga minggu. Gajinya di bawah upah minimum Kabupaten Bekasi tahun 2016, yakni Rp2,7 juta dari seharusnya Rp3,3 juta. Saat itu, ia mulai mengorganisir buruh untuk sekadar bertanya soal hak pekerja. Ia lantas mampu membangun relasi senasib sepengalaman dengan 440 buruh lain. Tapi, perusahaan memutus kontrak kerjanya pada awal Agustus 2017. Pola PHK terhadap Agus pun janggal: ia tak diberitahu minimal tujuh hari sebelum masa kontrak berakhir. Dalam aturan hukum perburuhan di Indonesia, Agus seharusnya jadi pegawai tetap karena ia telah bekerja 25 hari dalam sebulan selama tiga bulan berturut-turut.[3]  

         Pelanggaran etika bisnis dari PT. Alpen Food Industry ini sama juga dengan pelanggaran yang di lakukan oleh PT. Panca Puji Bangun yaitu prinsip keadilan dan prinsip saling menguntungkan. Nah, dari contoh-contoh kasus ini, maka bagaimana Gereja Katolik menyikapinya? Berikut ini akan diuraikan pandangan gereja atau ajaran gereja Katolik tentang hal ini.

2. Bagaimana Ajaran Sosial Gereja (ASG) Menyikapi Realitas Tersebut?

      Di dalam gereja Katolik ada ajaran yang menaruh perhatian penuh terhadap realitas-realitas demikian, hal ini dapat kita temukan lewat Ensiklik Rerum Novarum (Kondisi Kerja) yang di buat oleh Paus Leo XIII tahun 1891. Ensiklik ini menaruh perhatian pada keprihatinan akan kondisi kerja di zaman itu dan tentu saja juga nasib para buruh. Tampaknya masyarakat terindustrialisasi mengubah pola lama hidup bersama dalam pertanian tetapi para buruh malah mendapatkan perlakuan buruk. Mereka di peras hingga jatuh dalam kemiskinan structural yang luar biasa. Mereka tidak mendapatkan keadilan dalam upah dan perlakuan. Melalui Ensiklik ini, Gereja menaruh perhatian pada masalah-masalah sosial secara sistematis dan dalam jalan pikiran yang berangkat dari prinsip keadilan universal. Melalui RN hak-hak buruh dibahas dan dibela, hal ini karena pokok-pokok pemikira RN menampilkan tanggapan gereja atas isu-isu keadilan dan pembelaan atas martabat manusia yaitu kaum buruh. lewat keadilan upah pekerja; hak-hak buruh, hak milik pribadi (melawan gagasan Marxis-komunis), konsep keadilan dalam konteks pengertian hukum kodrat; persaudaraan antara yang kaya dan miskin untuk melawan kemiskinan (melawan gagasan dialektis Marxis), kesejahteraan umum, hak-hak negara untuk campur tangan (melawan gagasan komunisme), soal pemogokan, hak membentuk serikat kerja, dan tugas Gereja dalam membangun keadilan sosial.[4]

2.1. Ketimpangan-Ketimpangan Dan Jerih Payah Kerja Tidak Terelakan

        Perlu diketahui bahwa, masyarakat harus menerima adanya kenyataan masalah persoalan manusiawi. Karena di dalam masyarakat memang mustahil bagi masyarakat di lapisan bawah untuk menyamai mereka di tingkat atas. Itu dengan gigih di tentang oleh kaum sosialis, hal ini karena pada kenyataannya terdapat perbedaan-perbedaan dalam masyarakat yang tidak dapat dihindarkan. Itu terlihat pada perbedaan bakat-kemampuan atau keterampilan, kesehatan atau kekuatan profit dari segi ekonomi. Perbedaan-perbedaan yang tak terhindarkan itu dengan sendirinya menimbulkan ketidak-samaan kondisi hidup dalam masyarakt. Nah, untuk menyikapi itu maka dalam artikel ke 15-17, RN menekankan pentingnya prinsip keadilan dalam diri setiap individu baik pemilik modal (pengusaha) maupun para pekerja (buruh). Disini di tekankan tentang pentingnya keduabelah pihak untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya masing-masing, sehingga keuntungan diperoleh bersama. Jika hal itu terwujud maka sesungguhnya tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat karena hak dan kewajiban terpenuhi sesuai standar upah yang berlaku.[5]  

2.2. Kepedulian Terhadap Kepentingan-Kepentingan Kaum Buruh

        Sejalan dengan apa yang di lakukan oleh para rasul dan jemaat perdana, di masa kini Gereja melihat hal itu bisa di teruskan oleh bukan hanya Gereja tetapi terpenting adalah peran dan campur tangan negara. Di katakana negara karena hal ini melibatkan penguasa-penguasa yang memikirkan dan menetapkan semua kebijakan negara yang akan di taati oleh seluruh warga negara. Dengan penetapan kebijakan yang memang diarahkan untuk pembinaan dan pengembangan masyarakat akan sangat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hal ini karena pembayaran upah yang tepat waktu dan sesuai dengan UMR dan UMP yang telah di tetapkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Mengapa pemerintah wajib mempedulikan kesejahteraan masyarakat? Hal ini karena gereja melihat adanya kewajiban kodrati yang ada pada pemerintah untuk memeliharanya menjadikan kepedulian akan kesejahteraan umum bukan hanya hukum tertinggi bagi negara, melainkan juga seluruh dan satu-satunya dasar eksistensinya. Karena juga administrasi negara harus digunakan demi kemajuan rakyat yang diperintahkan, bukan pejabat pemerintah. Hal ini karena kedaulatan pemerintah berasal dari Allah dan dapat dipandang sebagai partisipasi  dalam kedaulatan tertinggi-Nya, maka pola yang harus dianut adalah kedaulatan Allah, yang bagaikan Bapa memperdulikan masing-masing ciptaan seperti juga alam semesta. Oleh karena itu pemerintah harus bercmpur tangan, bila kepentingan umum atau kepentingan kelompok khususnya dirugikan atau terancam bahaya, asal memang itulah satu-satunya jalan untuk mencegah atau menyingkirkan kejahatan.[6]      

2.3. Upah Yang Adil

 Dalam NE artikel 44 dijelaskan bahwa, di perlukan pemahaman dan kesadaran untuk tidak melanggar hak pihak yang satu maupun yang lain. Ada yang membela pendapat bahwa karena jenjang upah ditetapkan berdasarkan persetujuan bebas maka majikan membayar sudah memenuhi kontraknya dengan membayar upah yang disetujui dengan demikian ia tidak mempunyai kewajiban lain lagi. Sedangkan hanya akan terjadi ketidak adilan, bila majikan tidak membayar upah itu sepenuhnya, atau buruh tidak menjalankan tugasnya sepenuh hati. Tidak lain hanya dalam kasus-kasus itu tepatlah, bila pemerintah ikut camput tangan dan menuntut masing-masing pihak untuk memeberikan apa yang menjadi hak pihak lain. Mengapa demikian? Hal ini karena bekerja berarti menjalankan usaha untuk memperoleh hal-hal yang diperlukan memenuhi pelbagai kebutuhan hidup dan terutama untuk hidup sendiri (bdk. Kej. 3:19).[7] Setelah memahami ajaran gereja melalui NE, apa proyek pastoral yang tepat untuk membantu kaum buruh? Lebih jelasnya akan diuraikan pada pokok berikut ini.

3. Proyek Pastoral 

      Setelah mengikuti uraian di atas melalui contoh-contoh kasus dan Ensiklik Rerum Novarum tentang kesenjangan anatara pekerja dan pemilik modal maka penulis melihat bahwa pentingnya bermitra antara institusi gereja, pemerintah dan pengusaha (perusahaan).  Proyek pastoral ini bermaksud untuk bersama-sama mengembangkan masyarakat khususnya kaum buruh dan pekerja. Penullis melihat bahwa proyek ini sesungguhnya mendatangkan keuntungan bagi ketiga institusi ini juga masyarakat yang semakin makmur. Masyarakat yang makmur dan sejahtera inilah yang menjadi misi utama. Nah, apa yang di maksudkan dengan pendekatan pastoral bermitra ini? Penulis melihat pendekatan ini sebagai jalan untuk merangkul semua pemangku kekuasaan dan kebijakan untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri tetapi mulai berpikir secara holistik untuk menciptakan keseimbangan demi kepentingan bersama, dimana sama-sama saling menguntungkan. Gereja menerima keuntungan melalui umat manusia yang hidup makmur dan semakin sadar bahwa semua itu berkat dari Tuhan Yesus Kristus sehingga umat bersyukur kepada Tuhan. Umat di sini bukan hanya masyarakat kecil: pekerja atau buruh tetapi juga pemerintah dan para pengusaha. Lalu apa yang diterima dari pemerintah? Yaitu terbentuknya kesejahteraan bagi seluruh masyarakat dari kota hingga ke desa. Hal ini bisa terjadi karena kerjasama dengan gereja dan pengusaha untuk mensejahterakan masyarakat. Pembangunan infrastruktur, pembinaan moral dan iman umat, meningkatkan minat wirausaha dalam masyarakat. Sedangkan para pengusaha menerima keuntungan dari gereja, pemerintah dan masyarakat sebagai mitra kerja dan konsumen yang juga turut berkontri busi bagi perusahaan itu sendiri. Dengan demikian maka persoalan masyarakat seperti kemiskinan, kekerasan, pembunuhan dan pemberontakan itu tidak terjadi sebab terciptanya kesejahteraan umum.[8]  

         Untuk mencapai semua itu maka berikut yang perlu dilakukan oleh ketiga instituasi ini yaitu: Melalui Upaya Pemerintah Mengatasi Ketimpangan Sosial dalam Aspek Ekonomi. Berikut ini beberapa upaya yang perlu dilakukan pemerintah dalam mengatasi Ketimpangan Sosial dalam aspek Ekonomi: Strategi pertama yang dilakukan pemerintah terkait kesehatan anak usia 5 tahun ke bawah, khususnya terkait stunting (kurang gizi). Stunting dipandang memperparah kemiskinan sehingga harus diturunkan. Kedua, soal bantuan sosial yang belum tepat sasaran. Masih banyak warga tidak mampu yang belum tersentuh bantuan karena kurangnya sinkronisasi data. Ketiga, soal peluang pekerjaan, karena pertumbuhan ekonomi didukung oleh penciptaan lapangan kerja baru. Pemerintah memprioritaskan untuk pendidikan vokasi untuk mengatasi persoalan pengangguran. Tenaga kerja yang memiliki keterampilan lebih mudah diserap pasar tenaga kerja. Keempat, menurunkan ketimpangan kekayaan. Selama ini, pendapatan pajak penghasilan masih didominasi oleh kalangan pekerja. Sedangkan, pajak penghasilan orang pribadi belum optimal. Padahal, kalangan di luar pekerja seperti direksi, pengusaha, pemilik modal lebih besar kewajiban pajaknya dibanding para pekerja. Strategi kelima, menciptakan wirausaha secara massal. Sebagai contoh yang terjadi di Asia Timur seperti Taiwan dan Korea, di mana kemiskinan diatasi dengan berwirausaha. Tantangan pelaksanaan strategi itu adalah kerja sama dari berbagai pihak di internal pemerintahan. Selain itu, dukungan dari swasta khususnya dunia usaha dibutuhkan untuk mengatasi ketimpangan. Dari pihak gereja, lebih menigkatkan dialog dengan pemerintah dan para pengusaha untuk tetap konsisten membangun kesadaran akan pentingnya kesejahteraan masyarakat kecil teristimewa kaum buruh dan pekerja. Selain itu gereja secara rutin membina kehidupan iman, moral masyarakat mulai dari anak-anak hingga dewasa pada setiap jenjang. Agar tercipta keharmonisan dalam hidup bersyarakat dan bernegara. Dengan demikian  tercipta sebuah matarantai kehidupan yang harmoni.[9] 

4. Penutup

     Kesimpulan 

     Realitas masalalu dan kini itu tetap sama saja dan tak ada jalan keluar hal ini dapat kita temukan melalui contoh-contoh kasus kini tetapi jauh sebelumnya sudah terjadi dan itulah yang menjadi latar belakang munculnya Ensiklik Rerum Novarum. Kondisi itu bertahun-tahun sudah diusahakan untuk menciptkan suatu kesejahteraan bagi masyarakat kecil sehingga tidak terjadi ketimpangan ekonomi, tetapi selalu terhalang oleh merosotnya moral setiap pemimpin institusi. Melihat itu maka penulis berusaha menggunakan pendekatan pastoral "bermitra" untuk merangkul semua institusi untuk bersinergi dalam membangun masyarakat dan menciptakan keharmonisan dan kesejahteraan secara ekonomi dan social dalam masyarakat. Dimana melalui pendekatan bermitra ini terbentuk sebuah mata rantai yang membuat semuanya berada dalam sistem. Penulis menyadari bahwa untuk menjaga mata rantai ini tetap terjaga yaitu moralitas dalam bentuk praktik yang harus menjadi habbit bagi setiap institusi kehususnya para pemimpin.

5. Daftar Pustaka

     Buku: 

     R. Hardawiryana SJ, Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai Centesimus Annus, alih bahasa oleh R. Hardawiryana SJ, (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999).     

     K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis: Edsisi Revisi, Cetakan ke-9 (Yogyakarta: Kanisius, 2013).

        Internet: 

https://news.detik.com/berita/d-3486709/upah-buruh-di-bawah-umr. 

https://tirto.id/eksploitasi-kerja-di-pabrik-es-krim-aice-sponsor-asian-games-2018-cA7h.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun