Mohon tunggu...
Eka Swardhana
Eka Swardhana Mohon Tunggu... -

Sweet seventen telah berlalu hihi :) blog: ekaswardhana.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rubiah Bukan Perawan Tua

26 September 2014   02:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:30 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usianya semakin menua, namun wajah ayunya yang kian diterpa usia tak menunjukan perubahan-perubahan berarti. Masih tetap kencang tanpa ada kerutan dan bintik hitam menodai. Badannya sintal, kulitnya putih,hanya saja semua itu tak begitu terlihat karena badannya selalu dibalut baju khas muslimah. Jika dihitung-hitung usianya sudah kepala tiga, angka yang tak bisa dibilang muda lagi. Semakin hari banyak orang yang sering menggunjingkannya karena statusnya yang masih melajang. Sudah tabu di antara masyarakat jika ada wanita yang belum bersuami hinggaseusianya, mulut-mulut mereka nyinyir sekali untuk hal seperti ini. Selalu menggosipkan hal yang belum tentu benar adanya, menyindir dia perawantualah, perempuan matrelah, bahkan ada yang bilang dia wanita simpanan. Sungguh ketiganya benar-benar omong kosong. Rubiah bukan tipe wanita seperti itu. Banyak hal yang harus di pikirkan matang-matang sebelum ia melangkah ke bahtera pernikahan, baginya pernikahan bukanlah hal ringan yang bisa secepat kilat diputuskan, bukan pula sesuatu yang mudah untuk diakhiri. Jadi, sebelum semuanya dimulai ia masih ingin mencari orang yang pas untuk menjadi pendampingnya.

“Jadi, apa hal yang membuat Kakang tertarik untuk menikahi saya?” tanyanya pada sesi lamaran,

“Rubiah, tentu aku tertarik untuk menikahimu karena kau perempuan yang cantik dan anggun.”

“Apa hanya kerena alasan itu Kakang datang kemari untuk melamarku?” tanyanya sekali lagi,

Si Pria hanya menggangguk menanggapi pertanyaan Rubiah. Seperti biasa, Rubiah menolak lamaran itu. Kecantikan bukan segalanya, ia bisa hilang di terpa waktu. Rubiah tidak mau cinta suaminya hilang seiring dengan perubahan wajahnya yang mengeriput dan tidak ayu lagi, semua wanita pasti tidak menginginkan hal itu terjadi. Bersama-sama tua sampai wajah mengeriput bersama adalah hal yang di impikan banyak wanita, termasuk Rubiah. Dan, pria itu menambah daftar panjang lamaran yang ditolak Rubiah karena alasan yang sama, kecantikan.

Ibarat kembang mekar, banyak kumbang-kumbang mendekat yaitu laki-laki yang datang ke kediaman Rubiah. Walau tak begitu sering, sedikitnya seminggu sekali ada saja yang ingin meminangnya. Sudah selama itu dan selama itu pula belum ada yang pas di hati Rubiah, hal ini membuat Ibu Rubiah khawatir dengan nasib putrinya. Setiap ada laki-laki yang datang, Ibu Rubiah mencoba membujuknya untuk menerima pinangan itu. Selain karena tak baik membuat hati banyak orang kecewa, juga karena Ibu Rubiah takut dengan kondisi putrinya yang sudah tidak muda bisa membuatnya tidak laku jika tidak cepat-cepat di nikahkan.

Berkali-kali Rubiah menolak setiap lamaran, berkali-kali pula sang Ibu menasehatinya.

“Bu, ini bukan soal suka atau tidak suka,”

“Ya terus ap alagi Rubiah? Semua yang datang kesini juga bukan orang sembarangan, mereka semua kelihatan sudah matang!” Ibu Rubiah menatap kosong tubuh Rubiah yang sedang duduk di ranjangnya.

“Sebenarnya Rubiah bisa saja...”

“Apa kamu menunggu cinta?” belum sempat menjawab, kata-kata Rubiah sudah di putus oleh Ibunya.

“Ibu, dengarkan Rubiah dulu Bu!” kali ini suara Rubiah terdengar sedikit lantang. “Ini bukan soal cinta atau tidak cinta dan suka atau tidak suka. Tapi lebih ke niat Bu, alasan mereka melamar Rubiah. Sebenarnya cinta Rubiah bisa tumbuh sendiri jika niat awal yang meminang Rubi tepat, tidak seperti alasan dan niat mereka sekarang. Tujuan mereka semua datang kesini sama, karena kecantikan.” Nada suara Rubiah mulai melemah.

“Lho memangnya kenapa?” kali ini badan Ibu Rubiah dibalikan ke arah Rubiah yang semula ke arah jendela kamar dengan tangan yang masih bersidekap.

“Bu, kalau mereka cuma mau nikah dengan Rubi kerena kecantikan rupa, tentu itu salah Bu! Yang cantik di dunia ini bukan cuma Rubi, bagaimana jika nanti ada perempuan yang lebih dari Rubi? Mereka bisa meninggalkan Rubi dan pergi dengan yang lebih cantik Bu! Apa Ibu mau?” eksperesi Rubiah tidak ngotot, hanya mencoba untuk meyakinkan Ibunya.

“Baik kalau begitu. Tapi kamu mau melajang sampai kapan? Ibu tidak tega liat kamu hidup sendirian terus!” orang tua memang selalu kedengaran kolot.

“Jodoh itu sudah ada yang ngatur Bu!”

“Tapi kalau nggak di cari ya nggak akan ketemu!.... Sepertinya sudah ada laki-laki yang kamu senengin Rub?”

“Emm, sudah bu. Cuma Rubi nggak yakin! Biarlah Bu, kalau jodoh nggak akan kemana!”

“Akh,, terserah kamu aja. Baik buruk semua keputusan ada di tangan kamu.”

Tiba-tiba Rubiah teringat penjual kerudung di pasar. Setiap ia membeli kerudung di toko itu, si penjual tak pernah sedikitpun menengokkan pandangan padanya, begitu juga pada pembeli yang lain. Karena begitu sering membeli kerudung di situ, Rubiah menjadi penasaran dengan sosok sang penjual. Ada nuansa aneh disetiap ia menatap matanya, mata yang berbeda dengan laki-laki lain. Namun bukan cinta yang sedang ia rasakan, lebih tepatnya rasa penasaran yang berujung pada kekaguman tersembunyi. Kadang, semakin memikirkannya membuat Rubiah tak berhasrat meladeni setiap laki-laki yang datang ke rumahnya. Sesekali ia memutar balik jalan pikirannya tentang laki-laki itu dan meangangapnya hanya angin lalu dengan harapan ingatan tentangnya akan hilang. Namun tetap saja, akal pada otak adalah lobus paling pintar yang tidak dapat di bohongi sekalipun ia sedang berbohong, dan pada akhirnya ia mengumbar segala pikiran tentang penjual kerudung itu hingga saat ini.

***

Entah seperti apa jodoh Rubiah nanti. Akankah ia seorang pendiam atau sebalikanya. Rubiah orang yang tidak banyak bicara namun terkadang sebaliknya. Orang bilang jodoh kita adalah cerminan dari diri kita sendiri yang mampu menutupi semua kekurangan kita. Kekurangan, semua orang punya itu, termasuk Rubiah. Acapkali ia memandang jauh kedepan untuk hal yang satu ini, orang-orang selalu menganggapnya berlebihan dan menilai Rubiah Sang Perfectsionis. Lelah memang jika harus meladeni mulut semua orang. Bagi Rubiah yang rendah hati itu hal biasa, hatinya sudah baal mendengar omongan mereka. Baginya sekarang, hidup mutlak hak setiap manusia, tak ada seorangpun yang bisa membatasi gerak gerik kehidupan seseorang. Kita hidup untuk diri kita sendiri, jadi tak usah mendengarkan perkataan orang-orang yang sering membuat panas telinga.

***

Omongan orang-orang tentangnya hingga kini bukannya semakin meredup malah makin memuncah. Situasi ini semakin dibuat runyam setelah batalnya pernikahan Rubiah dengan Si Pedagang kerudung yang tak jelas duduk perkaranya. Jangankan orang-orang yang menyaksikan kegagalan ini, Rubiah yang menjalaninya pun sangat tertekan, terutama dengan gosip di luar sana yang di besar-besarkan. Siapa saja yang mendengar gosip itu pastilah merinding sekaligus merasa jiji dengan Si Penjual kerudung. Bau-bau gosip yang menyebar semakin busuk, setiap mulut yang membuka berlomba-lomba membubui berita ini menjadi semakin dahsyat, akibatnya banyak fersi yang menceritakan alasan batalnya pernikahan Rubiah. Sementara itu Rubiah selalu mengunci diri di kamar, aroma kesedihan belum juga beranjak dari hati dan jiwanya.

“Tuk,, tuk,, tuk,, Rub, Rub... ini ibu ndok, buka pintunya!” suara Ibu rubiah yang melemah membuat siapa saja yang mendengarnya iba. “Buka Rub, ibu mau bicara sama kamu. Kamu udah seminggu gak keluar dari situ, ibu khawatir Rub,,,,” masih tak terdengar suara dari balik pintu.

“Rub, kamu anak Ibu yang paling kuat, nggak seharusnya kamu bersikap seperti ini. Kamu masih punya Gusti Allah, minta petunjuk sama dia!” lagi-lagi Ibu Rubiah terisak, padahal sudah tak terhitung berapa banyak air mata yang keluar dari matanya yang seakan tak jua mengering. “Rub, inget sekali lagi omongan Ibu ini Rub, kamu masih punya Gusti Allah, minta sama dia yang terbaik buat kamu. Ibu percaya kamu bisa lewatin cobaan ini. Gusti Allah nggak akan menguji hambanya di luar kemampuan kamu Rub!” itu kata-kata terakhir yang di ucapkan ibu Rubiah sebelum ia pergi, pergi mengais puing-puing hatinya yang hancur dari pintu kamar anaknya yang tak kunjung di buka.

Tatapan matanya kosong, merana dan segala kemalangan ada padanya sekarang. Terbaring di ranjang pesakitan dengan semua beban yang setia menemani. Ingatan kejadian terburuk sepanjang hidupnya seakan betah bertengger di kepalanya. Sakit, rasanya amat sakit, ia dibohongi. Hal yang semakin membuatnya kacau adalah tidak bisa membencinya karena di akhir pertemuan, si laki-laki memohon maaf padanya. Kata maaf yang terdengar begitu tulus, namun hati tetap tak bisa di bohongi, rasa kecewa terus menggerogoti hatinya. Dilain sisi ia sangat sakit-kecewa-marah, namun disisi lain ia tak bisa membencinya.

Dan, sekarang ia mulai berangsur angsur pulih, sedikit demi sedikit luka hatinya terobati berkat Sang kekasih. Gusti Allah, pilihan terakhir yang di tawarkan ibunya saat itu ia ambil, tak percuma memang, tiap waktu ia terus dekat dengan-Nya, bermesraan di atas sehelai kain yang terus terhampar. Rubiah percaya dan ikhlas, walau bukan di dunia separuh jiwanya berada, di Jannah-Nya pasti meraka dipertemukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun