Mohon tunggu...
Eka putriana Himayatul lutfa
Eka putriana Himayatul lutfa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa uin Surakarta

Kepribadin INFP

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pentingnya Pencatatan Perkawinan: Sejarah, Analisis Filosofi, Yuridis, Religius, dan Sosiologi

22 Februari 2024   18:56 Diperbarui: 22 Februari 2024   23:00 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Analisis sejarah pencatatan perkawinan di Indonesia? 

Prinsip hukum perkawinan nasional yang bersumberkan pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Perihal pencatatan perkawinan merupakan hal baru dalam hukum Islam di Indonesia, yang mana di dengan adanya pencatatan perkawinan ada banyak hal maslahah yang ditimbulkan sehingga pencatatan perkawinan merupakan hal yang diperlukan untuk mencatatkan perkawinan yang sakral. Adanya pencatatan perkawinan di Indonesia dilatarbelakangi adanya banyak kasus yang menyatakan bahwa perkawinan siri banyak terjadi di Indonesia, dengan dalih "daripada zina lebih baik menikah." 

Praktek nikah siri tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam namun juga oleh masyarakat yang memiliki pangkat negara seperti PNS, dll. Bahkan data kementrian agama menyatakan jika 48% dari 80 juta anak di Indonesia lahir dari nikah siri, yang artinya sekitar 35 juta. Dari fakta nikah siri yang "tidak dicatatkan," sehingga pembahasan pada "pencatatan perkawinan" yang telah tertulis dalam pasal 2 UU no 1 tahun 1974 tenang perkawinan. Pasal 2 menyatakan bahwa " (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari pernyataan diatas muncul dua pendapat yang menyatakan bahwa (1) pencatatan perkawinan merupakan salah satu syarat sahnya suatu perkawinan, (2) pencatatan perkawinan bukanlah sebuah penentuan syarat sahnya sebuah perkawinan. 

Dari pendapat kedua lah yang menjadi aspek sejarah hukum pencatatan perkawinan, yaitu dengan memperhatikan regulasi pencatatan perkawinan sebelumnya, yaitu dengan UU no 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk. 

Pencatatan bisa dikatakan pendataan administrasi perkawinan yang tujuannya memenuhi ketertiban hukum dan setiap pencatatan perkawinan menurut pasal 5 KHI dilakukan oleh pegawai pencatatan nikah (PPN). Dikarenakan jika perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan perkawinan menurut (Pasal 6 KHI) maka pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Bisa disimpulkan bahwasanya pencatatan pernikahan bukan yang termasuk kedalam syarat sahnya pernikahan, tetapi peranan pencatatan pernikahan ini sangat menentukan dalam suatu ikatan pernikahan, karena hal tersebut adalah syarat diakuinya suatu ikatan pernikahan oleh negara.

Mengapa pentingnya pencatatan perkawinan diperlukan? 

Pencatatan perkawinan diperlukan karena hal tersebut penting dalam menetapkan hubungan hukum antara pasangan yang menikah. Pencatatan perkawinan membantu dalam membuktikan status pernikahan secara hukum dan juga penting dalam hal administrasi, seperti keabsahan surat-surat penting seperti akte kelahiran anak, dokumen perpajakan, dan asuransi. Selain itu, pencatatan perkawinan juga penting dalam hal pembagian harta bersama, hak waris, dan untuk melindungi hak-hak pasangan yang menikah. Dengan demikian, pencatatan perkawinan membantu dalam menegakkan hak dan kewajiban hukum pasangan yang menikah.Dengan adanya pencatatan perkawinan itu dapat sebagai suatu alat bukti autentik yang bertujuan untuk menjadi perkawinan menjadi jelas bagi yang bersangkutan maupun orang lain dan masyarakat.

Pencatatan perkawinan itu untuk memberikan perlindungan kepada hak anak, apabila perkawinan tidak dicatatkan akan berdampak terhadap status hak anak dan anak tersebut tidak dianggap sah oleh negara. Oleh karena itu, melalui pencatatan perkawinan dan dibuktikannya dengan akta nikah maka seseorang dapat membuktikan bahawa dia sedang terikat perkawinan, sehingga para pihak dapat menuntut hak-haknya dan dituntut untuk memenuhi kewajibannya.
Karena anak dari hasil pernikahan tidak dicatatkan hubungan keperdataan tersebut mengikuti ibunya. Seperti yang tercantum dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 pasal 43 ayat(1) :Pasal menyebutkan bahwa: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,”

Ditambahkannya, dari sisi pengelolaan kependudukan,  suami istri yang hidup bersama berdasarkan nikah siri tidak tercatat dalam catatan kependudukan, termasuk anak dalam nikah siri, dalam prakteknya mereka sendiri hanya mempunyai hubungan dengan ibunya. Saat itu, menurut hukum waris, anak  luar nikah hanya mempunyai hubungan waris bersama dengan ibunya dan  pihak ibu dalam keluarga. Ia tidak memiliki hubungan genetik dengan ayah kandungnya, meski hasil tes DNA menunjukkan bahwa ia adalah anak kandung ayahnya.

Analisis makna filosofis, sosiologis, religious, dan yuridis pencatatan perkawinan?

Pencatatan perkawinan memiliki makna yang mendalam dari berbagai perspektif:
Secara filosofis, pencatatan perkawinan mencerminkan komitmen dua individu untuk saling menghormati, mendukung, dan berbagi kehidupan bersama. Ini melambangkan aspirasi manusia untuk menciptakan hubungan yang bermakna dan harmonis dalam sebuah ikatan yang diakui secara sosial dan legal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun