"Semua sudah berubah Bro. Â Kamu sudah punya Indri dan kedua anakmu. Â Rena juga sudah bersuami dan memiliki dua puteri. "
"Aku... Aku hanya ingin dia tahu aku masih mencintainya lewat novel ini"
"Novel berisi cerita fakta yang kamu fiksikan? "
"Ya begitulah. Â Rena adalah inspirasiku"
"Bro, Â maaf nih kalau aku akhirnya ikut turut campur. Â Biarlah perasaanmu itu hilang bersama beredarnya novelmu di pasaran. Â Sebab, Â yang aku tahu tidak mudah mempertahankan ikatan pernikahan. Â Aku tak ingin ikatan pernikahan kalian berdua retak hanya gegara kenangan masalalu yang tertulis di setiap bab yang kau tulis"
Hening. Â
Sahabatku Leo benar adanya.  Keluarga kecilku cukup banyak mendapat guncangan. Mertuaku yang ternyata membenciku. Istriku yang ternyata tidak  sebaik yang kupikirkan.  Anak-anakku yang mendapat penyakit jantung bawaan.  Ah,  memang semua terasa begitu sulit.  Apa aku telah melakukan kecurangan ingin menyeret Rena dalam kehidupanku yang kacau ini.  Bukankah dengan membiarkannya bahagia adalah bentuk kasih sayangku padanya. Aku yang telah menyakitinya sepuluh tahun yang lalu apakah belum juga puas dengan kesedihan yang dialaminya.Â
"Oke trims Bro" kataku pada Leo.Â
Leo terdengar menghela napas pelan. Â Tugasnya sudah selesai. Dirinya telah menemukan Rena. Â Dirinya telah tahu kondisi Rena yang sebenarnya.Â
"Aku berharap kau pun bahagia, Â Bram" kata Leo mengakhiri pembicaraan kami.Â
Kumatikan ponselku. Â Hatiku terluka. Aku yang menaruh rindu, Â aku yang mengutuk rindu,aku yang membuang rindu. Kuseduh secangkir kopi buatan istriku lalu kembali menatap laptopku. Aku akan membuat kisah terbaru. Bisa jadi novel ketigaku. Tentang elegi sebuah rindu. Â