Mohon tunggu...
Eka Pranata Putra Zai
Eka Pranata Putra Zai Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sanata Dharma University

write when you are anxious about the world your journey will become history someday

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kacamata Demokrasi dalam Politik Transaksional pada Pilpres 2024

30 September 2023   16:25 Diperbarui: 30 September 2023   16:33 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Money politic adalah kejahatan dalam demokrasi/ Foto: @ekazaii

Tak terasa pemilu 2024 hanya sebentar lagi

Semua partai politik mulai merancang strategi masing-masing untuk memenangkan pemilu di tahun 2024.

Konfigurasi dan resistensi setiap partai, termasuk para calon presiden belum sepenuhnya rampung.

Belum ada yang pasti!!! Bahkan koalisi setiap partai masih dalam tahap dinamika. Elit-elit partai masih berembuk pembagian "kue" seandainya calon yang diusung menang. Secara implisit ini menggambarkan bahwa pemilu 2024 hanya sekedar politik transaksional.

Pada pemilu kali ini, disuguhkan tiga kandidat kuat calon presiden, yaitu Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Setiap capres mulai bekerja untuk mempromosikan diri serta menggagas program-programnya.

Namun, perpolitikan nasional  telah tereduksi dan menjadi cacat pemaknaannya. Oleh karenanya, demokrasi terlihat hanya isapan jempol belaka.

Berangkat dari pengertiannya, kata demokrasi berasal dari Yunani, yaitu demos dan kratos.

Demos diartikan sebagai rakyat, dan kratos berarti kekuasaan yang mutlak. Maka, demokrasi merupakan kekuasaan yang mutlak oleh rakyat. Sering juga kita dengar pernyataan "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Kata ini memiliki makna substansial yang menegaskan bahwa rakyat adalah kekuasaan tertinggi dalam negara yang menganut sistem demokrasi.

Lucunya, di negara Indonesia kata tersebut hanya makna simbolik saja.

Berhubungan dengan pemilu 2024, kata demokrasi seakan semu saja. Cawe-cawe yang dilakukan oleh Jokowi menjadi bentuk represifitas pemerintah sebagai penguasa. Hengkangnya Nasdem dari kubu pemerintah berimbas penangkapan anggota partainya oleh KPK karena kasus korupsi. Kasus ini seakan menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menunjukkan sikap netralitasnya.

Hal ini menjadi momok yang buruk sekaligus menggelitik karena menunjukkan sistem yang cacat dalam pemerintah. Individu atau kelompok yang mau selamat, maka harus nurut sama pemerintah, jika tidak, maka konsekuensinya akan segera dirasakan. Begitulah kira-kira gambarannya.

Ini semua untuk kemajuan Indonesia!!! Kata-kata yang sering keluar dari mulut Jokowi ketika di cerca atas cawe-cawenya dalam pemilu.

Penangkapan dan pembungkaman terhadap lawan politik terpotret jelas. Maka, Indonesia tidak akan pernah merasakan makna dari demokrasi yang utuh. Rakyat bukan lagi poros penting, sebab suara mereka hanya jadi alat saja untuk memenangkan kekuasaan. Setelahnya, rakyat hanya sebagai penonton dalam "lakon" yang dimainkan penguasa.

Dewasa ini, politik transaksional dilakukan terang-terangan. Semangat reformasi untuk melahirkan pemerintahan yang amanah dan bersih, serta mementingkan suara rakyat hanyalah sebatas mimpi. Semua kalangan politikus dan pemangku kebijakan yang terlibat dalam pemilu berlomba-lomba untuk "tawar-menawar harga kue" yang akan dibagikan kelak ketika menang. Perdagangan politik ini melegitimasi telah terjadinya distorsi dalam sistem politik Indonesia.

Model politik ini terjadi karena paham politik oligarki yang masih mengakar kuat. Ongkos politik yang besar mengharuskan adanya kontrak antara partai, calon presiden, dan pemberi modal. Konsekuensinya, setelah akad dan menang maka harus ada pembagian keuntungan, baik itu dari proyek-proyek pemerintah, jabatan, kebijakan, dan bantuan untuk bisnis-bisnis para pemberi modal. Tentu harga yang harus dibayar tidaklah murah.

Model politik seperti ini berimplikasi pada berkembangnya budaya politik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Sehingga kepentingan dan kesejahteraan rakyat tidak menjadi fokus utama lagi, melainkan kepentingan kelompok tertentu yang di layani. Praktek-praktek politik busuk ini telah mencederai demokrasi dan pancasila.

Untuk memperbaiki kesemrawutan sistem politik tersebut, maka rakyat harus mulai jeli dalam menilai setiap partai politik dan calonnya masing-masing. Pemilih harus cerdas dalam melihat setiap gerak-gerik partai, apakah mereka memainkan politik yang ideal atau tidak. Pejabat dan partai yang rentan terkena kasus korupsi, sering memainkan isu sara dan politik identitas sebaiknya harus dihindari demi melahirkan politik yang berlandaskan meritokrasi. Rakyat adalah kontrol dan penentu, oleh karena itu rakyat harus bijak menentukan sikap untuk Indonesia yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun