Mohon tunggu...
Eka Sarmila
Eka Sarmila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Long Life Learner

Halo! Perkenalkan saya Eka. Menulis adalah cara saya untuk bertukar cerita kepada orang lain pada jangkauan yang lebih luas.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Exposure Influencer, Berapa Besar Manfaatnya bagi Branding Usaha di Media Sosial?

6 April 2023   06:42 Diperbarui: 8 Agustus 2023   16:50 1234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi food vlogger | Foto.Freepik.com

"Wuihh, enak ya, makan-makan gratis, enggak perlu bayar!"

Siapa yang enggak senang bisa makan-makan gratis! Makan kenyang dengan hanya cukup bayar pakai exposure di media sosial. Citra ini kerap melekat pada food vlogger yang punya privillage makan gratis dibayar dengan posting konten.

Begitupun, dengan berita yang tengah viral saat ini. Seorang food vlogger menyayangkan pelayanan sebuah restoran ketika sedang mereview makanannya. Pernyataan ini kemudian jadi bahan diskusi  netizen. 

Apakah benar seorang food vlogger bebas untuk makan gratisan hanya dengan bayar pakai exposure dan bagaimana jika ia tetap harus membayar? 

Sah-sah saja untuk seorang food vlogger membayar makanan yang dikonsumsi. Seorang food vlogger tidak selamanya dapat menggunakan privillage makan gratisan di rumah makan. 

Foto. Freepik.com
Foto. Freepik.com

Loh, tapi kan bayar pakai exposure punya dampak yang cukup besar! Memang benar, exposure media sosial punya ketertarikan dalam bidang digital marketing. Selain itu, jangkauan konsumen juga jadi lebih luas.

Hanya saja, apa enggak kasihan kalau rumah makan yang direview adalah kelas kaki lima?. Umumnya, pedagang ini mengandalkan pendapatan harian dari produk yang terjual.

Misalnya, jika si pedangang kaki lima (PKL) ini menggunakan modal usaha Rp 500.000, kemudian dapat memproduksi barang yang modal dan keuntunganya  hanya didapat Rp 700.000. Keuntungan yang didapat sangat tipis bukan?

Lantas, kalau diminta gratisan dimana untungnya si PKL ini? Hati nurani juga mesti tergerak saat ingin minta gratisan. Namun, beda cerita jika yang diminta makan bayar pakai exposure ini adalah pelaku usaha yang pendapatanya sudah jauh lebih besar.

Sayangnya, tetap saja kalau bukan karena kesepakatan kedua pihak, perilaku ini seolah memaksa dan seperti pemalakkan. Etikanya, jika ingin saling barter manfaat sudah dibicarakan jauh sebelum proses pengambilan gambar terjadi.

Ada kesepakatan antara kapan, apa saja yang direview, dan manfaat apa saja yang didapatkan masing-masing.

Berapa Lama Tren dari Exposure ini Bertahan?

Foto. Rawpixel.com dari Freepik.com
Foto. Rawpixel.com dari Freepik.com
Dari jutaan followers yang ada berapa persen profit yang bakal diterima pelaku usaha? Hal ini jadi pertanggungjawaban, bagi food vlogger yang kerap minta bayar pakai exposure. 

Seberapa besar dampak konten tersebut dapat memviralkan dagangan mereka yang direview. Katakanlah, profit yang didapatkan bisa naik jauh dua kali lipat dari penjualan sebelumnya. Namun, pertanyaanya berapa lama ini akan berlangsung?

Pengalaman seorang teman dari ibu yang merupakan pengusaha kelapa bakar dan daganganya pernah direview oleh seorang influencer. Ia menuturkan trend yang menaikkan penjualannya hanya berkisar selama sebulan. Lepas sebulan penjualan kembali normal. 

Tentunya, profit yang didapat juga bergantung pada jenis makanan apa saja yang dijual, bagaimana lokasinya, dan sasaran konsumennya. Belum lagi, makanan yang lagi viral trennya cepat berubah. 

Hal ini disebabkan karena minat konsumsi masyarakat juga cepat berubah. Makanan yang sedang tren tidak mampu mengalahkan eksistensi makanan pokok. 

Misalnya, saat booming film squid game. Orang-orang berlomba-lomba untuk menjajal permen dalgona. Pasca tren film ini usai, permen dalgona hanyalah sebuah permen anak-anak yang rasanya manis.

Baik pedagang kecil, makanan sederhana, semua menginginkan keuntungan yang long lasting. Bukan cuma viral sesaat dan tenggelam kemudian. 

Foto. Our Team dari Freepik.Com
Foto. Our Team dari Freepik.Com

Apalagi bagi pegiat usaha yang sudah cukup besar. Besar di sini dalam artinya sudah menyewa gedung, punya lebih dari 1 cabang, punya karyawan yang cukup banyak, dan tercatat dalam badan usaha. 

Mungkin saja, mereka bisa diviralkan dan konsumen yang datang dalam kurun waktu setahun datang cukup ramai. Namun, perlu ditekankan kembali exposure bukan satu-satunya daya tarik untuk meningkatkan penjualan.

Sekarang, coba diingat. Siapa yang pernah makan mie instan di tempat ala-ala cafe yang ramah untuk nugas, meeting online, ataupun sekadar nongkrong. Berapa banyak yang masih bertahan?

Menjual makanan seperti mie instan dengan harga kisaran mulai dari Rp 15,000, apakah mungkin menutup biaya produksi? Mulai dari penyediaan bahan baku, gaji karyawan, hingga sewa tempat. 

Faktor yang tidak terlihat inilah yang justru punya pengaruh lebih terhadap bisnis yang sustainable. Bukan cuma sekadar exposure yang sebentar viral, ramai, kemudian sepi pembeli.

Pilihan Promosi Usaha Bukan Cuma Bayar Pakai Exposure! 

Foto. Rochak Suhla dari Freepik.com
Foto. Rochak Suhla dari Freepik.com

Meskipun punya exposure yang besar, mesti dipertimbangkan juga bagaimana kelangsungan bisnis kedepannya. Ada beberapa hal lain yang bisa dicoba daripada hanya mengandalkan exposure seorang influencer. 

Pengen menjangkau pasar yang lebih luas, marketplace solusinya. Makin canggih zaman, orang makin mager untuk cari makanan. Tinggal klik, makanan sudah diantar. 

Daripada hanya sekadar menjual produk disatu tempat, menjual produk di marketplace bisa jadi pilihan. Target pasar pun bisa jadi jauh lebih luasa. Bagi pelanggan favorit yang rumahnya tidak terlalu dekat dapat terfasilitasi dengan metode ini.

Exposure dari influencer memang perlu. Namun, kalau budgetnya belum cukup gimana, ya, cara memviralkan dagangan saya? Pasalnya, bukan rahasia umum lagi kalau bayar influencer itu biayanya mahal.

Ada beberapa kategori influencer dari yang punya grade A, B, C dan tentunya harganya berbeda. Mulai dari Rp 5.000.000 hingga puluhan juta bisa jadi biaya yang mesti dikeluarkan. Itupun tidak bertahan lama dan ada kurun waktunya. 

Lantas, gimana ya caranya? 

Kalau pernah lewat di fyp konten mba-mba kacamata di media sosial? yaps! Jawabanya adalah dengan membangun branding awarness dan product knowledge. 

Membuat konten sendiri dengan permasalahan sosial yang relate dengan orang banyak bisa jadi pancigan untuk orang lain kepo dengan product yang dijual. Usahakan lakukan pemasaran terselubung (Soft selling) dahulu.

Jika engagement rate sudah banyak, baru deh coba sisipkan apa yang sebenarnya menjadi tujuan utama media sosial yang dikembangkan. 

Punya media sosial sendiri jauh lebih hemat kalau dibanding dengan bayar exposure influencer. Selain itu, jangka waktu lama posting pun bisa jadi lebih lama dan tentunya lebih banyak. 

Nah, simpulanya balik lagi pada modal, kemampuan pengusaha, dan target apa, sih yang pengen dicapai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun