Thrifting kini dilarang dan digaungkan sebagai ancaman industri tekstil lokal. Mengutip dari kompas.com, pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 18 tahun 2021, tentang barang dilarang ekspor dan impor.Â
Di mana dalam pasal 2 ayat 3 menyebutkan bahwa barang dilarang impor salah satunya adalah kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas. Sontak saya bertanya-tanya, kok bisa hal ini dianggap sebagai sebuah perbuataan ilegal dan dianggap mengancam?
Terlihat sepele ternyata besar dampaknya. Coba bayangkan dengan uang mulai dari Rp 10.000 saja Anda bisa mendapatkan baju bekas layak pakai.Â
Seorang teman yang kerap berburu barang thrifting pernah menuturkan kepada saya, "Kalau lagi mujur bisa dapat barang baru branded yang hanya reject sedikit." Ucapnya.
Siapa yang tidak tergiur? Apalagi di kalangan mahasiswa yang ingin tampil kece tapi budget pas-pasan! Thrifting jadi pilihan dan andalan supaya enggak dibilang "kok pakai baju yang itu-itu aja?"
Lantas, bandingkan mungkin enggak, sih, seorang pengrajin tekstil lokal bisa memproduksi baju dengan modal dari di bawah Rp 10.000 saja? Biaya kain, benang, upah penjahit, sewa toko, dan pemasaran enggak akan cukup dengan angka mulai dari Rp 10.000 saja.Â
Harga, Kualitas, dan Trend Fesyen Sosial Media, Thrifting Solusinya!
Saya pun pernah iseng membeli sebuah produk pakaian lokal dengan harga di bawah Rp 50.000 pada sebuah e-commerce. Dengan harga di bawah Rp 50.000, saya enggak berharap banyak akan barang yang datang.Â
Gambar yang dipajang memang betul menjanjikan. Namun, saat paketnya datang  harga menentukan kualitas. Logikanya, bagaimana pengrajin tekstil lokal dapat memberikan kualitas terbaik kalau harga jualnya tidak sesuai modal?