Dalam videonya, dijelaskan bahwa ada beberapa alasan utama mengapa provinsi lampung tidak maju-maju diantaranya pembangunan infrastruktur yang mangkrak, jalan-jalan yang rusak, sistem pendidikan yang lemah, tata kelola yang lemah, dan ketergantungan pada sektor pertanian.Â
Keresahan ini kemudian mendapatkan ragam tanggapan dari berbagai pihak. Pihak yang setuju pun ikut memposting keadaan yang telah disebutkan dalam video tersebut. Sontak, muncul pertanyaan kok bisa?Â
Sayangnya, mengutip dari kompas.com kritikan ini justru berujung pada dilaporkannya bima ke Kepolisian Daerah (Polda) Lampung oleh seorang Advokat Gindha Ansori. Menurutnya, kritik tersebut dinilai menyudutkan dan memperburuk citra Provinsi Lampung.Â
Hal ini memperkuat dan jadi bukti konkrit bahwa yang segalanya viral akan segera diproses. Namun, apakah benar kritik yang disampaikan telah mencoreng dan menyudutkan pihak lain?
Mempertanyakan Hak Kebebasan Berpendapat, Awas Terpelintir Undang-Undang ITE
Pelaporan yang dilayangkan ini justru membuat publik makin kecewa. Alhasil, pemerintah setempat dianggap anti kritik. Banyak pihak yang justru balik mempertanyakan atas dasar hukum apa perilaku ini kemudian dipidanakan?
Sedangkan undang-undang sendiri menjamin kebebasan mengemukakan pendapat yang diatur dalam pasal 28. Di mana setiap warga negara berhak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat melalui lisan dan tulisan.Â
Jika dikatakan mengandung ujaran kebencian, rasanya dalam tayangan video tersebut tidak disebutkan ajakan untuk membenci ataupun memboikot suatu kelompok.Â
Tidak ada ajakan untuk mengucilkan, hanya sebuah paparan yang berisi alasan mengapa provinsi lampung tidak maju-maju. Kritik yang disampaikan pun tidak menyebutkan secara spesifik siapa pelaku utama yang membuat provinsi ini tidak maju-maju.Â
Apalagi, statement ini pun diperkuat dengan berbagai video unggahan lain dari warganet yang merasakan hal yang sama. Lantas, pihak mana yang merasa dirugikan? Bentuk kritik seperti apa yang bisa dikatakan "sopan dan membangun".Â