Mohon tunggu...
Eka Sarmila
Eka Sarmila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Long Life Learner

Halo! Perkenalkan saya Eka. Menulis adalah cara saya untuk bertukar cerita kepada orang lain pada jangkauan yang lebih luas.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Artikel Utama

Thrifting, Solusi Tuntutan Tren Fesyen Elit yang Kini Jadi Ancaman Industri Tekstil Lokal

20 Maret 2023   15:21 Diperbarui: 24 Maret 2023   12:13 1048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto. Rawpixel.com dari Freepik.com

Thrifting kini dilarang dan digaungkan sebagai ancaman industri tekstil lokal. Mengutip dari kompas.com, pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 18 tahun 2021, tentang barang dilarang ekspor dan impor. 

Di mana dalam pasal 2 ayat 3 menyebutkan bahwa barang dilarang impor salah satunya adalah kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas. Sontak saya bertanya-tanya, kok bisa hal ini dianggap sebagai sebuah perbuataan ilegal dan dianggap mengancam?

Terlihat sepele ternyata besar dampaknya. Coba bayangkan dengan uang mulai dari Rp 10.000 saja Anda bisa mendapatkan baju bekas layak pakai. 

Seorang teman yang kerap berburu barang thrifting pernah menuturkan kepada saya, "Kalau lagi mujur bisa dapat barang baru branded yang hanya reject sedikit." Ucapnya.

Siapa yang tidak tergiur? Apalagi di kalangan mahasiswa yang ingin tampil kece tapi budget pas-pasan! Thrifting jadi pilihan dan andalan supaya enggak dibilang "kok pakai baju yang itu-itu aja?"

Lantas, bandingkan mungkin enggak, sih, seorang pengrajin tekstil lokal bisa memproduksi baju dengan modal dari di bawah Rp 10.000 saja? Biaya kain, benang, upah penjahit, sewa toko, dan pemasaran enggak akan cukup dengan angka mulai dari Rp 10.000 saja. 

Harga, Kualitas, dan Trend Fesyen Sosial Media, Thrifting Solusinya!

Foto/Freepik.com
Foto/Freepik.com

Saya pun pernah iseng membeli sebuah produk pakaian lokal dengan harga di bawah Rp 50.000 pada sebuah e-commerce. Dengan harga di bawah Rp 50.000, saya enggak berharap banyak akan barang yang datang. 

Gambar yang dipajang memang betul menjanjikan. Namun, saat paketnya datang  harga menentukan kualitas. Logikanya, bagaimana pengrajin tekstil lokal dapat memberikan kualitas terbaik kalau harga jualnya tidak sesuai modal?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun