Jakarta punya ragam pilihan tranportasi umum. Bukan sekadar banyak, namun kini lebih terintegrasi. Mulai dari Jaklingko yang merupakan transformasi angkot dalam kota berbasis kartu, hingga LRT yang memfasilitasi mobilitas warga komuter JABODETABEK.Â
Sayangnya, meskipun telah berkembang secara masif dan lebih terintegrasi. Mengapa konflik di transportasi umum kerap terjadi? Beberapa waktu lalu misalnya, viral pada unggahan sebuah akun tiktok yang menggambarkan situasi konflik di dalam KRL.Â
Pada video tersebut ditayangkan seorang ibu-ibu yang tengah hamil tua marah, karena divideokan tanpa izin. Tentunya, ini melanggar hak privasi orang lain. Bahkan kabarnya, menyambung dalam video lain yang beredar korban mengalami keguguran.Â
Hal ini mesti jadi perhatian lebih, terutama bagi para pengguna moda transportasi umum agar lebih bijak. Terutama dalam hal yang menggangu ketertiban bersama.
Jam Pulang Kerja, Lebih Rawan Memicu Konflik
Pernah dengar konflik rebutan kursi ditransportasi umum? Umumnya peristiwa ini terjadi pada jam pulang kerja, yang mana waktu ini merupakan rush hour dan tingkat kepadatan pengguna paling tinggi.
Alhasil, disaat semua orang ingin sampai rumah tepat waktu kapasitas yang dimiliki moda transportasi umum berbanding terbalik dengan pengguna.Â
Pilihannya hanya dua, menunggu keberangkatan selanjutnya dan jam pulang menjadi terlambat atau tetap berdesakan di tengah lelahnya beban kerja.Â
Rela berdesakan pun bukan hanya mesti bersabar dengan lelahnya hari yang telah berjalan. Berdesakan di transportasi umum, artinya juga mesti bersabar dengan pengguna lainnya.
Kalau ngga sabar, masalah sepele pun bisa jadi konflik. Misalnya, saling tatap-tatapan dengan posisi satu orang duduk dan satu lagi dihadapan berdiri. Bisa jadi masalah, karena dianggap memelototi orang yang duduk. Bahkan dianggap ingin duduk di kursi tersebut.
Jika salah satu terpancing emosi, jangkan adu mulut. Baku hantam pun bisa terjadi. Sudah lelah dengan beban kerja, di transportasi umum pun tidak bisa sampai rumah dengan tenang dan tentram. Kembali, karena di jam rush hour ini transportasi umum kapasitasnya berbanding terbalik dengan pengguna.Â
Apakah Fasilitasnya sudah Mengcover Kebutuhan Mobilitas Masyarakat?
Konflik di atas hanya salah satu contoh konflik yang pernah terjadi pada moda transportasi umum. Ini jadi pertanyaan baru, apakah moda transportasi yang dimiliki kini sudah mengcover kebutuhan mobilitas masyarakat?
Sebagai pengguna aktif transportasi umum, saya sendiri merasa belum. Namun, bukan berarti buruk ya. Moda transportasi umum kini sudah jauh lebih baik, namun tetap butuh diberlakukan banyak improvement.
Terutama pada jam rush hour (alias pulang kerja), akan jauh lebih baik jika kapasitas yang ada bisa ditambah. Paling tidak tingkat kepadatannya hanya 1,5 kali dari kapasitas yang bisa diterima.
Sehingga, ditengah lelahnya beban kerja para pengguna tidak mudah terpancing emosi karena masih memiliki ruang di dalam transportasi umum.Â
Tingkat kepadatan pada jam rush hour hingga konflik di transportasi umum, akhirnya melahirkan pilihan lebih baik bawa transportasi pribadi aja. Alhasil, tujuan meminimalisir kemacetan pun tidak terbendung.
Apalagi, kini di tengah peluncuran kendaraan bermotor baik motor listrik dan sepeda listrik masyarakat difaslitasi dengan berbagai layanan. Meskipun ramah lingkungan, kampanye ini justru akan menimbulkan masalah baru yaitu kemacetan.
Justru, dengan memastikan bahwa transportasi umum nyaman digunakan akan mendorong lebih banyak pengguna.Â
Kampanye "Ayo Gunakan Transportasi Umum" tidak akan berjalan maksimal jika banyaknya konflik di dalam transportasi tersebut.
Kunci utamanya adalah nyaman dan aman. Sehingga, orang akan beralih dan konflik pun tidak terjadi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H