Matahari baru saja tergelincir di ufuk barat. Gemericik air keluar dari wastafelbergaya klasik kontemporer dengan batuan marmer berwarna coklat tua. Seseorang sedang berdiri sembari mengambil ancang-ancang ternyaman. Berwudu, yang ia lakukan. Membasuh muka, kedua lengan, ubun-ubun, telinga, keduakaki, dan terakhir di tutup dengan do’a. Kemeja lengan panjang yang semula ia lipat kembali ia benarkan memanjang, tampak titik-titik air memenuhi wajahnya.
“Sejadahnya dimana?” teriaknya,
“Disitu, di lemari, buka aja, pasti ketemu!”
Ia membuka lemari dan menemukan sehelai sajadah merah hati. Tak menunggu lama ia langsung memulai peribadatannya.
Mega berangsur-angsur pudar lalu menghitam. Tampak bintang-bintang bertebaran dengan satu primadona, yaitu bulan. Di balkon ini sang malam terlihat begitu mempesona, cantik.
“Sholatnya lama bener?” tanyanya sambil memberikan segelas teh poci hangat “Nih!”
“Makasih. Disambung sholat isa soalnya!”
“Tadi kamu ngaji?”
“Iya,, kenapa?” matanya masih saja memandangi bintang-bintang.
“Suaranya merdu.” Seteguk teh menyiram tenggorokannya.
“Tadi ada sajadah sama Alqur’an dari mana?”
“Dari rumah, aku bawa kesini! Di rumah, kenalan Papah-Mama banyak yang sering numpang sholat. Jadinya barang-barang itu bayak, aku bawa deh beberapa takutnya ada yang numpang sholat juga, lagian biar gak repot-repot ke luar nyari musholakan?”
Anggukan, ia mengangguk menanggapi pertanyaan itu. kali ini ia sedikit bicara, kerlipan bintang-bintang menyihirnya untuk bungkam beberapa saat.
“Kamu nggak takut tinggal di apartemen ini sendirian?” mata Firman menjelajah seisi ruangan beranjak dari balkon.
“Nggak juga.” Kali ini gantian Grais yang sedikit bicara. Sang malam membuatnya terpesona.
Perlahan-lahan teh dalam pegangan Fiman mulai dingin, ia meneguk teh itu banyak-banyak sebelum hawa panasnya menghilang. Sekarang ia sudah melangkah beberapa kaki dari Grais, berdiri di meja album yang penuh dengan foto-foto traveling Grais. Mulai dari meseum Louvre tempat sang Monalisa berada, monumen sejuta cinta Eiffel, Macau, Coloseum, banguan bukti cinta ... Taj Mahal, dan terakhir tempat religius Jerusalem. Diamatinya satu persatu foto tersebut. Ia memalingkan wajah ke arah balkon lagi. Tubuh tinggi semampai dengan dress selutut berkerah V dan tatanan rambut kucir ekor kuda sempurna cantik bagai bidadari tersesat di bumi, terlihat kekasihnya sedang terbawa arus eksotika malam. Bibirnya membengkok, Firman tersenyum.
“Grais,,,,” panggil Firman dengan seulas senyum yang masih merekah,
“Sayang, aku cemburu!”
Gelombang kejut tiba-tiba menyambar hati Grais, nafasnya tercekat mendengar kata-kata Firman. Segera ia membalikkan badan.
“Aku cemburu kau lebih menyukai bintang itu.” sekali lagi Firman masih tersenyum.
“Akh, aku kira kau kenapa-napa.” Dalam-dalam Grais mengambil nafas. “Tak usah risau sayang, aku akan tetapa mencintaimu.” Senyuman yang amat manis. “Sayang, beberapa hari ini aku selalu merasakan firasat aneh.”
“Benarkah?”
“Ya, entah mengapa aku selalu merasakan itu.”
“Sudahlah tak usah pikirkan itu lagi, kita akan baik-baik saja!,,, lusa akhir pecankan? Kamu ada waktu?” Firman beranjak lagi menuju balkon tempat Grais berada.
“Emm,, ada. Tapii, mungkin setelah aku pulang dari Gereja malamnya. Bagaimana?”
“Ah, kalau malem-malem kurang pas. Besok sore habis ngantor gimana?”
“Sama aja kali, akhir-akhirnya kemaleman juga hehe”
Pekatnya malam tertutupi cahaya bulan yang sempurna bulat dan besar dengan cahaya anggunnya. Kerlap-kerlip cahaya gemintang di tambah kelipan lampu gedung-gedung kota menambah suasana menjadi romantik dengan kesan retro. Suasana ini sudah matang-matang Grais pertimbangkan untuk tempat tinggalnyamelalui pemesanan eksklusif, tentunya dengan bajet yang tak tanggung-tanggung. Semilir angin membuat rambut Grais yang di kucir ekor kuda terjuntai-juntai, sungguh membuat suasana semakin sempurna.
***
“Aku terlambat?” buka Grais ketika bertemu Firman di sebuah Resto ternama cita rasa prancis.
“Nggak. Silahkan Sayang!” sambut Firman sambil menarik kursi Grais untuk mempersilahkannya duduk.
“Mau pesan apa?”
“Kamu reserfasi dulukan?”
“Iya. Tadi aku udah pesen nicois salad buat kamu. Kamu lagi dietkan?”
“Oh sayang kamu emang pengertian hehe,,, tapi ngomong-ngomong yang traktir, aku apa kamu?” goda Grais sedikit jail.
“Iya, aku yang bayar. Bulan ini aku dapet bonus loh! Hehe” bisik Firman sedikit nakal,
“O ya? Ah Asik hehe”
Sejenak Firman mengabil jeda di sela-sela makannya. Memandangi penuh kekasihnya yang dari waktu ke waktu tak pernah berubah, sama seperti dulu ketika awal bertemu. Firman masih ingat, saat itu di sebuah pantai mereka memulai hubungannya, hubungan spesial yang bertahan hingga sekarang. Grais memakai sundrees warna pastel dengan cartwheel hat yang menutupi setengah wajahnya terlihat begitu anggun berdiritepat di hadapan sunset yang sebentar lagi sempurna terbenam. Firman berdiri tepat di samping Grais, mereka sama-sama mematung. Ketika sunset telah sempurna tergelincir barulah Grais memulai pembicaraan. Graislah yang memulai hubungan ini, berbicara terus terang tentang perasaannya yang sesungguhnya. Mulanya Firman agak kaget karena iapun merasakan hal yang sama, namun karena strata sosial yang terlampau jauh berbeda dan kepercayaan yang sungguh berbeda juga membuat Firman enggan untuk mengungkapkannya. Bahkan sempat keluar kalimat putus asa dari mulut Firman.
“Grais akupun merasakan hal yang sama denganmu” Firman menatap mata Grais dengan penuh kesungguhan. “Namun kau pastilah juga tahu, kesenjangan antara kita sangatlah jauh. Aku tak sepadan dengan mu walau sebenarnya strata kita dulu sempat sejajar, namun itu dulu. Sekarang aku hanya laki-laki biasa, anak sulung dengan semua tanggung jawab keluarga. Mengenalmu dan bantuanmu menyelamatkan perusahaan keluargaku sebenarnya sudah cukup untukku.” Firman berhenti sesaat, “ Dan lagi, kepercayaan kita berbeda, ini akan membuatkita sulit bersatu walau kita sama-sama mencinta Grais.” Lirih suaranya terdengar untuk kalimat yang terakhir.
Mendengar itu Grais hanya tergugu, tersisip bayang-bayang air dari kedua bola matanya. Ia tak kuasa mendengar pernyataan Firman tentang cinta mereka.
“Aku tak peduli Firman. Aku hanya inginkan mu!”
“Ya, aku juga sangat mencintaimu Grais!”
“Aku juga!”
“Walau pada akhirnya kita pasti berpisah?”
“Aku tak peduli.” Grais memeluknya.
Ketika tersadar bahwa ia sudah terlalu jauh masuk dalam emosi masa lalunya, Firman kembali melanjutkan makan malamnya. Waktu tak terasa cepat sekali berlalu. La’escargot, soupe a l’oignon, creme brulee, dan nicois salad sudah di santap habis.
Sekali lagi Firman memandangi Grais. Kian hari fashionnya terlihat sederhana walau beberapa branded terselip di setiap gayanya.
“Gaya busana mu udah nggak kaya butik berjalan lagi yah! Hehe”
“Lagian kamu ngomel-ngomel terus sih!”
“Dari pada ngeluarin uang seabreg cuma buat beli satu buah tas atau sebuah baju atau yang lainnya. Mending buat di sumbangin,,,” lagi-lagi Firman memulai ceramahnya,
“Yayaya aku tahu Pak Ustadz.” Grais memotong kalimat Firman, ia hapal benar ocehan Firman yang satu ini. “Oh iya lusakamu datang ya di acara ulang tahunku!”
“Eh tapi,,”
“Dan ini buat kamu pakai nanti, Ok jangan lupa!” Grais menyerahkan sebuah kotak dan bergegas pergi.
***
Kasih antara mereka sudah cukup lama terjalin dan rumit. Kedua keluarga sama-sama tak merestui hubungan mereka. Acara ulang tahun Grais di sebut-sebut menjadi acara pertunangan Grais dengan laki-laki pilihan keluarganya. Firman sudah tahu hal ini sejak beberapa minggu yang lalu, namun ia tak memberi tahu Grais, sebab Grais juga pasti menyembunyikan hal ini darinya, karena semenjak ia tahu kebenarannya, Grais selalu terlihat murung dan sesekali melamun.
Dan kini sudah tak ada waktu lagi untuk merenung, bergegas pergi ke pesta Grais adalah hal yang tepat. Tuxedo hitam berlebel Hugoboss dan sepatu kulit hermes pemberian Grais dipakainya, Grais sangat pengertian memberikan busana ini, Firman memang tak punya pakaian branded ternama untuk datang ke pesta para sosialita. Dengan gaya seperti ini, Firman begitu karismatik dan jantan.
*
Ada beban yang sungguh berat bertumpu di kakinya ketika hendak mengangkatkan kaki untuk pergi ke pesta itu. Firman membayangkan bagaiman kelunya lidah mengucapkan kalimat-kalimat perpisahan, rasanya ia tak sanggup untuk mengatakannya. Di tambah luka yang membuat hatinya hancur berkeping-keping akan tampak di hadapannya pasti menambah lara jiwanya. Tekad sudah bulat, seorang pria haruslah gentel. Mobil jemputan utusan Grais sudah datang, walau awalnya enggan, firman tetap memasuki lamborghini veneno silver tersebut.
Hatinya bergejolak tak tentu selama dalam perjalanan. Rasanya ada banyak bisul di pantatnya, gelisah, cemas melanda batinnya. Sesorang akan mengambil belahan jiwanya. Akan tetapi ia sudah mempersiapkan ini dari jauh-jauh hari. Karena akan teramat sakit jika ia tak melatih hatinya untuk mengikhlaskan Grais jatuh pada pelukan lelaki lain.
Lamborghini veneno Silver seketika berhenti. Firman keluar dari mobil dengan langkah mantap. Ia berjalan dengan gagah dan berwibawa, menyodorkan undangan tiket untuk masuk lalu bergegas melanjutkan langkahnya. Lagi-lagi ia sangat lelaki, aura kejantannannya sangat jelas terlihat. Namun di balik langkah tegasnya itu, dihatinya ada sebuah lubang yang menganga dan rapuh.
****
Gaun malam berwarna merah dengan belahan dada terbuka yang Grais kenakan membuatnya terlihat menawan. Sedari tadi ia mencari-cari seseorang, sudah pasti sesorang itu adalah Firman. Ia melihat sesorang yang ia kenali di taman samping rumah, maka tak lama kemudian ia dekati. Itulah Firman.
“Kamu begitu menawan!”
“Trimakasih”
“Selamat ulang tahun Grais!”
“Kau tak bawa kado?”
“Emm,,, bukankah bisa bertemu malam ini adalah kado terindah?”
“Ah, benar! Ayo masuk, kita berdansa!” Grais meraih lengan Firman menariknya masuk.
Terlihat seorang pria bermata sipit yang tentu saja etnis china berdiri di sudut ruangan sana. Mata cemerlangnya menggeliat mencari sesuatu diantara kerumunan banyak orang, namun sedari tadi ia tak jua menemukan apa yang ia cari. Diam-diam dari kejauhan Firman mengamati.
“Tapi aku tak bisa berdansa Grais!!” bisik Firman di tengah keramaian.
Langkah kakinya yang tak tentu mengikuti gerakan kaki Grais, pijakan-pijakan yang ia ambil terlihat ragu-ragu membuat geraknya tak indah.
“Lama-lama kamu pasti bisa. Ini gerakan sederhana! Nikmati saja iramanya.”
Musik mengalun indah, semua pasangan terlihat begitu menikmati setiap geraknya. Sang wanita menyematkan satu tangannya di sela telapak tangan dan satu tangan lagi di dada si pria sedangkan sang pria menempatkan satu telapak tangannya di belakang pinggul si wanita. Firman dan Grais tepat diantara banyak pasangan itu. Mereka berdiri tepat di bawah lampu kristal gantung ala kerajaan renaissance dengan cahaya emas berkilauan. Disela-sela kebersamaan itu cahaya lampu sekejap saja mati.
“Grais maaf, gelapnya suasana ini mungkin akan berlanjut terhadap hubungan kita. Aku mungkin terlalu pecundang! Maafkan aku, sekuat apapun kita mempertahankan hubungan ini, pada akhirnya pastilah berakhir sangat pahit. Namun Grais aku berharap rasa pahit ini bukan racun yang bisa membunuh kita berdua melainkan obat yang bisa menyembuhkan kita berdua dari rasa sakit yang sungguh bertubi-tubi. Selamat tinggal Grais, cintailah ia dan jadikan ia obat lara hatimu!”
Durasi pemadaman lampu yang banyak pasangan gunakan agar suasana semakin romantis berkebalikan untuk Grais dan Firman. Momen ini malah Firman gunakan untuk pemutusan hubungan. Sekejap kemudian lampu kembali menyala dan betapa malangnyanya Grais mengetahui bahwa Firman sudah angkat kaki dari pesta itu. Ia tergugu diam, tatapan matanya kosong, untung saja seseorang bermata sipit menghapirinya dan membawanya pergi. Ada semburan-semburan kesedihan yang tercurah dalam hatinya, berjuta pilu kini melanda bagai serbuan anak panah yang tak kenal ampun memburu sasaran. Langkahnya gontai di topang pria bermata sipit di sampingnya.
Sesekali membalikan pandangan walau kakinya terus melangkah maju meningggalkan hiruk-pikuk keramaian. Firman lagi-lagi pergi dengan seabreg beban. Langkah-langkah panjang ia ambil, mengayunkan kaki lebih cepat keluar ruangan. Namun, setibanya di luar ia malah membalikkan badan. Sendi lututnya ngilu, tulang belakangnya serasa tak bisa lagi menopang tubuhnya. Ia terjatuh, terduduk bersimpuh. Buliran air hangat keluar dari sela bola matanya. Ia tak lagi kuat berpura-pura tegar.
Terimakasih sudah membaca :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H