Bermain Peran
"Bunda jadi anaknya, Adek jadi mamaknya, ya." Â
"Oke."
Sesuai permintaan gadis kecil 3 tahun itu, aku pun menjalankan peran sebagai seorang anak secara totalitas. Membongkar mainan, merengek minta makan, minta dibacakan buku, minta dibuatin kue, minta beli jajan, dan seabrek permintaan lain.
Saat dua kakaknya datang, Sheza juga meminta mereka menjalankan peran sebagai 2 anaknya yang lain. Lengkaplah permainan peran kali ini. Tanpa dikomando, dua kakak tak kalah totalitas menjalankan adegan demi adegan.
Kami bertiga berebut mainan, berebut minta perhatian, nangis guling-guling minta jajan, mengadukan kenakalan yang lain kepada Ibu kecil, minta dipeluk karena mau bobok, minta dibacain buku, pura-pura sakit, dan seabrek "kenakalan" seperti yang sering kuhadapi sebagai ibu selama ini.
Akan tetapi, sungguh, dari pertama memainkan peran hingga akhir permainan, aku hanya melihat kelembutan seorang ibu dari artis cilik yang berperan sebagai "mamak" kali ini. Tak ada marah, tak ada teriakan, tak ada luapan kekesalan, atau adegan nangis di pojokan.
Kala salah satu anak menangis minta mainan yang direbut saudaranya, sementara anak yang lain sakit dan terus saja menangis, ia mengecup satu persatu anaknya dan bilang.
"Sayang ... sayang ... Mamak di sini. Cup cup, Sayang. Sebentar, ya."
Atau ketika kami mempunyai permintaan yang berbeda-beda, ia dengan sabar membantu kami mengambilkannya dengan kembali berucap, "Sayang ... sabar, ya. Sebentar Mamak ambilin."
Atau ketika tiga anak berebut minta dipeluk karena hendak tidur, gadis kecil ini merelakan dirinya diuwel-uwel dengan 2 tangan menepuk-nepuk kami bertiga. Sambil berdendang dan berpesan agar sabar.
Atau ketika satu anak menangis guling-guling, ia segera merengkuhnya dalam pelukan dan kembali mengucapkan, "Sayang ... sayang. Cup cup," sembari mengondisikan dua anak lainnya agar tetap tenang.
Aku melihat kelelahannya dalam melayani kami, karena ia benar-benar menjalankan perannya dengan baik. Bolak-balik ke dapur, ke kamar, ke ruang mainan, dan ke tempat-tempat lain.
Allahu ....
Seketika air mata ini keluar tanpa permisi. Entah kenapa dadaku terasa sesak. Sungguh, sebagai ibu aku belum mampu menjalankan peran sebaik bocah 3 tahun ini.
Masih sering terbawa emosi.
Masih sering nangis di pojokan.
Bahkan terkadang menyerah dengan keadaan.
Berkali-kali kupeluk dirinya, sambil mengucapkan terima kasih atas pelajaran yang ia berikan hari ini. Pelajaran yang menyentuh sisi terdalam seorang ibu.
Terima kasih, Allah.
Terima kasih, Nak.
Telah mengajarkan kepada Bunda akan arti cinta sesungguhnya.
Terima kasih, Nak.
Telah mengajari Bunda untuk menjalankan semua peran tanpa beban dan melalui setiap liku kehidupan dengan kebahagiaan.
**
Begitulah, ya, Ayah Bunda. Sejatinya anak adalah guru terbaik yang Allah kirimkan untuk kita. Tinggal kita memilih, menjadi sebaik-baik  atau sesombong-sombong murid.
Faghfirlana Ya Allah.
Sukoharjo, 16 September 2022.
#catatanBundatrioAida
#Sheza3tahun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H